Ribuan Massa Tolak Paham Wahabi di Aceh
2015.09.10
Ribuan massa yang datang dari berbagai daerah di Aceh melakukan aksi pawai damai di ibukota Banda Aceh, Kamis 10 September, untuk menolak pengaruh aliran Wahabi di provinsi yang memberlakukan syariat Islam secara parsial tersebut.
Massa yang sebagian besar merupakan santri dari dayah (pesantren) juga mendesak Pemerintah Aceh secepatnya melaksanakan Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada September 2014 lalu.
Massa yang sebagian besar berpakaian putih datang dengan mobil, pick up, truk, dan sepeda motor berkumpul di komplek Makam Syeich Abdurrauf bin Ali Anfansuri, seorang ulama besar Aceh atau lebih dikenal dengan panggilan Teungku Syiah Kuala di Desa Deyah Raya, Kota Banda Aceh, yang hidup pada abad ke-17 masehi.
Di kompleks makam yang terletak dekat laut itu, massa duduk di tanah. Mereka serius mendengar orasi yang disampaikan sejumlah tokoh organisasi massa Islam antara lain Front Pembela Islam (FPI), Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA), Rabithah Thaliban, dan Perhimpunan Besar Inshafuddin.
Di antara massa tampak hadir ratusan perempuan dan anak-anak. Ada para santri yang mengikat kepala dengan kain putih bertuliskan, “Tolak Wahabi di Aceh.”
“Banyak paham menyimpang”
Koordinator kegiatan yang diberi nama “Parade Ahlussunnah wal Jama’ah”, Bulqaini, menyatakan setelah bencana tsunami terjadi di Aceh, 26 Desember 2004, “banyak paham menyimpang” masuk ke Aceh di luar Islam ahlussunnah wal jama’ah yang dianut mayoritas warga Aceh.
“Pemerintah Aceh seperti membuka pintu terhadap paham-paham tersebut. Sebagai orang Aceh, kita harus terus berjuang untuk membendung paham dan aliran di luar dari ahlussunnah wal jama’ah,” ujarnya, yang disambut teriakan, “Allahu Akbar” dari massa.
Menurut pimpinan sebuah pesantren di Banda Aceh itu, warga Aceh sejak masa lalu telah menganut paham Ahlussunnah Waljama’ah dan terus hidup di Aceh. “Wahabi tak boleh dibiarkan di Aceh dan kita harus bersatu untuk melawannya,” tegasnya.
Muhammad Nur, seorang pria berusia 33 tahun yang khusus datang ke acara pawai, menyatakan ia mendukung desakan kalangan santri agar seluruh paham Wahabi dan Syiah ditolak di Aceh.
Ketika ditanya apa beda Wahabi dan ahlussunnah wal jama’ah, dia hanya menjawab, “Saya datang ke acara ini demi ahlussunnah wal jama’ah seperti diikuti ulama. Tidak ada alasan lain.”
Kecaman terhadap Wahabi juga disuarakan dengan lantang oleh Ketua FPI Aceh, Tgk. Muslim At-Thahiri. Dalam orasinya, ia menyamakan Wahabi dengan Yahudi. Malah, Muslim menuding siapa saja yang membiarkan Wahabi tumbuh dan berkembang di Aceh, maka mereka sama dengan Yahudi.
“Bagi sebagian kalangan di Aceh, Wahabi dianggap biasa-biasa saja. Padahal Wahabi lebih berbahaya daripada Yahudi,” ujarnya berulang-ulang. “Wahabi bebas di Aceh, karena dibiarkan oleh Pemerintah Aceh.”
Di beberapa provinsi lain di Indonesia, seperti di Kalimantan Tengah dan DKI Jakarta, FPI ditentang oleh banyak anggota masyarakat setempat karena dianggap anarkis dan sering melakukan kekerasan. Sebelumnya, Polri juga pernah mengatakan bahwa FPI adalah ormas paling anarkis dilihat dari jumlah kasus kekerasan yang melibatkan organisasi itu.
Peran FPI
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemerintah Aceh, Ali Alfata, yang dikonfirmasi, Kamis malam, menekankan Islam yang dilaksanakan di Aceh selama ini memang menganut mazhab Syafie dengan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah.
