Demokrasi di Indonesia 25 tahun setelah jatuhnya Suharto
2023.05.22
Pada tanggal 12 Mei 1998, aparat keamanan Indonesia menembak mati empat mahasiswa di Universitas Trisakti Jakarta dalam demonstrasi menolak korupsi dan nepotisme yang marak dalam era Orde Baru di bawah Presiden Suharto, yang telah memerintah sejak merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 1965. Penembakan tersebut memicu serangkaian peristiwa yang membuat diktator selama 32 tahun itu mengundurkan diri dan demokrasi secara organik mengakar di Indonesia, yang merupakan negara terbesar keempat di dunia.
Banyak hal yang mereka protes. Pemerintahan Suharto semakin berubah dan menjadi lalim dengan menekan masyarakat sipil dan membelenggu media, sementara politik dibuat kaku dalam sistem korporatis yang mengkooptasi oposisi yang lemah. Selain itu, militer terlibat dalam pemerintahan sampai ke tingkat desa dalam suatu sistem yang dikenal sebagai dwi fungsi ABRI.
Perekonomian didominasi oleh kroni kapitalis yang menjarah sumber daya alam negara, dan memusatkan kekayaan di Jakarta. Krisis ekonomi Asia menyebabkan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar AS dan pertumbuhan ekonomi jatuh sebesar 13 persen pada tahun 1998.
Tidak ada yang dapat mengerti bagaimana dana talangan 36 miliar dollar AS dari IMF, bersama dengan restrukturisasi yang keras dan hilangnya subsidi, jumlahnya hampir sama dengan yang telah dikumpulkan keluarga Suharto selama masa jabatannya.
Kerusuhan yang terjadi di kawasan pemukiman keturunan Tionghoa pada Mei 1998 jelas merupakan ulah beberapa unit militer yang mencari pembenaran untuk melakukan intervensi langsung dalam politik. Untungnya panglima militer saat itu, Wiranto, bertahan dan tunduk pada kepemimpinan sipil.
Pada tanggal 21 Mei 1998, Suharto menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie, namun Habibie tidak dapat menahan jatuhnya situasi ekonomi dan bahkan tidak mengikuti pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1999.
Konsolidasi demokrasi
Proses transisi menuju demokrasi tidaklah mudah. Dari Mei 1998 sampai Oktober 2004, Indonesia memiliki lima presiden. Ada rasa frustrasi yang tinggi terhadap demokrasi, terutama karena Indonesia adalah negara yang paling lama pulih dari krisis ekonomi di Asia pada masa itu.
Namun Indonesia berhasil meletakkan beberapa fondasi untuk demokrasinya walau lima tahun pertamanya sebagai negara demokrasi berlangsung kacau.
Pertama, militer kembali ke barak. Kebijaksanaan dwifungsi dihapuskan, dan para pejabat yang berasal dari militer namun bertugas sebagai pegawai negeri diberikan pilihan untuk mengundurkan diri dari jabatannya atau menyerahkan kekuasaan administratif kepada rakyat sipil.
Semakin sedikit pembenaran atas nama keamanan dalam negeri untuk militer terlibat erat dalam keamanan dalam negeri, sejak Timor Timur menjadi negara merdeka pada tahun 1999 dan terjalinnya perjanjian damai tahun 2005 dengan pemberontak Aceh. Militer menjadi lebih fokus untuk meningkatkan profesionalisme dan modernisasi pasukannya. Pada tahun 1999, polisi yang sebelumnya merupakan kepanjangan tangan militer, menjadi mandiri dan berada di bawah kendali sipil.
Kedua, Indonesia sebelumnya adalah negara yang terlalu tersentralisasi secara politik, ekonomi, dan budaya. Namun karena pemberontakan separatis di Timor Timur, Aceh, Papua, dan di tempat lain yang terus berlangsung, selalu ada ketakutan bahwa desentralisasi akan mendorong pemisahan dari negara kesatuan Republik Indonesia. Ketika parlemen mengeluarkan kejutan besar dengan mengesahkan desentralisasi, parlemen melangkahi provinsi dan memberikan kekuasaan yang besar kepada kabupaten untuk memberlakukan kebijakan publik dan memungut biaya dari sumber daya alam.
Ketiga, pemilihan presiden, legislatif, dan lokal di 17.000 pulau di seluruh Indonesia telah terselenggara secara efektif dan rutin. Terlepas dari ketakutan akan kekerasan politik, pemilu berlangsung dengan bebas dari kekerasan politik.
Sejak tahun 1999, Indonesia sudah menyelenggarakan lima pemilu yang umumnya berlangsung bebas dan adil; tidak ada pencabutan hak pilih secara sistemik dengan partisipasi pemilih tinggi, rata-rata 80 persen sejak 1999.
Ada puluhan partai politik yang bersaing namun kebanyakan dari mereka tetap menjadi sarana pamer kesombongan individual. Tetapi undang-undang pemilu telah disesuaikan untuk memastikan bahwa partai kecil dan pinggiran yang tidak dapat memenuhi ambang batas tertentu dapat bersaing dalam pemilu berikutnya, namun tidak ada hambatan yang menghalangi masuknya kandidat dan partai baru.
Pemilu di Indonesia juga sangat rumit, dengan sistem politik hibrida hingga tahun 2004, ketika presiden dipilih melalui pemungutan suara parlemen, namun hal itu berubah sejak 2004 ketika presiden dipilih langsung.
Namun yang terpenting, terselenggaranya pemilu telah memastikan pergantian kekuasaan presiden secara teratur dan damai.
