Masyarakat Aceh tuntut Jokowi tindak lanjuti pengakuan pelanggaran HAM selama konflik

Walaupun menyambut, LSM meragukan komitmen pemerintah dan mengkhawatirkan ini hanya manuver politik jelang Pemilu 2024.
Uzair Thamrin
2023.01.20
Banda Aceh
Masyarakat Aceh tuntut Jokowi tindak lanjuti pengakuan pelanggaran HAM selama konflik Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendengarkan pengarahan di markas polisi militer di Banda Aceh, 21 Juni 2003. Menurut tokoh militer, 225 pemberontak tewas dan sekitar 300 lainnya ditangkap atau diserahkan ke aparat keamanan sejak bulan Mei tahun itu.
[Hotli Simanjuntak/AFP]

Walaupun menyambut baik pengakuan Presiden Joko “Jokowi” Widodo bahwa telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama operasi militer melawan separatisme di Aceh, namun masyarakat di provinsi itu tetap menuntut keadilan bagi keluarga korban.

Sejumlah LSM yaitu Koalisi NGO HAM Aceh, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan Front Pembebasan Nasional Aceh-Sumatra (ASNLF) menuntut pemerintah Indonesia untuk memberikan kompensasi adil bagi kerabat dari ribuan orang yang terbunuh selama konflik bersenjata di provinsi paling barat di Indonesia itu selama tahun 1976 - 2005.

Dalam pernyataan Jokowi pada 11 Januari, negara mengakui dan menyesalkan terjadinya kasus 12 pelanggaran HAM berat di Tanah Air, tiga diantaranya di Aceh, yaitu tindakan kekerasan militer terhadap warga dalam peristiwa Rumoh Geudong di Pidie tahun 1989, peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara pada 1999, dan Jambo Keupok di Aceh Selatan pada 2003.

"Namun di Aceh tidak hanya itu kasusnya tapi kita berharap, dengan ada pengakuan ini, maka ada upaya selanjutnya dari negara untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban," kata Direktur Koalisi NGO HAM, Khairil, dalam keterangan tertulis, Jumat (20/1). 

Kelompok pegiat HAM mencatat lebih dari 15.000 orang tewas selama konflik bersenjata di Aceh yang berakhir ketika pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani perjanjian damai pada tahun 2005 dipicu oleh tsunami besar pada akhir 2004 yang meluluhlantakkan provinsi itu dan merenggut setidaknya 200.000 korban jiwa.

Khairil berharap pemerintah tidak hanya melihat pada tiga peristiwa di atas, tapi juga melihat peristiwa besar lain pelanggaran HAM yang terjadi hampir di seluruh Aceh pada masa konflik bersenjata yang berlangsung selama 29 tahun sejak 1976 ketika Aceh menjadi daerah operasi militer.

"Harapan kita dipulihkan baik dari secara psikis dan ekonomi, karena mereka sudah lama menunggu keadilan dari negara. Maka kita berharap negara tidak hanya mengakuinya tapi juga pemulihan korban," kata dia.

Khairil menambahkan sanksi untuk para pelaku bisa diselesaikan dalam tahapan berikutnya setelah pemulihan korban.

Seorang perempuan dan anak-anaknya menyaksikan seorang tentara memeriksa identitas warga setelah baku tembak antara militer Indonesia dan pemberontak separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Besar, Aceh, 16 Agustus 2003. [AFP]
Seorang perempuan dan anak-anaknya menyaksikan seorang tentara memeriksa identitas warga setelah baku tembak antara militer Indonesia dan pemberontak separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh Besar, Aceh, 16 Agustus 2003. [AFP]

Tuntut kompensasi

Ketua KKR, Mastur Yahya, juga menunggu tindak lanjut pemerintah.

"Pengakuan Presiden tersebut menjadi pintu masuk bagi kita untuk mengikutsertakan 5000-an kasus yang sudah kita kumpulkan. Sehingga tindak lanjut pemulihan tidak hanya terfokus pada tiga kasus yang sudah diakui negara," kata Mastur.

Mastur menambahkan korban selanjutnya berhak mendapatkan keadilan atas apa yang dialaminya pada masa lalu.

