Seorang ABK yang Diculik Berhasil Menelpon Keluarganya
2017.01.24
Jakarta
Seorang dari tiga anak buah kapal (ABK) Indonesia yang diculik di perairan Filipina Selatan pada 18 Januari lalu telah berhasil menghubungi keluarganya, demikian disampaikan perwakilan Indonesia di Malaysia.
“Salah satu dari mereka, Hamdan, telah menelpon keluarganya, dan mengatakan dia bersama tawanan lain dibawa oleh penculiknya ke salah satu pulau di Filipina Selatan, namun dia tidak tahu tepatnya di pulau apa,” ujar Konsul Jenderal RI di Kota Kinabalu, Ahmad DH Irfan, ketika dihubungi BeritaBenar, Selasa 24 Januari 2016.
Hamdan, lengkapnya, Hamdan bin Salim, bersama Subandi bin Sattu, dan Sudarling bin Samansung – ketiganya asal Sulawesi Selatan, bekerja di kapal penangkap ikan milik warga Malaysia yang diculik minggu lalu.
Sebelumnya, otoritas Malaysia melaporkan pada Konsulat Jenderal RI di Kinabalu bahwa mereka hilang dan ada indikasi diculik, setelah patroli penjaga pantai Filipina menemukan kapal dalam keadaan kosong, tapi mesinnya tetap menyala di perairan Pulau Taganak, Filipina Selatan.
Kantor berita Antara melaporkan bahwa Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Lalu Muhammad Iqbal mengatakan mereka dibawa ke Pulau Sulu di Filipina Selatan.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mengonfirmasi siapa penculiknya.
Belum sebut tebusan
Ahmad mengatakan sampai saat ini penculik belum menyebutkan jumlah tebusan yang mereka minta dan nantinya pihak di Jakarta akan berunding langsung dengan penculik dengan melibatkan pemilik kapal.
“Mereka (penculik) hanya mau berbicara dengan pihak yang mereka kenal,” ujarnya.
Dia menambahkan, pihaknya sedang menelusuri mengapa ketiga ABK bisa berlayar ke perairan Filipina Selatan yang berisiko tinggi padahal sudah diberi peringatan agar tidak mendekati wilayah tersebut.
“Mereka malah melintasi wilayah itu. Seharusnya pemilik kapal dan ABK tahu risikonya kalau mereka berlayar ke sana,” ujar Ahmad.
Dia menghimbau masyarakat yang memiliki anggota keluarga bekerja sebagai nelayan atau ABK agar menasihati mereka untuk menghindari wilayah yang sudah ditetapkan sebagai daerah berbahaya agar terhindar dari penculikan dan penyanderaan.
Namun seorang pemerhati militer, Iwan Ong Santosa, melihat imbauan ini tidak akan efektif karena wilayah kerja mereka ada di Malaysia dan di luar wewenang Pemerintah Indonesia.
“Harusnya pemerintah lebih mendorong Malaysia untuk menjaga wilayah perairannya dengan lebih ketat,” ujar Iwan, menambahkan bahwa penculiknya bisa diperkirakan adalah salah satu dari belasan faksi yang ada di bawah kelompok militan bersenjata Abu Sayyaf.
Iwan juga mengatakan belum kondusifnya pelayaran di wilayah maritim perbatasan Indonesia, Malaysia, dan Filipina, bisa memburuk dengan keberadaan para mantan kombatan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang sedang mencari basis baru di wilayah selatan Filipina.
Para mantan kombatan yang ada di Sabah, Malaysia, diduga akan ke Filipina Selatan dan mencari cara untuk mendapatkan uang, papar Iwan.
“Situasi keamanan di wilayah tersebut paling memungkinkan bagi mereka mencari uang dengan cara menculik ABK,” ujarnya.
Patroli bersama
Tahun lalu, Indonesia, Malaysia dan Filipina telah sepakat mengadakan patroli bersama untuk mengamankan perairan yang rawan pembajakan kapal dan penculikan ABK, tapi hingga kini belum terealisasi.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut, Laksamana Pertama Gig Jonias Mozes Sipasulta mengatakan perjanjian trilateral tersebut masih dibicarakan di tingkat teknis antara markas besar angkatan bersenjata ketiga negara.
“Sementara itu, kami tetap melakukan patroli di wilayah masing-masing. TNI AL terus melakukan operasi pengamanan dengan melibatkan berbagai unsur patroli rutin,” jelasnya kepada BeritaBenar.
“Yang pasti, kami sudah mendapatkan persetujuan dari pihak Filipina untuk melakukan pengejaran (ke wilayah Filipina) atau hot pursuit bila terjadi penyerangan (terhadap kapal Indonesia), tapi dengan penggunaan senjata yang proporsional,” tambah Gig.
Prinsip tersebut sesuai Perjanjian Penyeberangan Perbatasan 1975 antara kedua negara, dimana militer Indonesia diperbolehkan masuk ke wilayah maritim Filipina. Begitu juga sebaliknya, aparat keamanan Filipina dapat masuk ke wilayah Indonesia berdasarkan konsep hot pursuit.
Dalam jumpa pers pada 10 Januari lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ada 25 WNI yang berhasil dibebaskan dari penyanderaan Abu Sayyaf di Filipina Selatan selama 2016.
“Masih ada empat lagi saudara kita yang masih harus dibebaskan di Filipina Selatan,” ujarnya.
Dengan diculiknya tiga WNI pada pekan lalu, maka angka tersebut meningkat menjadi tujuh orang.
“Untuk tahun 2017, diplomasi Indonesia akan difokuskan antara lain pada mendorong perbaikan tata kelola dan perlindungan WNI yang bekerja di sektor rentan, khususnya di kapal-kapal penangkap ikan asing,” ujar Retno.
Jurubicara Kemlu, Arrmanatha Nasir kepada BeritaBenar menyatakan bahwa selama ini Indonesia dan Filipina bekerja sama dalam upaya pembebasan para sandera.
“Kita percaya kerja sama akan terus dilakukan untuk membebaskan ABK WNI,” katanya.