Eks Jenderal TNI: Utusan militer untuk Myanmar harus bertemu dengan semua pihak
2023.02.09
Jakarta
Jika Indonesia yang saat ini mengetuai ASEAN mengirimkan seorang jenderal sebagai utusan khusus untuk Myanmar, ia harus bisa bertemu dengan semua pihak di sana, kata seorang jenderal purnawiran yang ikut membantu transisi Burma menuju demokrasi dari tangan junta lebih dari satu dekade lalu.
Utusan tersebut juga harus mendukung pengawasan sipil atas militer dan memahami transisi demokrasi, kata Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo dalam wawancara ekslusif dengan BenarNews baru-baru ini.
Agus Widjojo, yang sejak setahun lalu menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina, mengatakan utusan tersebut juga harus bertemu dengan perwakilan kelompok etnis bersenjata dan anggota parlemen yang dipilih secara demokratis (National Unity Government/NUG) yang digulingkan dalam kudeta militer di Myanmar pada 1 Februari 2021.
“Harus bertemu semua pihak (termasuk NUG), karena ini urusannya dan yang bisa menyelesaikannya adalah dengan duduk bersama tidak bisa hanya salah satu pihak saja,” tegas Agus.
BenarNews meminta pandangan Agus setelah baru-baru ini Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan kepada Reuters bahwa ia berencana mengirim seorang jenderal senior ke Myanmar “sesegera mungkin” untuk berbagi pengalaman saat Indonesia mengalami transisi menuju demokrasi dari pemerintahan militer.
Banyak yang diharapkan dari Indonesia dalam perannya sebagai ketua Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tahun ini, terutama dalam menyelesaikan krisis pasca kudeta di Myanmar, melihat Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ini dan khususnya karena sebelumnya pernah membantu Myanmar.
Eks Jenderal yang pernah menjabat sebagai Gubernur Lemhanas ini pernah dipercaya untuk mewakili pemerintah Indonesia membantu Myanmar dalam transisi menuju demokrasi dari tahun 2007 hingga 2011. Ia juga sering diundang sebagai pembicara dalam proses demokratisasi Myanmar.
Agus mengatakan bahwa keputusan atas siapa utusan khusus itu “ada di tangan Presiden.” Namun demikian ia menegaskan bahwa “Orang yang ditunjuk itu harus memahami proses transisi demokrasi dan peran militer untuk mendukung transisi demokrasi, dan dipastikan jangan malah menghambat transisi demokrasi.”
“Ada tidak kedalaman dia untuk memberikan gambaran keikhlasan militer untuk melepaskan kekuasaannya yang berasal dari darurat masa lalu dan harus disesuaikan dengan prinsip demokrasi di mana militer harus berada di bawah supremasi sipil tapi juga menjadi militer professional?” paparnya.
Agus sendiri mendukung transisi demokrasi di Indonesia, menurut Westminster Institute, sebuah organisasi penelitian berbasis di AS yang berfokus pada ekstremisme dan ancaman radikal.
Agus terlibat dalam reformasi peran sosial-politik TNI – yang mengarah pada suksesi demokrasi damai Presiden Suharto pada tahun 1998 – dengan penyerahan jabatan posisi istimewanya sebagai Kepala Urusan Wilayah. Ia juga yang memimpin Fraksi TNI/Polri untuk mundur dari parlemen dan fraksi tersebut dilikuidasi, demikian biodata Agus di laman lembaga itu. MPR 1999-2004 ialah periode terakhir TNI/Polri berada di parlemen.
“Ia telah berjasa dalam transformasi TNI menjadi militer yang sepenuhnya profesional, siap menopang Indonesia di era demokrasi,” demikian ditulis di Westminster Institute.
Kejatuhan Soeharto, yang juga seorang jenderal purnawiran, pada tahun 1988 - setelah memerintah selama 32 tahun, membuka jalan untuk reformasi di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pasca turunnya Soeharto, Dwi Fungsi ABRI sebagai kekuatan militer negara dan pengatur pemerintahan negara dihapuskan dan militer kembali ke barak.
“Diplomasi diam-diam”
Agus mengatakan, setiap utusan Indonesia yang dikirim ke Myanmar harus bisa melihat gambaran besarnya dan memprioritaskan apa yang perlu dibicarakan dengan semua pihak terkait di sana.
“Pada prinsipnya, kita harus mendorong mereka untuk menemukan solusinya sendiri. Saya tidak percaya bahwa perubahan bisa dipaksakan dari luar,” katanya.
Agus mengetahui apa yang dia bicarakan.
Pada 2007, ia diutus oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri pemakaman kenegaraan mantan Perdana Menteri Myanmar Soe Win.
Pada tahun-tahun berikutnya, Agus Widjojo bertemu dengan para mantan dan perwira militer aktif di Myanmar, serta pejabat dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai yang dipimpin oposisi Aung San Suu Kyi.“Itu terkait tugas saya ke Myanmar dalam rangka menangani proses demokratisasi Myanmar,” ujarnya.
SBY, yang merupakan presiden Indonesia pertama yang terpilih langsung dan dirinya sendiri adalah mantan jenderal, membantu menengahi konflik antara pemerintah Myanmar dan etnis minoritas di sana, memberikan masukan dalam penyusunan undang-undang demokrasi untuk negara tersebut.
Perhatian terhadap isu luar negeri seperti itu berkurang di bawah kepemimpinan Jokowi yang hingga tahun lalu lebih fokus pada urusan dalam negeri dan tidak terlalu tertarik pada diplomasi.
Kini menjelang akhir masa jabatan kedua dan merupakan periode trakhirnya, Jokowi tampaknya ingin meninggalkan legasi dalam diplomasi internasional. Namun demikian, sebagian besar analis ragu hal itu akan terjadi melalui keberhasilan Indonesia dalam membawa Myanmar ke demokrasi.
Michael Vatikiotis, seorang pakar Asia Tenggara, mengatakan di Twitter bahwa hal tentang siapa yang akan menjadi utusan adalah sebuah pengalihan isu.
“Obsesi untuk menunjuk seorang utusan mengalihkan perhatian dari tugas diplomasi diam-diam yang diperlukan untuk melibatkan semua pihak terkait di Myanmar,” kata Vatikiotis.
“Selain itu, Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) tidak menyukai cerita reformasi angkatan bersenjata di Indonesia ataupun tunduk pada otoritas sipil.”