Aktivis: Aturan Pendirian Rumah Ibadah Bentuk Arogansi Negara
2015.10.19
Banda Aceh
Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, Zulfikar Muhammad, menyebutkan aturan mendirikan rumah ibadah di Indonesia adalah bentuk arogansi negara bagi warganya yang ingin beribadah sesuai agama dan keyakinan mereka.
Pernyataan itu muncul disaat tiga gereja di Kabupaten Singkil dibongkar pada hari Senin, sesuai kesepakatan antara pemerintah setempat dan komunitas Kristen menyusul pembakaran gereja dan bentrokan massa yang menewaskan seorang warga minggu lalu.
Sejak tahun 2006, untuk membangun rumah ibadah harus berpedoman pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mensyaratkan adanya 90 pengguna rumah ibadah dengan dukungan tandatangan 60 warga setempat.
Sejak penerbitan SKB itu, kalangan aktivis HAM menuntut agar SKB dicabut dan mengatakan, SKB berpotensi menjadi alasan tindakan intoleransi agama di Indonesia.
Namun setahun kemudian, Gubernur Aceh mengeluarkan peraturan yang mensyaratkan harus ada sedikitnya 150 pengguna rumah ibadah dan dukungan minimal 120 warga setempat untuk mendirikan rumah ibadah, yang semakin mempersulit kelompok minoritas untuk membangun rumah ibadah.
“Aturan mengharuskan dukungan dari warga sekitar adalah bentuk pembatasan negara kepada warganya. Dalam perspektif HAM, tidak boleh keyakinan beragama dibatasi dan diintervensi oleh negara,” kata Zulfikar kepada BeritaBenar, Senin 19 Oktober.
Seharusnya, tambah dia, perbedaan dilihat sebagai kekayaan kebudayaan dan warga diberi kebebasan untuk mendirikan rumah ibadah sesuai keyakinannya.
Menurut Zulfikar, bentrokan dan pembakaran yang terjadi di Aceh Singkil, Selasa lalu, “lebih bernuansa kepentingan politik karena sentimen agama sangat mudah dikelola untuk memenangkan (tujuan) politik.”
Intoleransi meningkat
Dia menambahkan warga Aceh sejak dulu dikenal sebagai masyarakat sangat toleran kepada non-Muslim, termasuk dalam hal beribadah, dan menerima keberagaman.
“Di Singkil, interaksi umat Islam dan non-Muslim sudah terjalin sejak lama dan tidak ada persoalan sama sekali. Mereka berhubungan dengan baik,” ujarnya.
Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, katanya, ada tindakan negara dan sebagian kelompok masyarakat yang tak sesuai dengan kodrat toleransi seperti dijunjung tinggi warga Aceh.
“Beribadah sesuai keyakinan seseorang merupakan hak dasar yang dibawa sejak lahir dan tak boleh dihalangi,” katanya.
“Kaum Muslim tak perlu ragu kalau neraka tidak muat. Yang harus dilakukan seorang Muslim adalah memantapkan diri untuk terus berbuat kebaikan seperti dianjurkan Islam.”
Toleransi yang tinggi bagi non-Muslim juga diakui Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Teungku Faisal Ali, namun dia mengatakan bahwa setiap aturan harus dipatuhi oleh warga negara.
“Tak ada larangan mendirikan rumah ibadah di Aceh asalkan sesuai hukum berlaku. Perlu dukungan warga setempat bukan bentuk diskriminasi, tapi itulah aturan yang harus dipatuhi oleh warga negara,” kata Faisal, yang juga Ketua Nahdhatul Ulama (NU) Aceh.
“Di daerah yang minoritas Muslim juga sulit mendapatkan dukungan warga bila ingin membangun masjid. Jadi, jangan dipolitisir seolah tidak boleh membangun tempat ibadah umat minoritas di Aceh,” katanya tanpa merinci lebih lanjut.
Sepuluh gereja akan dibongkar
Sementara itu, tiga gereja berukuran kecil yang terbuat dari papan dan triplek di Kecamatan Suro, Aceh Singkil yang dibongkar pada hari Senin sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah setempat dan komunitas Kristen karena tidak ada izin, demikian menurut pemerintah setempat.
Pembongkaran dilakukan puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di bawah pengawalan ketat ratusan personel polisi dan TNI.
Camat Suro, Abdul Manaf yang dihubungi BeritaBenar mengatakan, ketiga rumah ibadah yang dibongkar adalah Gereja Katolik, Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD) dan Gereja Misi Injili Indonesia (GMII).
“Pembongkaran berjalan lancar dan tidak ada yang protes,” kata Manaf.
Namun seorang saksi mata menyatakan bahwa sejumlah perempuan dan anak-anak Kristen menangis menyaksikan pembongkaran rumah ibadah mereka.
Nasir Zalba, Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol dan Linmas) Provinsi Aceh yang berada di Aceh Singkil, menyatakan hasil pertemuan secara maraton antara komunitas Kristen dan kelompok Muslim disepakati 10 gereja ukuran kecil akan dibongkar secara bertahap.
“Sedangkan 12 gereja yang juga tak ada izin tidak dibongkar, tapi komunitas Kristen akan mengajukan perizinan secara resmi,” katanya.
Seperti dilaporkan sebelumnya, insiden pembakaran gereja yang sempat menyebabkan eksodus pengungsi dari Aceh Singkil ke Tapanuli Utara itu berawal dari aksi protes ratusan massa yang menamakan diri Pemuda Peduli Islam (PPI), 6 Oktober lalu, di halaman kantor Bupati Aceh Singkil dan menuntut pemerintah membongkar gereja yang tidak memiliki izin.
Seminggu kemudian ratusan massa yang diduga datang dari luar tiba dengan sejumlah truk dan sepeda motor dan membawa bambu runcing. Mereka membakar gereja Huria Kristen Indonesia di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah.