Warga Aceh tolak ratusan pengungsi Rohingya yang kembali ingin mendarat
2023.11.16
Jakarta
Lebih dari 200 pengungsi Rohingya kembali mencapai daratan Aceh pada Kamis (16/11) menjadikan dalam minggu ini total hampir 600 pengungsi asal Myanmar mendarat di provinsi itu, walaupun rombongan ketiga ini ditolak kedatangannya oleh warga lokal, dan memaksa mereka kembali ke laut.
Kementerian Luar Negeri mengatakan para penyelundup dan penjahat perdagangan manusia telah menyalahgunakan kemurahan hati Indonesia yang selama bertahun-tahun telah mengizinkan para pengungsi untuk masuk.
Sementara polisi mengatakan pihaknya bersama personel tentara sudah membujuk warga untuk mau menerima kehadiran etnis minoritas Muslim yang dipersekusi di negara asalnya itu di Aceh dengan alasan kemanusiaan, tapi warga tetap menolak kedatangan mereka.
Dalam video yang dibagikan polisi kepada BenarNews, terlihat kapal kayu berisi para pengungsi tertahan dalam radius 200 meter dari bibir pantai di perairan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh.
“Kami sudah negosiasi, tapi masyarakat tidak mau menerima,” ujar Humas Polres Bireuen Ipda Marzuki kepada BenarNews.
Akibat penolakan warga, Marzuki mengatakan bahwa kini para pengungsi Rohingya tersebut telah kembali lagi ke laut.
Perahu tersebut kemudian berlayar kembali dan berusaha berlabuh di Lhokseumawe di Aceh utara, namun mendapat perlawanan serupa dari warga lokal, kata Salman Alfarisi, juru bicara polisi setempat.
“Mereka hendak berlayar lagi tetapi perahu mereka mengalami masalah mesin,” ujar Salman.
Kasat Intel Polres Bireuen Ipda Jolly Ronny Mamarimbing mengatakan alasan penolakan warga adalah karena warga Rohingya dinilai sering berbuat onar, keluyuran, jorok, dan sering kabur setelah diselamatkan.
Sebelum kembali berlayar, lanjut Ronny, masyarakat bersama TNI dan Polri telah membekali para pengungsi dengan makanan.
“Ada lima orang yang dengan alasan kemanusiaan akhirnya diperkenankan turun karena mereka dalam kondisi sakit,” jelas Ronny.
Tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal mengatakan Indonesia bukan pihak yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 karena itu Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi.
“Apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut,” jelas Iqbal dalam keterangannya.
Iqbal menambahkan penampungan yang selama ini diberikan pemerintah kepada pengungsi Rohingya semata-mata dilakukan karena alasan kemanusiaan.
“Ironisnya banyak negara yang turut meratifikasi konvensi pengungsi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan push back terhadap para pengungsi itu,” jelasnya.
Iqbal menyampaikan kebaikan Indonesia menampung sementara pengungsi Rohingya juga banyak dimanfaatkan penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial dari para pengungsi.
“Bahkan banyak di antara mereka teridentifikasi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” jelasnya.
Pertengahan Juni 2021, Pengadilan Negeri Lhoksukon, Kabupaten Aceh Utara, menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepada tiga nelayan - Abdul Aziz, Faisal Afrizal dan Afrijal alias Raja, karena terbukti menyelundupkan puluhan warga Rohingya ke perairan Indonesia pada Juni 2020 melalui Aceh Utara dan menerima upah sekitar Rp1,5 juta untuk setiap orang yang diselamatkan.
UNHCR, KontraS minta warga terima pengungsi
Dalam tiga hari terakhir, para pengungsi Rohingya mendarat di berbagai wilayah di Aceh setelah terapung di lautan selama berbulan-bulan. Masing-masing sebanyak 194 pengungsi mendarat di perairan Muara Tiga, Kabupaten Pidie pada Selasa (14/11) dan sebanyak 146 pengungsi Rohingya tiba di perairan Batee, di Kabupaten Pidie keesokan harinya, menurut data lembaga PBB untuk urusan pengungsi, UNHCR.
Juru bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima Suryono meminta pihak otoritas dan masyarakat setempat untuk tetap mengizinkan pendaratan bagi kapal pengungsi.
“UNHCR siap membantu pemerintah, pihak otoritas dan masyarakat dalam menjalankan upaya-upaya penyelamatan jiwa bagi pengungsi,” ujar Mitra kepada BenarNews.
Dalam beberapa hari terakhir, kata dia, Indonesia telah menunjukkan praktik terbaik dalam penerimaan dan penyelamatan pengungsi yang tiba melalu kapal di Aceh.
“Hal ini sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan prinsip kemanusiaan,” ucap Mitra.
Mitra menegaskan prioritas UNHCR adalah menjaga keselamatan dan kesehatan para pengungsi Rohingya, yang banyak di antaranya perempuan dan anak-anak yang rentan dan membutuhkan bantuan darurat.
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, mengecam tindakan penolakan terhadap para pengungsi Rohingya untuk mendarat.
“Penolakan terhadap pengungsi yang sudah sempat mendarat lalu mengembalikan mereka ke perairan, justru melanggar prinsip 'non-refoulement' yang merupakan salah satu kewajiban internasional bagi setiap negara,” ujar Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna kepada BenarNews.
Padahal, lanjut Husna, penderitaan yang dialami pengungsi Rohingya yang memaksa mereka berpindah tempat mencari penghidupan, tak bisa dilepaskan dari sejarah kekerasan yang dialaminya di Myanmar.
“Aceh tentu tidak asing dengan pengalaman tersebut, karena ketika konflik terjadi di masa lalu, banyak warga Aceh yang terancam keselamatannya sehingga harus mencari suaka ke luar negeri,” ujar Husna.
Menurut Husna, peraturan Presiden tahun 2016 telah menyatakan secara tegas bahwa pemerintah bekerja sama dengan lembaga tinggi PBB melalui organisasi internasional yang menangani pengungsi.
"Ketika pemerintah diam saja membiarkan persoalan ini berlarut-larut, sehingga terjadi penolakan, ini sangat kita sayangkan," tukas Husna.
Etnis Rohingya telah dipersekusi selama bertahun-tahun di negara asalnya yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. Sejak 2017, lebih dari sejuta warga Rohingya meninggalkan rumah mereka ketika militer Myanmar melakukan pembantaian terhadap mereka yang digambarkan oleh PBB sebagai "contoh nyata dari pembersihan etnis".
Kelompok hak asasi manusia mengatakan banyaknya manusia perahu itu menyoroti situasi yang memburuk di Myanmar menyusul kudeta militer pada Februari 2021, serta kondisi buruk di kamp pengungsi Cox’s Bazar, sebuah distrik di tenggara Bangladesh yang berbatasan dengan Myanmar, dimana hampir sejuta warga Rohingya ditampung.
Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah yang selalu terbuka terhadap kedatangan kelompok yang disebut sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia.
Pada tahun 2015, Indonesia mengizinkan ribuan warga Rohingya mendarat di pantainya bersama para pengungsi dari Bangladesh, setelah perahu-perahu reyot mereka terapung di laut selama berbulan-bulan. Setelah itu sudah beberapa kali perahu-perahu kayu membawa warga Rohingya mendarat di pesisir Aceh.