Enam Aktivis Papua Divonis 8-9 Bulan Penjara

Para aktivis ditangkap usai menggelar unjuk rasa damai berujung desakan referendum Papua dan pengibaran Bintang Kejora, Agustus tahun lalu.
Arie Firdaus
2020.04.24
Jakarta
620.jpg Dalam foto tertanggal 29 Agustus 2019 ini, para pengunjuk rasa melakukan protes di Jayapura, Papua, sebagai respons terhadap perlakuan rasis yang diterima mahasiwa Papua di Jawa Timur beberapa minggu sebelumnya.
ANTARA/Reuters

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis delapan sampai sembilan bulan penjara kepada enam aktivis yang turut serta dalam demonstrasi menuntut referendum untuk Provinsi Papua tahun lalu.

Surya Anta, Ambrosius Mulait, Charles Kossay, Dano Tabuni, dan Ariana Elopere dijatuhi hukuman sembilan bulan, sementara Isay Wenda beroleh hukuman delapan bulan penjara dalam sidang putusan yang digelar lewat konferensi video pada Jumat (24/4).

Ketua majelis hakim Agustinus Setya Wahyu Triwiranto menilai terdakwa terbukti melakukan makar karena terlibat dalam unjuk rasa damai berujung pengibaran bendera Bintang Kejora dan desakan referendum Papua di depan Istana Kepresidenan Jakarta pada 28 Agustus tahun lalu.

"Terdakwa terbukti melanggar Pasal 106 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 mengenai makar," kata Agustinus.

Keenam aktivis ditangkap di sejumlah lokasi di ibu kota sepanjang 30-31 Agustus 2019.

Apabila putusan majelis ini telah berkekuatan hukum tetap, Isay Wenda akan menghirup udara bebas pada awal bulan depan, setelah dipotong masa tahanan.

Adapun lima lainnya bakal bebas sebulan setelahnya.

"Tapi saya belum bisa memastikan, karena itu (pembebasan) tergantung jaksa. Kalau mereka banding, tentu akan berbeda." kata kuasa hukum para aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Tigor Hutape, kepada BenarNews.

Jaksa penuntut memang belum menentukan sikap usai pembacaan vonis. Pasalnya, putusan ini lebih tinggi ketimbang tuntutan yang meminta hakim menjatuhkan hukuman 1,5 tahun.

Pun, keenam terdakwa yang mengatakan ingin berkomunikasi dengan tim kuasa hukum terlebih dahulu sebelum menentukan apakah akan banding atau menerima putusan.

"Kami (kuasa hukum) belum berkomunikasi dengan terdakwa. Setelah itu, kemungkinan kami baru akan menentukan sikap apakah banding atau menerima," pungkas Tigor.

Organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di Inggris, TAPOL, mengecam hukuman terhadap keenam aktivis tersebut, menyatakan bahwa mereka tidak bersalah, dan menuntut segera pembebasan mereka dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di situs mereka.

“Pengacara HAM Veronica Koman dan Jennifer Robinson, dengan dukungan TAPOL, telah mengajukan permohonan kepada Kelompok Kerja PBB tentang Penahanan Sewenang-wenang dan kepada Pelapor Khusus PBB pada 15 April 2020. Karena itu kami mengulangi urgensi pembebasan semua tahanan politik yang saat ini ditahan di penjara yang penuh sesak di mana tidak mungkin untuk mempraktikkan jarak fisik,” demikian salah satu pernyataan TAPOL tersebut.

Muasal Kasus

Unjuk rasa damai berujung penangkapan tahun lalu merupakan respons atas insiden rasisme dan tindakan represif aparat keamanan dan sekelompok orang di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, menjelang perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agutus 2019.

Demonstrasi serupa juga berlangsung di sejumlah daerah, bahkan beberapa di antaranya berujung ricuh.

Di Papua sendiri, kerusuhan yang bermula dari demonstrasi anti-rasisme dan tuntutan referendum menewaskan lebih dari 40 orang pada bulan Agustus dan September.

Tak lama usai ditangkap, keenam aktivis ini sempat mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tapi ditolak hakim tunggal praperadilan Agus Widodo dengan alasan cacat hukum karena memohonkan adanya pelanggaran oleh kepolisian saat penyidikan.

Perihal yang disebut hakim Agus kala itu tidak termasuk ke dalam objek praperadilan.

Sementara sidang perdana digelar empat bulan setelah penangkapan. Persidangan sendiri berlangsung haru. Surya Anta, misalnya, sempat berorasi mengkritik manuver pemerintah Indonesia dalam menangani masalah Papua.

Menurut Surya kala itu, Presiden Joko Widodo semestinya mengutamakan pendekatan kemanusiaan alih-alih bertindak represif dalam menyelesaikan beragam konflik di provinsi paling timur tersebut.

Sedangkan Ambrosius Mulait berulang kali meneteskan air mata tatkala berbicara kepada wartawan tentang kebijakan Jakarta terhadap Papua.

“Kami ditindak, dianiaya, ditembak mati di tanah kami sendiri. Kami hanya meminta keadilan,” kata Ambrosius yang sepanjang persidangan kerap berdandan khas Papua —mengenakan topi kari-kari yang menyimbolkan semangat— bersama Dano Tabuni.

Keduanya juga kerap menghias tubuh dengan tulisan “monkey” di bagian dada. Monyet merupakan ejekan yang kerap diterima warga Papua. Teriakan dengan kata-kata tersebut juga diterima para mahasiswa di Surabaya saat asrama mereka dikepung dalam insiden Agustus tahun lalu itu.

Merujuk dakwaan yang dibacakan jaksa kala itu, para terdakwa dituduh telah bermufakat jahat dengan menggelar sejumlah pertemuan menjelang unjuk rasa di depan Istana Kepresidenan. Rapat, antara lain, berlangsung pada 18, 22, dan 25 Agustus.

Lewat rangkaian rapat itu pula, terang jaksa, para terdakwa membagi peran masing-masing dalam demonstrasi, mulai dari menyiapkan sejumlah peralatan seperti poster dan spanduk berisi desakan penentuan nasib sendiri bagi warga Papua dan menyiapkan bendera Bintang Kejora.

"Tindakan para terdakwa sebagaimana di atas itu merupakan perbuatan makar dengan maksud memisahkan Provinsi Papua dan Papua Barat dari Negara Kesatuan Indonesia," kata jaksa Permana saat itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.