Indonesia Susun Strategi Nasional Lawan Terorisme

BNPT utamakan ‘soft approach’ dalam menangani radikalisme di Tanah Air.
Ika Inggas
2019.07.23
Washington
190723-suhardi-1000.jpeg Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen Suhardi Alius, berbicara dengan partisipan dalam forum terbuka di USINDO, Washington, Amerika Serikat, 23 Juli 2019.
Ika Inggas/BeritaBenar

Indonesia tengah menyusun strategi nasional untuk melawan terorisme, demikian pernyataan kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Washington, Amerika Serikat, Selasa (23/7) menggarisbawahi bahwa kelompok militan ISIS tetap menjadi ancaman utama di Asia Tenggara.

"BNPT sedang menyusun pembuatan rencana aksi nasional untuk melawan ekstremisme kekerasan," kata kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius, menekankan bahwa langkah tersebut selaras dengan resolusi PBB yang menginstruksikan negara-negara untuk membuat rencana nasional dalam melawan terorisme.

Kekalahan ISIS di Timur Tengah telah membuat anggota kelompok ekstrimis itu mempengaruhi jaringan teroris lokal di Asia Tenggara, demikian kata Suhardi dalam forum terbuka yang diselenggarakan oleh the United States-Indonesia Society (USINDO) di Washington, pada 23 Juli 2019.

“Bagi Indonesia, pengaruh ISIS akan tetap menjadi ancaman utama, terutama berkaitan dengan kembalinya Foreign Terrorist Fighters,” kata Suhardi.

Tidak itu saja, masalah lainnya adalah juga sehubungan dengan pemulangan ratusan warga negara Indonesia (WNI) yang berada di antara para pelarian eks kombatan ISIS di Irak dan Suriah yang ingin kembali ke Tanah Air.

Berdasarkan hukum di Indonesia, seseorang yang mengangkat senjata untuk negara lain maka dia bisa dicabut kewarga negaraannya, demikian kata Suhardi. Namun bagaimana dengan mereka yang bergabung dengan ISIS di Timur Tengah, apakah mereka bisa diijinkan pulang ke Indonesia, “Ini masih menjadi perdebatan.”

Suhardi mengatakan perwakilan tim BNPT telah dikirim ke Irak untuk melakukan investigasi dan mengatakan ada sekitar 120 orang Indonesia yang sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak yang terkait ISIS.

“Benar mereka perempuan dan anak-anak, tapi kita tetap harus melakukan assessment terhadap mereka,” tambah Suhardi, mengatakan bahwa dalam banyak kasus perempuan juga bisa memiliki pemikiran radikal.

Ia memberikan contoh kasus bom bunuh diri di Surabaya tahun 2018 yang melibatkan dua keluarga termasuk para istri dan anak dalam keluarga tersebut. Juga dalam kasus bom bunuh diri di Sibolga Sumatra Utara beberapa bulan lalu dimana seorang istri militan meledakkan dirinya.

Assessment juga harus dilakukan terhadap anak-anak, karena mereka lama terpapar kekerasan selama dalam kekuasaan ISIS.”

Oleh karena itu BNPT saat ini juga tengah membentuk Satuan Tugas (Task Force) di bawah kepemimpinan organisasi tersebut dengan anggota Kementerian Luar Negeri, Badan Intelejen Nasional (BIN), militer, Departemen Sosial dan institusi terkait lainnya, untuk memutuskan tentang nasib WNI yang memiliki hubungan dengan ISIS yang saat ini masih berada di Timur Tengah.

Mengutip data intelejen Indonesia, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan dalam sebuah forum kemanan di Singapura tahun lalu menyatakan bahwa 400 dari 31,500 dari pejuang asing yang bergabung di Surian berasal dari Indonesia.

‘Soft approach’

Dalam kunjungan tiga hari di Amerika ini, Suhardi juga akan bertemu dengan perwakilan dari Departemen Pertahanan Amerika dan juga pejabat dari Dewan Keamanan Nasional Amerika.

“Amerika ingin belajar lebih jauh tentang pendekatan ‘soft approach’ yang kita lakukan dalam menanggulangi terorisme.” kata Suhardi.

Berbeda dengan AS yang lebih menekankan pendekatan ‘hard approach’, BNPT menyikapi para eks teroris dengan mengedepankan pendekatan secara lembut dengan merangkul para eks militan untuk diajak dalam membantu tugas deradikalisasi.

“Suatu yang keras jika kita pukul dengan kekerasan maka ini akan hancur, tapi ini bukan barang mati, tapi barang hidup yang menjadi sel-sel teroris yang akan tumbuh lagi,” kata Suhardi kepada BeritaBenar.

BNPT ikut mendukung pembangunan dua pesantren, masing-masing di Deli Serdang, Sumatra Utara dan di Lamongan, Jawa Timur, untuk mendidik anak-anak terpidana teroris.

Sebuah program rekonsiliasi nasional juga diusung BNPT untuk mempertemukan mantan terpidana teroris dangan para korban terorisme untuk saling bisa memaafkan.

Namun Suhardi mengakui pemberantasan radikalisme sarat tantangan. Ia mengatakan  walaupun telah dibubarkan dan menjadi organisasi terlarang, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang telah berafiliasi dengan ISIS menjadi kelompok teroris yang terus mengancam di Tanah Air. Ia juga menambahkan bahwa Indonesia “harus tetap waspada dengan semua sel-sel yang pernah punya pengalaman.”

Oleh karena itulah kepada semua anggota dari aparat pemerintah dan juga masyarakat, ia mengimbau untuk ikut peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.

“Jika ada yang terlihat janggal, untuk segera dilaporkan. Kita lakukan pendekatan dengan soft approach,” katanya.

Termasuk kepedulian bersama, menurutnya juga adalah, untuk selalu mengingat bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragam.

“Tolong ingat kembali sejarah, bahwa kita lahir dari keberagaman. Sumpah Pemuda, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah ada. Jangan ditinggalkan itu, sehingga kita punya rasa kebersamaan yang kuat sebagai satu bangsa.” pungkas Suhardi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.