Peringati 11 Tahun Tsunami, Aceh Tingkatkan Siaga Bencana
2015.12.23
Banda Aceh
Aktivitas belajar mengajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Banda Aceh baru 30 menit dimulai. Guru serius menjelaskan mata pelajaran di depan kelas. Para siswa menyimak dengan tekun.
Tiba-tiba, bumi berguncang kuat. Suasana kelas panik. Guru berusaha menenangkan anak didiknya. Ia menyarankan mereka berlindung di bawah meja dan berdoa. Siswa mengambil tas masing-masing dan meletakkan di kepala. Mereka segera menuju ke bawah meja.
Setelah “gempa” berkekuatan 8,3 Skala Richter reda, seluruh siswa diimbau menuju ke halaman sekolah. Para siswa dan guru terus berdoa. Relawan Palang Merah Remaja (PMR) sekolah sibuk “mengobati” korban luka.
Sekitar 20 menit berlalu, terdengar pengumuman dari pengeras suara bahwa gempa yang berpusat di Samudera Hindia berpotensi tsunami. Anak-anak segera diarahkan berlari ke gedung Museum Tsunami, yang berjarak 1 kilometer dari sekolah.
Sekitar 700-an siswa dan belasan guru tertib menaiki tangga hingga ke lantai empat museum yang khusus dibangun sebagai tempat evakuasi kalau terjadi tsunami. Beberapa korban “terluka” dan “pingsan” ditandu relawan PMR sekolah.
Itulah rangkaian simulasi gempa dan tsunami yang digelar 17 Desember lalu sebagai bagian pembelajaran untuk menyiapkan generasi siaga bencana. Simulasi seperti ini rutin dilaksanakan sekolah-sekolah di Aceh, terutama menjelang peringatan tsunami.
Aceh digulung tsunami menyusul gempa dahsyat berkekuatan 9,3 Skala Richter pada 26 Desember 2004. Lebih dari 170.000 warga Aceh tewas dan berbagai infrastruktur, rumah penduduk hancur sepanjang 1.000 kilometer garis pantai akibat bencana yang dicatat paling mematikan dalam sejarah manusia modern.
Beberapa siswa yang diwawancara BeritaBenar mengaku banyak mendapatkan ilmu pengetahun dalam simulasi gempa dan tsunami untuk meningkatkan siaga bencana.
“Yang selalu dipesan guru jika terjadi gempa, jangan panik. Ikuti cara penyelamatan yang telah diajarkan seperti berlindung di bawah meja dan berlari ke tempat terbuka atau halaman,” tutur Delfina (15), seorang siswi kelas 3.
Willi Juliandra (13), siswa kelas 2, menjadi “korban pingsan” dalam simulasi itu. Dengan sigap relawan PMR memberikan pertolongan pertama meski suasana panik. Ketika proses evakuasi dari sekolah ke Museum Tsunami, Willi diangkut dengan tandu.
Siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh mengipasi dua rekan mereka yang “pingsan” saat simulasi penyelamatan dari gempa dan tsunami di lantai empat gedung Museum Tsunami, Banda Aceh, Kamis 17 Desember.
Dalam beberapa tahun terakhir, Aceh sering diguncang gempa kuat. Bagi Putri Nabila (14) – siswi lain — yang tinggal hanya 1,5 dari pantai, upaya penyelamatan dini telah membekas. Bila terjadi gempa dahsyat, dia dan keluarganya segera berlari ke tempat jauh dari rumah setelah mendapat kabar adanya potensi tsunami.
Namun, tidak seluruh sekolah di Banda Aceh menggelar simulasi bencana. Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Model Banda Aceh adalah satu sekolah yang tidak pernah melaksanakan simulasi dalam tiga tahun terakhir padahal sekolah ini ikut rusak saat tsunami 2004 menerjang.
“Kalau terjadi gempa besar, kami lari ke halaman sekolah. Jika ada potensi tsunami, ayah bilang agar saya lari ke tempat yang sudah kami sepakati untuk dijemput ayah,” kata Meutia, seorang siswi MTsN Model.
