Wapres Ungkap Rahasia Keberhasilan Perdamaian Aceh
2015.11.16
Banda Aceh
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan, rahasia di balik suksesnya perundingan antara delegasi Indonesia dan pimpinan GAM di Helsinki yaitu pertemuan digelar tertutup dan draf kesepakatan hanya diketahui orang tertentu saja.
Kalla menyampaikan hal itu saat menjadi pembicara dalam di acara puncak seminar internasional memperingati 10 tahun perjanjian perdamaian antara Indonesia dan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Banda Aceh, Minggu 15 November.
"Yang terpenting dalam proses pencapaian suatu perdamaian adalah pembicaraan tidak terbuka, tidak boleh diketahui selain yang berkonflik. Kalau hasil pembicaraan diketahui seluruh rakyat pasti banyak yang protes. Itulah kenapa proses perundingan Helsinki sangat tertutup sampai bulan keenam," katanya.
Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian perdamaian bersejarah di Helsinki, ibukota Finlandia, 15 Agustus 2005, untuk mengakhiri konflik bersenjata selama hampir 30 tahun di Aceh yang diperkirakan menewaskan lebih 25.000 orang, mayoritas warga sipil. Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat wakil presiden, mengaku mengambil tanggung jawab di balik pertemuan yang dimediasi oleh pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2008 yaitu bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
Kalla menambahkan draf kesepakatan Helsinki hanya diketahui mediator dari Crisis Management Initiative (CMI) – lembaga pimpinan Ahtisaari, tim perunding kedua belah pihak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan dia sendiri sebagai wapres.
"Menteri pun tak tahu apa yang dibicarakan. DPR ingin tahu, saya katakan tidak boleh karena bukan hak anda untuk tahu. DPR mendesak, jangan jual negara. Saya katakan tidaklah menjual negara karena itu urusan pemerintah, bukan urusan DPR. Jadi, DPR tidak perlu tahu," ujarnya, mengenang momentum satu dekade lalu karena ada sebagian anggota DPR memprotes pemerintah yang berunding dengan GAM di luar negeri.
Kalla mengakui, semua tahapan pembicaraan di Helsinki diikutinya dari tempat tidur melalui telepon tim perunding pemerintah. Hal itu karena perbedaan waktu antara Jakarta dan Helsinki. Bila tim perunding Indonesia keliru berbicara, dia segera menegurnya.
Model penyelesaian konflik
Proses perdamain di Aceh banyak dijadikan model penyelesaian konflik di negara lain. Gubernur Aceh, Zaini Abdullah menyatakan, "Kita ingin tunjukkan kepada dunia bahwa proses perdamaian di Aceh adalah model penyelesaian konflik yang bisa diterapkan di wilayah konflik lain," katanya.
Hal ini juga diakui oleh Pieter Feith, mantan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), lembaga khusus yang dibentuk untuk mengawasi implementasi butir-butir MoU Helsinki.
“Saya selalu menceritakan tentang Aceh kepada dunia seperti di Ukraina, Filipina dan negara-negara lain. Perdamaian di sini memang bisa dijadikan model kepada dunia,” ujarnya, seraya menambahkan selama satu dekade, Aceh sudah banyak berubah ke arah lebih baik.
Sementara itu, Kala mengaku pernah beberapa kali diminta untuk membantu penyelesaian konflik di Thailand Selatan, tapi menurutnya, perundingan di sana sulit diwujudkan karena tidak ada kepemimpinan yang jelas dan tidak ada garis komando seperti dalam perundingan tentang Aceh.
KKR dan gugatan ke pengadilan
Kendati mengakui banyak kemajuan yang didapat, Zaini tetap mendesak Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan beberapa regulasi yang belum dituntaskan. Selain itu, dia juga mendesak pemerintah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim. Alasannya, agar perdamaian di Aceh benar-benar sempurna.
Terkait KKR, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sudah mengesahkan qanun (peraturan daerah) tahun 2013. Tapi hingga kini qanun tersebut belum juga dilaksanakan, meski kalangan aktivis HAM dan keluarga korban sudah sangat sering menuntutnya.
Mengenai Komisi Bersama Penyelesaian Klaim, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) telah mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jumat 13 November, agar para pihak yang terlibat dalam MoU Helsinki “tidak amnesia” pada implementasi perjanjian itu.
Mereka yang digugat adalah Gubernur Aceh (tergugat I), Malik Mahmud (tergugat II) Presiden RI (tergugat III), mediator perdamaian GAM-RI, Martti Ahtisaari (tergugat IV) dan DPRA (tergugat V).
"Kami ingin ingatkan kembali agar mereka tidak amnesia bahwa ada satu hal peting dari MoU yang sampai kini belum dibentuk yaitu komisi klaim. Padahal, komisi klaim harus dibentuk dua tahun setelah penandatangan MoU, tapi sampai sekarang belum dibentuk," ujar Ketua YARA, Safaruddin.
Menurutnya, perayaan seremonial MoU Helsinki tidak ada artinya jika masih banyak korban konflik dan mantan kombatan belum mendapatkan keadilan. Padahal, hakikat dari perdamaian adalah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Aceh.