23 napi korupsi bebas cepat, komitmen pemerintah berantas korupsi dipertanyakan

ICW: Ini adalah buah dari langkah terstruktur oleh sejumlah pihak seperti melalui perubahan PP demi memudahkan pembebasan koruptor.
Arie Firdaus
2022.09.08
Jakarta
23 napi korupsi bebas cepat, komitmen pemerintah berantas korupsi dipertanyakan Mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah (tengah- berbaju oranye) tiba di pengadilan di Jakarta pada 1 September 2014 untuk diadili terkait kasus penyuapan hakim dalam sengketa pemilu. Gubernur perempuan pertama di Indonesia itu merupakan salah satu dari 23 narapidana korupsi yang menerima pembebasan cepat bersyarat bulan ini dari pemerintah.
[Adek Berry/ AFP]

Pemberian pembebasan lebih awal kepada 23 terpidana korupsi pekan ini telah mencederai rasa keadilan masyarakat dan menimbulkan keraguan akan komitmen pemerintah dalam memberantas pidana rasuah, kata pegiat antikorupsi pada Kamis (8/9).

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manisia pada Selasa mengumumkan 23 narapidana korupsi akan bebas bersyarat, termasuk mantan Menteri Agama Suryadharma Ali yang divonis 10 tahun penjara dalam korupsi penyelenggaraan haji, dan mantan hakim konstitusi Patrialis Akbar yang dihukum tujuh tahun penjara dalam kasus suap.

"Pesan efek jera enggak akan sampai karena pelaku menganggap ini (korupsi) sesuatu yang kecil karena mereka bisa keluar penjara dalam waktu singkat," kata Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kepada BenarNews.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai pemberian pembebasan bersyarat merupakan wujud menormalisasi perilaku koruptif di tanah air. 

"Sebagai masyarakat berakal sehat, tentu muncul pertanyaan, 'apakah kita serius memberantas korupsi?'," kata Adnan kepada BenarNews.

Narapidana lainnya yang bebas lebih awal termasuk mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang divonis tujuh tahun penjara dalam kasus suap hakim konstitusi dan mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Sugiharto yang terjerat dalam kasus korupsi e-KTP yang merupakan salah satu perkara yang menyebabkan kerugian besar bagi negara, mencapai Rp2,3 triliun.

Dalam pidato kenegaraan di DPR jelang 17 Agustus kemarin, Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengeklaim pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama pemerintah sehingga beberapa kasus korupsi besar berhasil diungkap, seperti Asabri atau Jiwasraya.

Namun Topan mengatakan pembebasan bersyarat kepada 23 terpidana korupsi sejatinya merupakan buah dari beragam langkah yang disebutnya terstruktur oleh sejumlah pihak dalam beberapa tahun terakhir.

Ia merujuk pada pembatalan peraturan pemerintah (PP) tentang pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2021 yang disusul pembatalan sejumlah pasal pada PP tersebut oleh Mahkamah Agung (MA) sebulan setelahnya, hingga penekenan UU Pemasyarakatan yang baru oleh Jokowi pada Agustus 2022.

Mereka yang mendapat remisi hingga pembebasan bersyarat harus membantu membongkar kasus korupsi yang dilakukan, serta membayar lunas denda serta uang pengganti yang ditetapkan dalam vonis. 

Namun dalam UU Pemasyarakatan baru, beragam kewajiban tersebut ditiadakan.

"Ini kan sudah sebuah langkah yang terstruktur yang dimaksudkan untuk memudahkan koruptor bebas lebih mudah," lanjutnya.

Dalam pertimbangannya kala itu, MK menyatakan bahwa remisi dan pembebasan bersyarat tidak boleh membeda-bedakan tindak pidana serta pemenjaraan semestinya berkonsep rehabilitasi. 

Mahkmah juga mempertimbangkan kondisi lembaga pemasyarakatan yang kelebihan kapasitas sebagai dasar pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.

Mengenai argumen terpidana korupsi berkontribusi terhadap kelebihan kapasitas yang dialami lembaga pemasyarakatan, peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola menyangkalnya.

