Aktivis HAM Kritik Pembentukan Tim Terpadu Penegakan Syariat
2021.03.19
Banda Aceh
Aktivis hak asasi manusia mengkritik pembentukan tim terpadu penegakan syariat Islam oleh Walikota Banda Aceh sebagai hal yang berlebihan dan tidak memiliki dasar hukum, setelah petugas menangkap 19 perempuan dengan tuduhan berpakaian “tidak Islami”.
Pihak pemerintah kota menyebutkan pembentukan tim tersebut sebagai respons desakan warga yang menginginkan penerapan syariat Islam yang lebih ketat.
Sebelumnya, Tim Terpadu Pengawasan dan Penegakan Syariat Islam (T2PSI) yang dibentuk Walikota Banda Aceh, Aminullah Usman menangkap 19 perempuan yang diduga melanggar syariat Islam pada Rabu malam (17/3).
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Dinas Syariat Islam Kota Banda Aceh Ridwan Ibrahim mereka ditangkap karena “memakai pakaian ketat, tidak bisa menunjukkan KTP dan berada di warung kopi dan berkaraoke hingga larut malam”.
Mantan komisioner Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak mempertanyakan penangkapan itu.
“Apakah di Banda Aceh berlaku jam malam bagi perempuan?” kata Otto kepada BenarNews.
“Perempuan ditangkap dan digiring ke mobil patroli sementara tak bisa ditunjukkan kesalahannya apa. Ini stigma yang mempermalukan dan merendahkan orang tanpa dasar hukum. Ini bentuk kesewenang-wenangan,” kata Otto.
Menurut Otto urusan KTP adalah kewenangan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan tidak sepatutnya orang ditangkap karena tak membawa kartu identitas.
“Korban penangkapan ini mestinya melapor ke Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh.”
Koordinator kelompok HAM KontraS Aceh, Hendra Saputra, mengkhawatirkan kewenangan dan tindakan berlebihan dari tim terpadu tanpa dasar aturan yang jelas.
“Tim ini tidak boleh menangkap orang secara semena-mena karena tak ada dasar hukum mereka bertindak,” ujarnya kepada BenarNews.
“Harusnya diberdayakan Wislayatul Hisbah dan bukan dibentuk tim baru yang tidak jelas tugas dan wewenangnya,” kata Hendra, merujuk pada badan yang dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan syariat.
Dia menganjurkan korban penangkapan untuk melapor ke KontraS Aceh untuk minta perlindungan akan hak mereka.
Tim terpadu ini dibentuk 16 Maret dengan tujuan memaksimalkan penegakan syariat Islam sesuai visi Aminullah, yaitu “Banda Aceh gemilang dalam bingkai syariah”, kata pemerintah setempat.
Pembentukan T2PSI memiliki tugas merencanakan dan menyusun program kegiatan pergerakan, melakukan penegakan, pengawasan dan pembinaan syariat Islam, serta memberikan pemecahan masalah hukum dan perlindungan hukum terkait pelanggaran syariat.
Selain itu tim juga melakukan koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang tugas dan fungsinya menegakkan syariat Islam.
Di Aceh sejak tahun 2002 berlaku Qanun tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam.
Peraturan daerah ini juga mengatur pembentukan Wilayatul Hisbah, yang memiliki tugas dan kewenangan dalam menegakkan peraturan daerah tersebut, tapi tidak ada pasal dan ayat yang memberikan legalitas bagi lembaga atau tim semacam Tim Terpadu Pengawasan dan Penegakan Syariat Islam seperti yang dibentuk Walikota Banda Aceh.
Lebih lanjut Hendra mengungkapkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh sudah sering dikritik oleh aktivis perempuan dan lembaga yang fokus pada hak asasi manusia.
Namun kritik seringkali direspons oleh kalangan konservatif sebagai anti terhadap pelaksanaan syariat Islam, ujarnya.
Senada dengan Hendra, aktivis perempuan Syarifah Rahmatillah dalam pelaksanaannya banyak terjadi diskriminasi terhadap perempuan.
“Harusnya berlaku sama terhadap laki-laki. Aturan ditafsirkan sendiri oleh pelaksana misalnya dalam Qanun tidak diatur soal jam malam, tapi mengapa mereka melarang? Sementara laki-laki bebas sepanjang waktu berada di kedai kopi” ujar Syarifah kepada BenarNews.
Kepala Dinas Syariat Islam Banda Aceh Ridwan Ibrahim menyebutkan tim dibentuk atas desakan warga kota yang resah karena makin marak pelanggaran syariat Islam di Banda Aceh.
“Tim terpadu ini terdiri atas banyak unsur termasuk polisi dan tentara. Jadi tidak benar kalau dalam penindakan tidak ada aparat penegak hukum,” ujarnya kepada BenarNews.
Pada Oktober 2015 lalu, Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) dan Solidaritas Perempuan telah mengajukan permohonan uji materi atau judicial review terhadap Qanun Jinayah ke Mahkamah Agung.
Mereka menganggap Qanun Jinayah ini bertentangan dengan sejumlah undang-undang terkait prinsip hak asasi manusia dan sistem peradilan pidana. Tetapi upaya hukum ini kandas setelah Mahkmah Agung menolaknya.
Provinsi Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam yang disebut juga hukum jinayat.
Qanun atau peraturan daerah nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat hanya mengatur 10 pidana utama, antara lain khamar (miras), maisir (judi), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, gadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal empat orang), liwath (homoseksualitas) dan musahaqah (lesbianisme).
Dalam banyak kasus aparat dan masyarakat bertindak di luar ketentuan 10 pidana utama yang diatur dalam qanun jinayat.
Syarifah menyesalkan anggota tim bertindak tanpa dasar hukum dan cenderung arogan serta memberikan tafsir sendiri terhadap pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
“Harusnya pedomannya Qanun Jinayat sehingga jelas apa pelanggaran yang dilakukan sehingga ditangkap”.
Sementara itu 19 perempuan yang ditangkap menurut Pelaksana Tugas Kepala Satpol Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Banda Aceh, Heru Triwijanarko, akan diserahkan kembali kepada keluarga masing-masing setelah diberikan pembinaan.
“Selama pembinaan, mereka juga wajib lapor sebanyak tiga kali, dalam seminggu sekali melapor,” kata Heru.
Tidak hanya kepada mereka, lanjut Heru, pembinaan juga diberikan kepada penyedia tempat agar tidak mengizinkan perempuan beraktivitas di sana hingga tengah malam.
“Kalau hanya sekedar karaoke dibolehkan, tetapi jangan sampai larut malam, dan juga tidak boleh bercampur antara laki-laki dengan perempuan,” ujarnya.
Sejauh ini akses untuk berbicara dengan korban penangkapan ditutup dengan alasan masih dalam proses hukum. Sementara orang tua korban tidak bersedia diwawancarai karena khawatir berdampak pada citra buruk anak mereka di mata masyarakat.