Abu Sayyaf Bebaskan 3 WNI, 6 Lainnya Masih Disandera
2016.09.19
Jakarta

Tiga warga negara Indonesia (WNI) yang ditawan Abu Sayyaf Group (ASG) di kawasan Filipina Selatan selama 10 pekan lebih akhirnya dibebaskan, Minggu 18 September 2016, tanpa uang tebusan, demikian disampaikan pemerintah.
Pembebasan tersebut dilakukan sehari setelah kelompok militant tersebut melepas warga Norwegia, Kjartan Sekkingstad.
Namun demikian, ASG yang telah berbaiat kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) itu masih menyandera enam WNI lain.
Lima di antaranya adalah anak buah kapal (ABK) tugboat Charles 001 yang diculik di perairan Tawi-Tawi, Filipina Selatan, 20 Juni lalu, yang diidentifikasi sebagai Ferry Arifin, Muh. Mahbrur Dahri, Edi Suryono, Muh Nasir, dan Robin Piter.
Dua rekan kelima ABK itu – Ismail dan Muhamad Sofyan – berhasil melarikan diri dari sekapan militan ASG pada 17 Agustus lalu.
Sedangkan seorang lagi WNI yang masih ditahan ASG adalah Herman Manggak, kapten kapal berbendera Malaysia yang diculik di perairan Kinabatangan - Sabah pada 3 Agustus lalu.
‘Sangat berat’
Ketiga WNI yang dibebaskan ialah Lorens Lagadoni Koten (34), Teodorus Kopong Koten (42), dan Emanuel Arakian Maran (46). Mereka berasal Nusa Tenggara Timur.
Mereka merupakan anak buah kapal (ABK) pukat tunda LD/114/5S berbendera Malaysia milik warga Malaysia, Chia Tong Len, yang diculik saat mencari ikan di perairan Lahad Datu, Negara Bagian Sabah, Malaysia, 9 Juli 2016.
Teodorus menyatakan hidupnya dalam sekapan ASG “sangat berat.”
“Itulah mengapa kami meminta Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk melanjutkan operasi dan secepatnya menghancurkan Abu Sayyaf,” katanya seperti dikutip dari media Filipina, Inquirer.net.
"Saya merasa sangat lega, karena sekarang kami sudah bebas. Saya sempat berpikir kalau saya akan dipenggal," katanya seraya berterima kasih kepada Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) untuk melakukan negosiasi untuk pembebasan mereka.
"Saya mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk pembebasan kami," ujar Teodorus.
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang datang ke Zamboanga, Filipina, berterima kasih atas bantuan MNLF dalam upaya pembebasan ketiga sandera.
"Kami menghargai bantuan MNLF. Mereka tahu medan, mereka sangat profesional dan mereka tahu apa yang harus dilakukan. Itu sebabnya kita perlu bantuan dari MNLF," katanya kepada wartawan hari Minggu seperti dilaporkan Inquirer.net.
Tebusan
Menurut Ryamizard, pembebasan itu ialah buah kerjasama konkret antara Kementerian Pertahanan dan Angkatan Bersenjata kedua negara.
"Ini merupakan wujud dari tindak lanjut dari kesepakatan Trilateral Filipina, Indonesia dan Malaysia yang telah ditandatangi di Bali beberapa waktu lalu," katanya dalam siaran pers resmi Kemenhan.
Menhan mengklaim pembebasan itu tanpa lewat uang tebusan.
"Yang jelas Pemerintah Indonesia dan Filipina tidak keluarkan satu sen pun untuk tebusan," tegasnya.
Menhan menegaskan bahwa pemerintah Indonesia dan Filipina berkomitmen tidak akan berkompromi dan tunduk terhadap teroris apalagi dalam hal memberikan uang tebusan.
“Kalau menuruti berarti kita di bawah tekanan mereka, masa negara kalah sama kelompok kecil,” ujarnya.
Tetapi beberapa media lokal Filipina melaporkan bahwa uang sebanyak 30 juta peso telah dibayarkan kepada ASG.
“Saya dengar 30 juta peso sudah dibayarkan kepada kelompok Abu Sayyaf,” ungkap Octovio Dinampo, seorang profesor sebuah universitas di Sulu, Filipina Selatan seperti dilansir Inquirer.net.
Tapi tak dijelaskan dari siapa sumber uang tebusan tersebut.
Ryamizard menambahkan upaya membebaskan enam WNI yang masih disekap sedang berjalan. Seorang di antaranya, dalam proses pembebasan. Tapi tak disebutkan identitas WNI tersebut.
Ryamizard menyatakan ketiga bekas sandera telah diserahkan pada pihak kementerian luar negeri untuk segera dipulangkan ke Indonesia dalam waktu dekat.
Diapresiasi
Pakar Terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mengatakan bebasnya tiga sandera dari Abu Sayyaf perlu diapresiasi.
“Ikhtiar yang dilakukan akhirnya membuahkan hasil meski membutuhkan waktu yang relatif lama dibanding pembebasan sandera sebelumnya,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Namun, jika dilihat dari segi konstalasi politik dan keamanan di Filipina khususnya di wilayah selatan, potensi penyanderaan bisa terulang kembali.
“Target potensialnya adalah personal yang bisa diambil keuntungan finansialnya,” katanya.
Harits menyarankan pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk lebih fokus dalam upaya preventif untuk meminimalisir tindakan kriminal perompakan dan penyanderaan di wilayah rawan kelompok bersenjata.
“Alternatif pendekatan pembangunan ekonomi yang berkesinambungan untuk wilayah Filipina Selatan juga perlu mendapat perhatian serius, karena faktor kemiskinan menjadi salah satu pemicu tindakan kriminal," tegasnya.
Pakar teroris dan intelijen dari Universitas Indonesia, Wawan Purwanto, menilai sulitnya upaya penyelamatan karena situasi operasi militer di Filipina sulit ditebak sehingga membuat rencana pembebasan menjadi berantakan.
Lebih dari 10.000 tentara diterjunkan untuk memberantas ASG dan banyak di antaranya yang tewas.
“Di sana keadaan kocar kacir, sehingga Abu Sayyaf yang mau mengamankan sandera juga kebingungan. Mereka juga ingin menyelamatkan dirinya, sehingga ada di antara sandera melarikan diri saat kelompok tersebut lengah,” ujarnya.