"Alasan itu enggak masuk akal. Data Ditjen PAS (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan) tahun lalu, narapidana korupsi itu enggak sampai lima persen kok," ujar Alvin kepada BenarNews. 

Total narapidana di Indonesia per Mei 2022 adalah 249.000 orang, hampir dua kali dari total kapasitas penjara yang maksimum menampung 135 ribu orang.

BenarNews menghubungi Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianto terkait penilaian sejumlah pegiat antikorupsi serta alasan 23 narapidana tersebut mendapat pembebasan bersyarat di waktu bersamaan, tapi tak beroleh balasan.

Namun Wakil Menteri Kemenkumham Edward Omar Sharif Hiariej dalam keterangan di Istana Negara pada Kamis mengatakan pemberian pembebasan bersyarat sudah sesuai aturan yakni UU Pemasyarakatan yang mengembalikan semua hak terpidana tanpa diskriminasi, termasuk kasus korupsi.

"Ini seperti blessing in disguise bahwa UU Pemasyarakatan itu mengembalikan semua hak dari seorang terpidana tanpa suatu diskriminasi," katanya, dikutip dari iNews.

“Yang dibebaskan bersyarat adalah kelas kakap”

Politikus oposisi pemerintah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil meminta pemerintah menjelaskan secara terbuka alasan pembebasan bersyarat 23 narapidana korupsi yang mendapat pembebasan bersyarat.

Menurutnya, perihal tersebut dibutuhkan demi menjawab keraguan masyarakat terkait pemberantasan korupsi di Indonesia.

"Mereka yang dibebaskan bersyarakat kan kelas kakap. Jadi kalau tidak dijelaskan akan menimbulkan anggapan bahwa pemerintah tidak pro pemberantasan korupsi," ujarnya kepada BenarNews.

Alvin Nicola melanjutkan, Kemenkumham memang tidak pernah transparan dalam pengurusan narapidana, terutama dalam kasus korupsi mengenai pemberian remisi hingga pembebasan bersyarat.

Ia merujuk remisi yang diterima Djoko Tjandra yang merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali dan sempat buron ke luar negeri.

"Padahal catatan transparansi itu penting, namun dalam hal ini menjadi ruang abu-abu bagi publik sehingga wajar muncul kecurigaan terhadap keseriusan pemberantasan korupsi," kata Alvin.

"Ini orang buron bertahun-tahun ke luar negeri kok bisa dianggap berkelakuan baik."

Sementara Boyamin menyoroti mekanisme remisi yang langsung dihitung saat seorang mulai menjalani hukuman sehingga masa penjaranya secara otomatis langsung berkurang. 

"Seharusnya menjalani 2/3 masa hukuman, baru dipotong remisi. Kalau sebaliknya, hukuman menjadi lebih ringan," terang Boyamin seraya mendesak pemerintah dan DPR mengubah aturan yang memuat perhitungan tersebut.

Selain itu, Boyamin mendesak aparat hukum seperti KPK dan Kejaksaan Agung untuk berani memasukkan dakwaan serta penuntutan yang melarang remisi serta pembebasan bersyarat bagi pelaku korupsi.

"Harus ada tambahan berupa pencabutan hak menerima pengurangan hukuman dan pembebasan bersyarat. Hakim pun harus berani memutus seperti itu agar memberi efek jera," pungkas Boyamin.

Adapun Alvin mendesak pemerintah dan DPR untuk menuntaskan pembahasan UU Perampasan Aset yang telah mandek selama sepuluh tahun, demi menambah efek jera.

Berdasarkan catatan TII, Indonesia merupakan satu-satunya negara anggota G20 yang belum memiliki aturan terkait hal tersebut.

"Kalau tidak, indeks persepsi korupsi kita akan terus stagnan," ujarnya.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kini di angka 38 atau masih di bawah rata-rata global yakni 43. Indeks ini merupakan penilaian indikator korupsi di suatu negara yang dilakukan oleh TII. Sistem penilaian yang menggunakan survei pandangan publik suatu negara terhadap kinerja pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi ini memiliki nilai skor 0-100. Tingkat pemberantasan korupsi suatu negara akan semakin membaik jika mendekati angka 100 dan semakin buruk jika mendekati 0.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.