20 tahun tragedi Bom Bali, “Tak ada tempat bagi terorisme!”
2022.10.12
Denpasar
Suasana Jalan Legian di Kuta, Bali, terasa sedikit kelam pada 12 Oktober 2022 jelang tengah malam. Kepolisian RI melalui Densus 88 Antiteror menghelat peringatan Bom Bali, bertepatan dengan waktu peledakan yang terjadi pada hari itu 20 tahun silam, yang menewaskan 202 orang dan tercatat sebagai tragedi terorisme terburuk di Indonesia.
Ratusan lilin dan lampu senter ponsel pun dinyalakan oleh pengunjung dan turis yang menyemut di Monumen Tragedi Kemanusiaan, area ground zero.
Mereka hening sesaat setelah film dokumenter rangkaian peristiwa Bom Bali ditayangkan. Ada yang menangis dan berteriak. Acara ini dihadiri Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Melalui tayangan video, Presiden Joko Widodo mengutuk kekerasan tindakan biadab yang bertujuan menciptakan provokasi dan teror tersebut. Tragedi Bom Bali disebut ingin merusak persatuan dan kerukunan.
“Saya sudah memerintahkan Kapolri, membuka jaringan pelaku dan bongkar sampai akarnya,” ujarnya. Ia minta warga meningkatkan kewaspadaan. “Tak ada tempat bagi terorisme. Tetap tenang dan jaga persatuan serta waspada,” tutup Jokowi.
John Howard, Perdana Menteri Australia saat itu, ia menjabat 1996-2007 pun menyampaikan pesan lewat video. “Saya tersentuh kerjasama kepolisian dan Australian Federal Police,” sebutnya.
Pemerintah Australia yang 88 warganya tewas dalam Bom Bali mengadakan peringatan khusus di Konsulat Australia di Bali. Mereka juga hadir bersama sejumlah pejabat dari konsulat lain, pemerintah provinsi Bali dan para penyintas serta keluarga korban Bom Bali di Monumen Tragedi Kemanusiaan pada pagi harinya untuk mengenang para korban dan mengutuk aksi teror yang dilakukan oleh Jemaah Islamiyah yang terafiliasi dengan kelompok teroris Alqaeda di Asia Tenggara itu.
Tiga militan Jemaah Islamiyah – Imam Samudra, Muhammad Ali Ghufron dan Amrozi bin Nurhasyim, yang dikenal juga sebagai Trio Pelaku Bom Bali, – dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003 dan dieksekusi pada 2008.
Dalam refleksinya, perwakilan pemerintah Australia, asisten Menteri Luar Negeri Australia Tim Watts mengutip cerita perjuangan ibu Tumini, seorang pelayan di Sari Club, salah satu dari dua restoran lokasi pemboman.
Tumini dibawa ke rumah sakit, tubuhnya ada di antara jenazah. Ia dikira meninggal hingga akhirnya ia mengacungkan tangan minta pertolongan. Luka bakar di tubuhnya membuatnya harus melakukan operasi berulang kali, sembilan di Bali dan tiga kali di Australia, papar Watts.
Masih ada pecahan bom di tubuhnya dan lebih berat adalah trauma jiwa terutama saat melihat asap dan api.
“Serangan direncanakan untuk membunuh banyak orang dan menyebar permusuhan dan konflik di masyarakat yang majemuk. (Namun) mereka gagal,” tutur Watts, yang menyebut hubungan Indonesia dan Australia justru semakin erat pasca Bom Bali, disatukan dalam tragedi dan kerjasama.
Kepala Densus 88 Antiteror Polri Inspektur Jenderal Marthinus Hukom, dalam rangkain acara mengenang tragedi yang bertajuk Diversity in Harmony di Nusa Dua mengatakan pentingnya merawat kehidupan, kebebasan, dan keseimbangan.
“Manusia punya hak hidup, tak ada yang berhak mengambil hak orang lain. Terorisme akibat mencari pengakuan martabat,” kata Irjen Pol Marthinus.
Ia mengatakan nilai kebebasan dibatasi oleh kebebasan orang lain dan menjaga keseimbangan antara manusia dan lingkungan, seperti dilambangkan dengan pelepasan tukik dan merpati dalam acara itu.
“Saya meyakini pendekatan diskusi melalui berbagai forum adalah salah satu cara mengatasi terorisme,” kata Marthinus.
Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid yang seorang aktivis pluralisme, mengapresiasi kinerja polisi anti teror yang telah berhasil menggagalkan sejumlah aksi teror.
“Untuk korban, yang ditinggalkan, beberapa luka tak bisa sembuh. Kita bersama mengenang korban juga merayakan kontribusinya pada kemanusiaan,” ujar Yenny, yang juga Direktur The Wahid Institute ini.
Dia mengingatkan sumber terorisme adalah rasa putus asa dan kecemasan, seperti pelaku pengeBoman itu yang mengklaim membela orang yang teraniaya dengan mengatasnamakan Tuhan.
Peringatan Bom Bali juga ditandai dengan pameran foto kejadian pada 20 tahun silam itu, dari jejak bom dan lubang yang ditimbulkan hingga proses penyidikan bersama petugas kepolisian dan forensik Australia.
Bangkit dari keterpurukan
Dua dekade setelah Bom Bali, luka dan kesedihan itu telah berubah menjadi kekuatan untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Kehilangan orang terkasih mendorong Mark Weingard yang tunangannya Annika Linden, menjadi salah satu korban tewas di Sari Club, membangun LSM bernama Annika Linden Center di Denpasar yang memfasilitasi gerakan sosial seperti Yayasan Puspadi Bali yang melayani disabilitas.
Demikian juga Yayasan Isana Dewata, salah satu lembaga yang didirikan penyintas Bom Bali yang mendampingi proses pemulihan. Yayasan ini melakukan doa bersama di ground zero pada sore harinya.
Suasana haru mewarnai monumen peringatan Bom Bali. Di antara pengunjung banyak kerabat korban membawa karangan bunga dan datang untuk memanjatkan doa. Salah satunya adalah Mega, seorang perempuan muda yang membawa bunga dan sebuah foto. Foto itu adalah foto Jodie O’Shea, ucapnya, salah satu korban. Ia mengaku mendapat bantuan pendidikan di panti asuhan yang didirikan kerabat Jodie di Bali. Panti asuhan itu sekarang sudah tidak beroperasi.
Di sudut lain di monumen peringatan Bom Bali malam itu tampak dua keluarga saling berpelukan. Warti seorang perempuan Indonesia tampak menangis memeluk pasangan suami istri dari Australia. Warti yang mengenakan hijab itu kehilangan suaminya, Faturrahman, sedangkan pasangan suami –istri Jodie Leigh Wallace kehilangan anak mereka malam itu 20 tahun yang lalu. Kedua keluarga hadir hampir tiap tahun setiap 12 Oktober di monumen itu untuk mengenang orang tercinta mereka.