Keempat, parlemen mengesahkan undang-undang pers baru pada tahun 1999 yang mengakhiri penyensoran dan meliberalisasi media. Saat ini, media di Indonesia tumbuh kuat, meskipun dapat dibilang terlalu dikuasai segelintir konglomerat. Indonesia adalah salah satu negara Asia dimana internetnya paling bebas dan penggunaan media sosial yang tinggi.
Demokrasi juga membawa dampak baik bagi ekonomi. Ketika Suharto jatuh, PDB Indonesia adalah 95,45 miliar dollar AS. Pada tahun 2022, jumlahnya mencapai 1,32 triliun dollar AS. Walau ekonomi Indonesia masih terlalu bergantung pada ekstraksi sumber daya alam, sektor manufaktur dan jasa mengalami pertumbuhan. Minyak yang menjadi salah satu sumber PDB turun porsinya, dari 9,9 persen di PDB tahun 1998 menjadi 0,8 persen di tahun 2021, mengurangi pendapatan negara dari hasil sumber dayanya.
Tidak ada negara yang demokratisasinya secepat Indonesia, namun itu tidak berarti bahwa kondisinya tidak rapuh dan tidak dapat diubah. Ada lima isu yang mengkhawatirkan.
Lima isu yang menjadi perhatian
Pertama, sejak tahun 2014, militer telah berusaha merebut kembali beberapa otoritas sipil yang dilepaskannya pada tahun 1999. Melalui konsep Bela Negara, pada tahun 2014, TNI mengidentifikasi separatisme, narkotika, komunisme, dan hak LGBTQ sebagai ancaman terbesar bagi negara dan Undang-Undang Kontraterorisme 2018 mengabadikan peran keamanan internal untuk militer.
Kedua, ada sejumlah undang-undang yang menggerogoti kebebasan berbicara, kebebasan berserikat, agama, dan identitas. Sementara partai-partai Islam gagal meloloskan Piagam Jakarta pada tahun 2009, setiap kebijakan publik sejak 1999 memiliki komponen syariah. Tetapi beberapa undang-undang telah mengancam prinsip inti dari ideologi pendiri negara, Pancasila, “bhinneka tunggal ika."
Salah satu contohnya adalah undang-undang terkait penistaan agama, yang mengkriminalkan “aliran sesat” termasuk Syiah dan Ahmadiyah. Sementara itu pemerintah terlalu cepat menutup mata terhadap kelompok yang main hakim sendiri yang menargetkan kelompok minoritas. Undang-Undang Penodaan Agama dan gelombang protes sesudah itu berhasil menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang keturunan Tionghoa dan beragama Kristen yang terpilih secara demokratis, pada tahun 2017.
KUHP yang baru disahkan belum lama ini mengkriminalkan seks pranikah dan kohabitasi di luar pernikahan. KUHP baru itu juga mengancam kebebasan berbicara dengan mengkriminalisasi kritik terhadap presiden atau Pancasila itu sendiri.
Ketiga, gelombang besar desentralisasi berdampak pada sifat sekuler negara dengan melimpahkan otoritas kebijakan publik kepada pemerintah daerah. Saat ini, ada 389 aturan dan peraturan syariah di seluruh negeri yang memiliki dampak yang tidak proporsional terhadap perempuan dan minoritas agama.
Keempat, setelah isu pemberontakan di Timor Timur dan isu separatisme di Aceh berhasil diselesaikan, konflik terus berlanjut di Papua, provinsi yang kaya dengan sumber daya. Pemerintah secara berkala menutup Internet, melarang media asing, dan mengkriminalkan protes damai dan dukungan untuk pemisahan diri. Pasukan keamanan terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dan ada laporan yang dapat dipercaya bahwa dinas intelijen sipil telah melanggar hukum dan mengobarkan perang kotor.
Akhirnya, walaupun beberapa pejabat tinggi seperti seorang menteri kabinet yang ditangkap karena dugaan korupsi, korupsi di Indonesia terus mewabah dan melemahkan institusi politik yang sudah lemah. Perekonomian Indonesia terus didominasi oleh badan usaha milik negara.
Pada tahun 2002, Indonesia membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen dengan otoritas investigasi penuh, meniru pengadilan anti-mafia Italia. Kesuksesan KPK dalam kinerjanya membuatnya dengan cepat menjadi institusi politik paling terpercaya di negara ini.
Namun sejak 2014, Presiden Joko Widodo menyerah pada tekanan politik dan mencabut beberapa otonomi dan kekuasaan KPK. Pada tahun 2019, parlemen mengesahkan undang-undang yang mencabut beberapa wewenang investigasi yang dimiliki KPK dan hal itu memicu protes massal.
Peringkat Indonesia dalam indeks persepsi korupsi tahunan Transparency International tetap buruk, dan sejak 2019 menurun, berdampak negatif baik pada pertumbuhan ekonomi maupun institusi politik.
Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden berikutnya pada Februari 2024. Masyarakat akan dapat menggunakan hak pilihnya, partai akan berkampanye, mengartikulasikan platform dan kebijakan, dan media akan meliput semuanya. Namun di balik aspek performatif demokrasi tersebut, sedang terjadi kemunduran yang cukup besar. Demokrasi telah berjalan sejauh ini, tetapi kondisi itu bisa saja berbalik kembali.
Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan asisten profesor di Universitas Georgetown. Opini yang diungkapkan di sini adalah miliknya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Universitas Georgetown, atau BenarNews.