Afghanistan Veteran Berjuang Untuk Kesejahteraan Eks-kombatan

Oleh Zahara Tiba
2015.06.04
150603_ID_ZAHARA_SAJULI_620.jpg Ahmad Sajuli ketika berbicara dengan BeritaBenar tanggal 15 Mei 2015.
BeritaBenar

Niat Ahmad Sajuli (51) berjihad ke Afghanistan di awal tahun 80-an tercapai dengan bergabung dalam kamp militer di Peshawar. Namun pengalaman tersebut mengubah hidup Ahmad sepenuhnya.

Stigma teroris menempel di dirinya dan rekan-rekan eks-kombatan lain kembali ke Indonesia. Untuk itu, Ahmad dan para eks-kombatan membentuk sebuah forum komunikasi yang bertujuan tak hanya memperjuangkan nasib mereka, namun juga membantu menangkal kegiatan radikalisme.

Ahmad mengatakan ketika di Afghanistan berada di kamp Peshawar kemudian pindah ke Sadda.

Dia memutuskan untuk bergabung Jemaah Islamiyah (JI) saat ia ditawari untuk mengurus organisasi.

Ahmad sempat bekerja dengan Hambali [nama asli Encep Nurjaman, terdakwa kasus bomb Bali sekarang menjalani hukuman di Guantanamo] sebelum ia ditempatkan sebagai kepala departemen logistik dan akomodasi di Mantiqi 1di Malaysia.

Ahmad mengatakan kegiatan forum komunik eks-Afghan kombantan bertujuan untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam memerangi radikalisme dan terorisme.

Kepada BeritaBenar, pria berusia 51 tahun ini berbagi kisahnya Kamis, 14 Mei, lalu.

BeritaBenar : Bisa dijelaskan maksud dan tujuan didirikannya Forum Komunikasi Eks-Afghanistan? Kapan berdiri dan apa peran Bapak saat ini?

Ahmad Sajuli: Saat ini saya menjabat sebagai Ketua Forum Komunikasi Eks Afghanistan. Anggotanya adalah mantan kombatan eks Afghanistan.

Tujuan didirikannya organisasi ini adalah untuk mencegah kegiatan radikalisme dan memperjuangkan kesejahteraan teman-teman mantan kombatan.

Saya dan sekitar 300 orang lainnya harus hidup dalam stigma terkait kegiatan terorisme dan saya rasa kurangnya kesejahteraan berpotensi mendekatkan mereka kembali kepada kekerasan.

Pada tahun 2006, saya dideportasi dari Malaysia dimana saya tinggal selama hampir 20 tahun karena dianggap terlibat terorisme.

Saya lalu niat ingin berjualan kebab dan kue-kue saja sebagai mata pencaharian. Lalu mantan anggota JI lainnya yang juga merupakan junior saya di kamp militer di Afghanistan, Nasir Abas, menghubungi dan mengajak saya untuk ikut kegiatan forum yang bekerja sama dengan pihak kepolisian.

Itu pertamakali saya merasa hidup sekembalinya ke tanah air. Setelah lima tahun berjalan, saya dan Nasir sepakat membentuk forum komunikasi bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Prof. Sarlito W. Sarwono sebagai penasihat.

BNPT sendiri menjanjikan tahun ini sebagai tahun kewirausahaan untuk mantan-mantan kombatan. Kami masih menanti janji itu.

Dengan BNPT sebagai kendaraannya, kami lebih mudah bergerak untuk menggalakkan misi forum yang bertema ‘Islam Tanpa Kekerasan’ dengan memperluas wawasan kebangsaan. Saya aktif ikut organisasi ini karena merasa bertanggung jawab atas kondisi saat ini yang menyangkut radikalisme.

Tidak semua alumni JI setuju dengan aksi kekerasan.

BeritaBenar : Mengapa memutuskan untuk meninggalkan JI?

Ahmad Sajuli : Saya dideportasi dari Malaysia karena dugaan keterlibatan dalam aksi Bom Bali, meskipun saya tidak pernah terlibat.

Saya kembali ke tanah air tanpa harta sepeser pun karena semua penghasilan saya disita pemerintah Malaysia.

Sejak saat itu, saya sudah berniat tidak mau bergabung lagi dengan teman-teman di JI.

Saya merasa sedih dan kecewa dengan perbuatan teman-teman di JI, dan saya dikaitkan dalam aksi-aksi kekerasan yang tidak pernah saya lakukan, meskipun saat itu saya aktif di JI dan bekerja sama dengan Hambali.