Ali mengaku tak tahu pasti kenapa FPI bisa mendapat tempat bagi sebagian kalangan pesantren tradisional di Aceh.
FPI mulai masuk ke Aceh setelah bencana tsunami.
“Kita khawatir aksi-aksi massa seperti hari ini dapat merusak sendi-sendi persatuan umat karena bisa saja disusupi pihak lain yang tidak ingin melihat ketentraman masyarakat karena Islam di Aceh sejak dulu dikenal sangat toleran dan moderat,” katanya kepada BeritaBenar.
Untuk mengantisipasi perpecahan umat, tambah Ali, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan seruan bersama agar masyarakat tidak mudah terprovokasi. Dalam waktu dekat, juga akan digelar muzakarah ulama Aceh yang melibatkan seluruh ulama, cendekiawan, tokoh masyarakat dan tokoh ormas Islam.
Ali menambahkan bahwa pada Sabtu pekan lalu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah juga telah bertemu seorang ulama kharismatik Aceh, Tgk H. Muhammad Amin Mahmud, yang akrab disapa Abu Tumin.
“Abu Tumin meminta umat Islam, khusus masyarakat Aceh, agar tak meniru politik orientalis yang memanfaatkan kekuatan massa dalam penyelesaian persoalan sebab perbedaan bagi umat Islam menjadi ibadah kepada Allah kalau diselesaikan melalui musyawarah para alim-ulama,” tutur Ali.
Qanun Jinayat
Selain menolak pengaruh Wahabi di Aceh, massa dalam tuntutannya yang dibacakan oleh Hasbi, Ketua Rabithah Taliban, organisasi santri di Aceh, mendesak kepada Pemerintah Aceh untuk segera mengimplementasikan Qanun Jinayat. Qanun adalah nama lain untuk peraturan daerah di Aceh.
Qanun Jinayat merupakan penyempurnaan aturan pelaksanaan syariat Islam di Aceh, karena empat qanun yang telah ada selama ini dianggap banyak kelemahan sehingga implementasi syariat Islam dinilai tak maksimal. Qanun yang disahkan parlemen Aceh, September lalu, akan mulai diberlakukan pada Oktober tahun ini.
Empat qanun yang berlaku sejak 2002 silam, hanya mengatur mengenai syiar Islam, khamar (minum minuman beralkohol), maisir (perjudian), dan khalwat (berada di tempat tertutup pasangan non-muhrim atau belum menikah di tempat sunyi).
Ancaman hukuman cambuk dalam empat qanun itu bersifat percobaan dan untuk efek jera. Pelaku khamar diancam hukuman 40 kali cambuk. Hukuman terhadap pelaku khalwat tiga hingga sembilan kali cambuk. Sedangkan, penjudi diancam enam hingga 12 kali cambuk.
Tapi, dalam Qanun Jinayat ditambah sejumlah klausul dengan hukuman lebih berat. Qanun tersebut mengatur tentang zina, pemerkosaan, pelecehan seksual, minum minuman keras, judi, lesbian, homoseksual, khalwat, menuduh orang lain berbuat zina dan bermesraan antara pria dan perempuan tanpa ikatan perkawinan.
Ancaman hukuman terhadap para pelanggar Qanun Jinayat mulai 10 sampai 200 kali cambuk di depan umum. Selain cambuk, ada juga hukuman denda antara 200 hingga 2.000 gram emas murni atau ancaman 20 bulan sampai 200 bulan penjara. Hukuman paling ringan 10 kali cambuk diberlakukan bagi pelaku mesum dan ancaman terberat 200 kali cambuk terhadap pemerkosa anak.
Tetapi, kalangan aktivis pembela hak asasi manusia dan perempuan menilai banyak kelemahan dalam Qanun Jinayat sehingga ketika diimplementasikan dikhawatirkan perempuan akan menjadi korban karena terdapat beberapa pasal yang multi-tafsir.
Salah satunya, menurut mereka, dalam Qanun Jinayat terdapat pasal bisa membuat anak-anak Aceh terancam akan dicambuk. Itu didasari klausul perbuatan zina dengan anak-anak, padahal, kata mereka, seharusnya mereka dilindungi karena korban pemerkosaan dari orang dewasa.