"Pengalaman kami dari 2017 hingga 2020 ketika menjumpai korban, tidak semua menuntut peradilan, tapi mereka butuh ganti rugi, kompensasi, reparasi harta bendanya yang hilang masa konflik,” kata Mastur. 

“Ada yang mengalami cacat fisik sehingga butuh biaya pengobatan, pendidikan keluarganya karena kepala keluarga hilang pada masa konflik.” 

Mastur menambahkan ada juga yang meminta kenyamanan dari sisi psikologis, karena dia masih tinggal sekampung dengan orang yang bermasalah waktu konflik, sehingga dia minta solusi dari KKR Aceh.

Aktivis perempuan Aceh, Syarifah Rahmatillah, mencatat korban pelanggaran HAM paling banyak dialami perempuan, namun soal hak-hak korban dan rasa keadilan bagi korban menjadi lebih rumit karena lamanya jarak waktu antara peristiwa dan pengakuan negara.

“Belum tentu apa yang dulu dituntut sekarang masih relevan,” ucap Syarifah.

“Banyak di antara mereka mengharapkan anak-anaknya mendapat perhatian pemerintah untuk memperoleh pekerjaan, jadi bukan lagi hak-haknya secara pribadi. Ini mesti disikapi pemerintah,” tambahnya.

Tuntut proses yudisial

Mantan Ketua Komnas HAM Taufan Damanik meminta agar pengakuan negara atas pelanggaran HAM tersebut mesti juga ditindaklanjuti dengan proses yudisial.

Komnas HAM telah memberikan semua data kepada Jaksa Agung pelaku pelanggar HAM di masa lalu.

“Langkah non-yudisial tidak boleh menghentikan langkah yudisial,” kata Taufan.

Walaupun dalam perjanjian di Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM menyepakati pelanggaran HAM sebelum kesepakatan damai akan diselesaikan melalui mekanisme KKR, tapi Undang-Undang KKR belum diajukan kembali hingga saat ini, setelah undang-undang tersebut ditolak Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Ragukan komitmen pemerintah

Sementara itu Front Pembebasan Nasional Aceh-Sumatra (ASNLF) mengatakan pihaknya telah mengadvokasi dan mempromosikan hak asasi manusia rakyat Aceh di panggung internasional selama beberapa dekade sehingga pengakuan pemerintah tersebut menjadi sangat penting.

“Terlepas dari euforia terhadap capaian yang sempit ini, perlu ditekankan bahwa ketiga kasus Aceh tersebut hanya segelintir dari ribuan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Aceh yang telah didokumentasikan, dirinci dan sering dipublikasikan oleh organisasi HAM, baik di tingkat regional maupun internasional,” kata ASNLF dalam keterangannya.

Organisasi itu juga mengkritisi Presiden yang tidak menginformasikan kepada publik bahwa pelanggaran itu telah dilakukan secara sistematis oleh instansi pemerintah dan militer Indonesia sendiri.

“Berdasarkan definisi hukum, sebagian besar pelanggaran tersebut bahkan dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida,” katanya.

ASNLF mempertanyakan waktu pengakuan tersebut dikeluarkan mengingat masa jabatan Presiden yang akan segera berakhir bersamaan dengan pemilihan umum 2024.

“Kami prihatin bahwa manuver ini tidak lebih dari upaya politik untuk menggembirakan basisnya dan juga upaya untuk melunakkan sejarah Indonesia atas pelanggaran HAM berat di Aceh,” katanya.

Karena fakta-fakta ini, kata ASNLF, pihaknya tetap meragukan keadilan yang diberikan kepada para korban pelanggaran yang diakui berdasarkan hukum Indonesia.

“Terlepas dari komitmen Presiden untuk mencegah tragedi tersebut, pelanggaran HAM masih terjadi di Aceh, Papua, Maluku dan berbagai tempat lain di wilayah tersebut,” katanya.

Sementara itu, tambah ASNLF, aspirasi sejati rakyat untuk menggunakan hak penentuan nasib sendiri masih terabaikan. Tak kalah pentingnya, pelaku utama pelanggaran masih menempati posisi penting di lingkaran kekuasaan Jokowi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.