New Ngelepen, ‘Kampung Teletubbies’ Pasca Gempa Yogya

Kusumasari Ayuningtyas
2016.05.27
Sleman
160527_ID_Yogya_1000.jpg Tugiyem berdiri di depan sekretariat Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta, 17 Mei 2016.
Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar

Perempuan 74 tahun itu masih ingat petaka yang menghancurkan rumahnya, 10 tahun silam. Ketika bumi berguncang dahsyat, Tugiyem dan kelima anaknya baru selesai menunaikan shalat Subuh. Mereka berhamburan keluar rumah.

Dalam hitungan detik, rumah yang telah ditempati puluhan tahun di Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), ambruk akibat gempa berkekuatan 5,9 skala Richter yang terjadi menjelang pagi pada 27 Mei 2006 lalu.

Nglepen terletak di perbukitan yang dilalui patahan atau sesar Opak-Oya sehingga dusun itu hancur lebur. Rumah-rumah penduduk rata dengan tanah. Menurut cerita Tugiyem, ada tanah amblas sampai sepuluh meter dengan lebar rekahan belasan meter yang terlihat seperti jurang.

“Bahkan ada rumah bergeser puluhan meter dari lokasi awalnya. Ngeri sekali kalau ingat waktu itu,” kenang Tugiyem saat ditemui BeritaBenar di warungnya, belum lama ini. “Tidak tersisa, ternak banyak yang mati, harta benda tidak seberapa bisa diselamatkan.”

Warga Nglepen rata-rata memang berkebun, bertani, dan beternak. Hampir semua punya ternak meski sekadar kambing kala itu. Kepanikan luar biasa membuat warga tak sempat memikirkan ternak mereka. Kepanikan bertambah ketika muncul isu tsunami. Tak terpikir dalam benak mereka betapa jauh Nglepen dari pantai.

“Yang ada takut, bingung, khawatir campur aduk, ditambah banyak tetangga yang meninggal tertimpa reruntuhan rumah,” ujar Tugiyem yang sehari-hari dipanggil Mbah Giyem dan dipercaya menjaga sekretariat desa.

Mereka yang selamat tinggal di tenda darurat beberapa bulan. Hujan deras sering turun pada malam hari yang membuat warga tak bisa beristirahat dengan tenang. Ditambah lagi gempa susulan bisa lebih tujuh kali sehari meski dengan skala kecil.

Seorang warga berjalan di perumahan dome di Dusun Nglepen, Desa Sumberharjo, Kecamatan Prambanan, Sleman, Yogyakarta, 17 Mei 2006. (Kusumasari Ayuningtyas/BeritaBenar)

‘Rumah Teetubbies’

Empat bulan setelah gempa, Domes for The World dari Texas, Amerika Serikat (AS) bekerjasama dengan World Association of the Non-Government Organization dan Emaar Properties dari Dubai membangun 80 bangunan Dome berbentuk setengah lingkaran yang mirip “rumah Teletubbies” – makhluk animasi nan lucu dalam serial televisi.

Sebanyak 71 unit ditempati 71 Kepala Keluarga (KK), enam bangunan untuk mandi cuci kakus (MCK), serta tiga unit lain masing-masing untuk TK, pondok bersalin desa (Polindes), dan masjid. Setiap bangunan memiliki luas sekitar 40 meter persegi. Bangunan ini diklaim anti-gempa.

“Lahan yang digunakan adalah tanah kas Desa Nglepen yang dulu ditanami tebu,” jelas Sulasmono, yang kini menjadi pengelola Desa Wisata Dome.

Tanah kas desa yang dipilih itu terletak sekitar 500 meter dari Dusun Nglepen yang telah hancur. Jarak yang dekat membuat alamat Desa Dome itu diberi nama “New Ngelepen” memiliki alamat sama dengan dusun tempat tinggal mereka sebelumnya, yaitu New Ngelepen, Desa Sumberharjo, Sleman, Yogyakarta.

“Warga tidak punya pilihan selain pindah ke rumah teletubbies ini karena mereka memang sudah tidak punya tempat tinggal lagi dan rumah dome ini diberikan gratis,” ujar Sulasmono.

“Rumah teletubbies” memiliki dua lantai dengan dua kamar tidur, dapur, ruang tamu di lantai 1. Sedangkan lantai 2 dipakai untuk ruang serbaguna. Tapi rumah ini tidak ada MCK dalam bangunan. Warga memanfaatkan fasilitas MCK yang disediakan di bangunan yang terpisah.

“Awalnya aneh, karena bentuknya bulat tidak seperti rumah pada umumnya, tapi lama-lama jadi terbiasa,” ujar Darmorejo (68).

Saat BeritaBenar memasuki rumah Dome, pukul 11.00 WIB, terasa nyaman dan sejuk dalam ruangan lantai 1, meski tidak begitu halnya ketika berada di lantai 2. Menurut penuturan Darmorejo, rumah teletubbies jika siang memang terasa sejuk, tetapi saat malam terasa hangat dan cenderung panas.

“Kalau hujan, air hujan ke dalam rumah lewat pintu karena atapnya seperti itu,” ujar Darmorejo.

Seiring berjalannya waktu, masalah itu teratasi dengan berbagai modifikasi dilakukan pemiliknya. Mereka memasang atap dan teritis atau jalan air di pintu masuk. Hanya saja, mereka tak memiliki halaman atau lahan yang cukup untuk membuat kandang ternak, karena letaknya berdekatan.

Sudah tertangani

Gempa 10 tahun lalu menewaskan 5.737 korban dengan rincian 4.674 di DIY dan 1.063 di Jawa Tengah. Sebanyak 38.423 orang luka berat dan ringan di kedua provinsi itu. Dampak gempa mengakibatkan tidak kurang dari 570.490 rumah rusak baik itu ringan ataupun hancur.

Pelaksana tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY, Gatot Saptadi, mengatakan semua rumah yang rusak sudah tertangani. “Tak ada bantuan tertunda, semua sudah direhabilitasi dan yang kehilangan juga sudah dibantu,” ujar Gatot saat dihubungi BeritaBenar, Kamis.

Untuk mengenang gempa 10 tahun lalu, pada Kamis malam digelar puncak refleksi dan doa bersama di pinggiran Sungai Opak, Bantul – yang merupakan pusat gempa. "Sebuah prasasti peringatan gempa yang ditandatangani Sultan Hamengkubuwono juga diresmikan semalam," terang Kepala BPBD Bantul, Dwi Daryanto.

Tugiyem dan warga “Kampung Teletubbies” juga menggelar acara sederhana dan doa bersama. Mereka berharap bencana tak terulang lagi. “Semoga tidak mengalami lagi kejadian seperti 10 tahun lalu,” harap Tugiyem.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.