Selama di Malaysia saya bertugas di bagian logistik dan transportasi di wilayah Mantiqi I JI. Posisi tersebut didapat setelah saya dipindahkan dari struktur Askari Islamiyah, sayap militer kelompok JI.

Saya dipindahkan karena tidak sesuai dengan kepemimpinan Hambali saat itu, dimana kami dituntut berlatih militer di gunung.

Itu bertentangan dengan nurani saya yang melihat jihad lewat diskusi dan dakwah, bukan dengan kekerasan.

Saya menjunjung tinggi pepatah Melayu ‘dimana bumi dipijak, di situ langit dinjunjung’.

Ini bukan berarti saya meniadakan jihad. Jihad memang ada dan disebutkan dalam Al Quran. Namun banyak syarat yang dibutuhkan. Afghanistan saat itu memang medan perang. Tapi Malaysia dan Indonesia bukan. Di sini aman dan damai, bukan arena perang.

Dalam berjihad, kami dilarang membunuh rakyat sipil, wanita dan anak-anak. Jangankan membunuh sipil, kami dilarang mencuri sayur-sayuran, buah-buahan, atau hewan ternak yang kami lewati sepanjang jalan. Karena kami tahu itu dosa kepada Allah.

BeritaBenar : Bagaimana Bapak bisa terlibat di JI?

Ahmad Sajuli : Tahun 1983, saya ikut organisasi Negara Islam Indonesia (NII). Saat itu saya ditawarkan untuk ikut ke Afghanistan berperang melawan Uni Soviet. Saat itu saya masih muda, sekitar umur 20-an dan sudah menikah.

Jiwa muda saya berkata ini kesempatan untuk berjihad. Saya berangkat dengan beberapa orang lainnya ke Malaysia sebelum berangkat ke Afghanistan.

Di Malaysia, saya bertemu dengan Ustad Abdullah Sungkar [pendiri JI].

Dari Malaysia, kami diterbangkan ke Karachi, lalu jalan darat ke Peshawar. Di sana, saya belajar di akademi militer dan diajar langsung oleh pejuang Afghanistan.

Saya angkatan kedua. Selama enam bulan saya belajar taktik perang dan map reading.

Saat itu belum banyak penggunaan senjata karena jaman susah. Di akhir tahun ajaran, ada kucuran dana dari pihak luar.

Kami lalu mampu membeli senjata dan bom yang sudah jadi. Selepas pendidikan di akademi, saya sempat ikut berperang sebanyak enam kali.

Saya juga sempat mengajar selama dua bulan sebelum kembali ke Indonesia karena ada masalah keluarga.

Lalu saya pindah ke Malaysia, menetap di sana selama hampir 20 tahun dan bergabung dengan JI.

BeritaBenar: Bagaimana Bapak melihat pergerakan Negara Islam [ISIS] saat ini?

Ahmad Sajuli : Saya banyak membaca di internet dan media. Saya lihat misi Al Baghdadi untuk mendirikan Negara Islam sangat egois.

Pendirian Khilafah Islamiyah harus disetujui rakyat di sana dan mendapat pengakuan dari dunia. Sama seperti upaya Palestina mendirikan negara dimana hampir semua negara setuju, termasuk Indonesia.

Namun belum dapat pengakuan dari PBB (United Nations). Namun Negara Islam hanya disetujui oleh jamaah mereka saja. Itu egois. Islam milik semua, rahmatan lil alamin.

Belum lagi cara-cara mereka yang sadis; membakar orang dan mengancam akan menyerang Nusakambangan untuk membebaskan Ustad Abu Bakar Baasyir.

Rasulullah saja tidak pernah mengajarkan membakar hewan, apalagi manusia. Kami di forum tidak setuju dengan ISIS.

BeritaBenar : Apa pesan Bapak untuk mereka yang berniat bergabung dengan ISIS?

Ahmad Sajuli : Saya berpesan kepada generasi muda bangsa ini dan umat Islam, hendaklah berhati-hati. Jangan sampai jadi korban provokator, dimanfaatkan orang-orang yang justru malah merusak agama dan bangsa mereka sendiri.

Lihat cara Rasulullah memperjuangkan Islam, tidak lewat kekerasan. Islam rahmatan lil alamin itu benar-benar untuk semesta alam, bukan untuk kelompok.

Jangan sampai mau didoktrin untuk jihad dan mati syahid dengan cara itu.

Kalau mau memperjuangkan Islam, berdakwah saja di sini [Indonesia]. Kalau main hantam saja dengan mencap kelompok ini kafir, kelompok itu kafir, itu tidak benar. Itu tidak ada dalam Islam.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.