12 Tahun Tragedi Bom Kuningan, Penyintas Suarakan Anti Kekerasan
2016.09.14
Jakarta

Diperbarui pada 16/9/2016, 20:30 WIB
Tragedi Bom Kuningan sudah 12 tahun berlalu, namun derita fisik atau pun trauma psikis masih melekat pada para korban, juga keluarga mereka. Peran pemerintah dilihat masih kurang dalam menangani korban. Namun demikian, para penyintas mampu bangkit untuk melawan kekerasan dan mengampanyekan perdamaian.
Itulah yang disampaikan Iswanto salah satu korban Bom Kuningan kepada BeritaBenar di sela-sela acara “Peringatan Korban Bom Teroris” di Jakarta, Sabtu, 10 September 2016.
Setelah bangkit dari trauma, Iswanto bersama para penyintas dan anggota keluarga mereka sepakat membentuk Forum Kuningan sebagai wadah untuk membantu para penyintas sambil mengampanyekan gerakan damai.
"Kekerasan adalah tindakan keliru yang harus kita hilangkan dari Indonesia dan dunia. Kekerasan jangan dibalas dengan kekerasan," tegas Iswanto, yang kini bekerja sebagai staf di Kedutaan Besar Australia.
Bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Forum Kuningan, dan kelompok penyintas lain, Iswanto mengadakan berbagai kegiatan, seperti kunjungan ke sekolah-sekolah di beberapa kota untuk menyampaikan pesan damai kepada generasi muda.
Tiga langkah yang mengubah hidup
Pagi hari pada 9 September 2004, Iswanto berangkat kerja seperti biasanya. Tak ada firasat akan terjadi sebuah tragedi yang akan mengubah hidup personel keamanan Kedutaan Besar Australia itu dan 10 rekannya.
Sekitar pukul 10:25 WIB, sebuah mobil box melaju di jalur lambat depan kedutaan dari arah Menteng menuju Mampang, Jakarta. Melihat gelagat mobil yang melambat di depan pintu gerbang kedutaan, Iswanto meminta sopir untuk mengarahkan mobilnya agar maju.
Kira-kira tiga langkah di depan mobil, tubuhnya terpelanting akibat ledakan dahsyat dari kendaraan itu. Iswanto sempat tak sadarkan diri beberapa menit.
Pandangannya gelap. Rasa sakit di sekujur tubuh. Tak kurang 38 luka di tubuhnya akibat material yang terpental dari ledakan mobil. Luka paling parah dialami pada mata kanan karena tertancap material tajam yang menyebabkannya buta.
"Badan saya terasa panas luar biasa dan baju yang saya kenakan compang-camping. Beruntung saya memakai rompi pelindung tubuh," ujarnya kepada BeritaBenar.
Iswanto mendengar suara rekan-rekannya meminta tolong, sementara kepanikan kian melanda.
Seperempat jam kemudian, Iswanto mendapat pertolongan. Dia dibawa ke Rumah Sakit MMC Jakarta. Tapi dia tidak segera mendapat penanganan medis karena suasana panik dengan makin banyak korban berdatangan.
"Saya diletakkan di lantai bersama korban lain. Hanya raungan orang meminta tolong, orang menjerit dari keluarga yang mungkin sudah mengetahui keadaan saudara, anak atau suaminya yang menderita," tutur Iswanto.
Dia mengaku beruntung masih mengingat nomor kontak istrinya, yang saat itu tengah mengandung anak kedua mereka.
Setelah mendapat pertolongan pertama, Rumah Sakit MMC mengaku menyerah untuk menanganinya karena kurang tenaga medis dan fasilitas.
Operasi
Iswanto dirujuk ke Rumah Sakit Aini, kemudian ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo yang memutuskan mengoperasinya. Operasi dipimpin dr. Nila Farid Moeloek yang kini Menteri Kesehatan.
"Beliau yang memutuskan operasi karena saya memang butuh pertolongan. Beliau bilang bahwa mata kanan saya tidak akan berfungsi dengan baik," jelasnya.
Pemerintah mengumumkan serangan bom di depan Kedutaan Australia yang juga sering disebut “Bom Kuningan” menewaskan sembilan orang dan 161 lainnya luka-luka. Pihak Australia menyebutkan 11 orang tewas dalam tragedi itu.
Hasil penyelidikan polisi terungkap bahwa pelaku bom bunuh diri adalah Heri Kurniawan atau Heri Golun, yang diduga terkait dengan kelompok Noordin M. Top dan dr. Azahari, warga Malaysia yang menjadi otak teror bom di Indonesia saat itu.
Masalah yang dihadapi Iswanto belum selesai. Saat operasi pertama, ternyata di mata kanan Iswanto masih ada serpihan dua sentimeter yang memerlukan tindakan lanjutan.
Iswanto harus menjalani beberapa operasi lagi demi mengangkat serpihan-serpihan di sekujur tubuhnya. Total waktu yang dibutuhkannya adalah satu bulan lima hari.
Setelah operasi, Iswanto juga menjalani terapi pengobatan di rumah sakit, termasuk penggantian rutin bola mata palsunya, dan konseling demi pemulihan pascatrauma.
Absennya pemerintah
Tragedi Bom Kuningan juga menyadarkan Iswanto dan para korban lain akan absennya pemerintah dalam penanganan korban. Menurutnya perhatian pemerintah masih jauh dari yang diharapkan.
"Pemerintah membantu kita kurang lebih tiga bulan dalam rangka pengobatan pertama, setelah itu selesai. Sampai saat ini bantuan hanya diberikan Pemerintah Australia untuk saya dan 11 orang teman," ungkapnya.
Ia mengatakan masih banyak korban yang membutuhkan pengobatan. Dari sekian banyak korban, yang masih menjalani pengobatan lanjut sampai sekarang tinggal 11 orang.
“Selebihnya yang dinyatakan sembuh, ternyata belum sembuh benar. Mereka butuh pengobatan lanjutan, tapi harus ditanggung sendiri," kata Iswanto.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, berharap negara bisa mengambil alih setidaknya dua kegiatan. Pertama, upaya pemberdayaan korban. Kedua adalah pengobatan pascatragedi.
"Mereka adalah komunitas terlupakan. Karena itu kepentingan mereka belum menjadi kepentingan bersama," ujar Hasibullah.
"Ada korban yang setiap hari membawa sekantung obat untuk mengatasi rasa sakitnya. Pernah bertanya siapa yang membiayai? Bukan negara."
"Teroris ingin melemahkan negara, tapi yang menjadi korban adalah masyarakat biasa. Mereka adalah martir negara. Makanya, negara harus mengurus mereka," harapnya.
Kutipan pada paragraf ketiga terahir sebelumnya tertulis diucapkan oleh Iswanto, dalam versi yang diperbarui ini telah dikoreksi menjadi Hasibullah.