50 persen siswa tewas
Wakil Kepala SMP Negeri 1, Syarifah Nargis, menyebutkan bahwa simulasi itu digelar untuk meningkatkan kesiagaan siswa dalam menghadapi bencana. SMP Negeri 1 dan beberapa sekolah lain di ibukota Banda Aceh telah ditetapkan sebagai sekolah siaga bencana sejak tahun 2009.
Ketika tsunami menghumbalang Aceh 11 tahun lalu, 50 persen dari 1.000 lebih siswa dan 28 guru SMP Negeri 1 tewas karena banyak dari mereka menetap dekat sekolah yang berjarak sekitar 2,5 kilometer dari laut, tutur Syarifah.
Dia sendiri sempat diseret air bah. Waktu itu, Syarifah sedang hamil besar dan hanya tinggal menunggu hari untuk melahirkan. Setelah sempat digulung dalam pusaran air, tubuhnya terangkat ke atap rumah. Tiga anggota keluarganya tewas.
“Waktu itu pengetahuan kita sangat minim tentang tsunami sehingga setelah gempa kita tidak lari ke tempat yang jauh dari laut. Makanya, banyak warga Aceh meninggal dunia,” tutur Syarifah kepada BeritaBenar di sela-sela memimpin simulasi.
Ia sempat diyakini sudah meninggal dunia. Pasalnya pada hari kesepuluh pascabencana, dia dan suaminya dievakuasi ke Jakarta dengan pesawat Hercules militer Australia. Ia tak bisa memberitahu keluarga karena komunikasi lumpuh total. Tiga minggu usai tsunami, dia melahirkan anaknya.
Empat bulan setelah tsunami, Syarifah mendapat informasi jika pegawai negeri sipil yang selamat untuk melapor. Akhirnya ia dan suaminya memutuskan pulang ke Aceh meski trauma masih menghantuinya.
“Waktu awal-awal pulang, saya tidak berani melihat laut. Tetapi, lama kelamaan jadi terbiasa. Cara paling ampuh memulih trauma dengan mendekatkan diri kepada Allah dan meyakini bahwa setiap musibah adalah ujian dariNya,” ujar Syarifah.
Doa bersama dan ziarah kubur
Peringatan 11 tahun tsunami tak semeriah tahun lalu. Tahun ini hanya digelar secara sederhana yang diisi dengan doa bersama, ziarah kuburan massal dan refleksi untuk meningkatkan siaga bencana.
Kalangan jurnalis di ibukota Banda Aceh juga melaksanakan kegiatan khusus berupa doa bersama dan refleksi untuk mengenang 27 rekan mereka yang menjadi korban tsunami. Acara yang dirangkai dengan testimoni dan santunan anak yatim itu digelar pada Jumat malam.
Ketua panitia peringatan 11 tahun tsunami Aceh, Reza Fahlevi mengatakan meski tak semeriah tahun lalu, tetapi tidak mengurangi maknanya karena yang paling penting adalah mengenang bencana tsunami untuk menjadi pembelajaran masyarakat siaga bencana.
Apalagi, lokasi yang dipilih adalah Masjid Rahmatullah di Lampu’uk, Kabupaten Aceh Besar – satu-satunya bangunan tetap berdiri tegak padahal letaknya beberapa ratus meter dari bibir pantai saat tsunami menerjang dan hanya mengalami rusak ringan.
“Peringatan tsunami menjadi momentum bagi warga Aceh untuk mengingat kembali bagaimana solidaritas dan dukungan masyarakat dunia sehingga kita mampu bangkit dari kehancuran,” kata Reza yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh kepada BeritaBenar, Rabu 23 Desember.
“Peringatan tsunami yang digelar setiap tahun harus menjadi refleksi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat siaga bencana sehingga kita dapat mengurasi risiko bila suatu saat kembali terjadi meski kita tak mengharapkan bencana,” tambahnya.