Ahok Mengizinkan Masjid Ahmadiyah Untuk Terus Digunakan
2015.07.13
Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memberikan otoritas kepada komunitas Ahmadiyah untuk menggunakan Masjid yang telah ditutup oleh pemerintah kota (pemkot) Jakarta Selatan setelah penduduk setempat mengeluh tidak memiliki izin.
Pemerintah Kota Jakarta Selatan menyegel Masjid Ahmadiyah An-Nur, di Bukit Duri, Tebet, tanggal 8 Juli, setelah 35 tahun lamanya berada di lokasi tersebut.
Sebelumnya, Pemkot Jaksel mengeluarkan dua Surat Peringatan yang menyatakan bahwa bangunan tidak sesuai fungsi tentang rumah ibadah dan menyalahi tata ruang, menurut Ahmad Syakir, tokoh masyarakat di Tebet.
“Rumah ini disegel oleh pemerintah karena tidak ada ijin sebagai rumah ibadah. Memang rumah tersebut ditinggali oleh keluarga yang beraliran Ahmadiyah, tetapi tidak pernah ada ijin terhadap pemkot tentang penggunaan rumah tersebut sebagai tempat ibadah,” katanya.
Warga setempat juga mempertanyakan identitas Jemaat Ahmadiyah yang dianggap bukan orang di lingkungan itu. “Warga akhirnya mengusir jemaat Ahmadiyah agar meninggalkan wilayah mereka,” kata Ahmad.
Ahok mengaku sudah memanggil walikota Jakarta Selatan terkait aksi penyegelan rumah ibadah milik Jemaat Ahmadiyah di Tebet.
“Saya menganjurkan adanya dialog antara pemerintah kota, warga setempat dan warga Ahmadiyah,” kata Ahok hari Senin.
“Kami menyesalkan penyegelan Masjid An-Nur minggu lalu oleh Pemkot. Tetapi saya akan menginjinkan rumah ibadah tersebut untuk terus digunakan,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 13 Juli.
“Penyegelan rumah ibadah tak patut dilakukan, terutama jika kegiatan mereka tidak mengganggu masyarakat setempat.”
Situasi berubah
Ketua Jemaah Ahmadiyah wilayah Bukit Duri, Aryudi Prastowo, mengatakan mereka bersedia untuk dipindahkan.
"Kami mau dipindahkan tapi masih di sekitar Bukit Duri Tebet karena jemaat kami berada di sekitar daerah ini," kata Aryudi di Jakarta.
Menurut Aryudi, An-Nur sudah berada di wilayah itu sejak 1980-an dan hubungan antara jemaat Ahmadiyah dan warga juga terjalin harmonis sampai satu dekade terakhir.
"Sebelumnya kami bahkan pernah mengadakan khitanan massal pada tahun 1990, kemudian menyediakan dapur umum dan memberikan 1.000 nasi bungkus ketika terjadi banjir di wilayah ini," kata Aryudi.
Tapi situasi berubah setelah terjadi penyerangan terhadap jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Kuningan, Jawa Barat, pada 2005.
“Sejak saat itu mulai muncul intimidasi dan diskriminasi dari warga,” lanjut Aryudi.
Ketua Rukun Warga (RW) Azaitun Ashari di wilayah tersebut meminta para jemaat untuk mengurus izin rumah ibadah lebih dulu.
"Rumahnya sudah disegel, jadi Anda urus izin dulu untuk beribadah di rumah itu. Kami harap Anda menghargai warga yang ada di sini," kata Azaitun tanggal 8 Juli lalu saat penyegelan dilakukan.
Azaitun berharap jemaat Ahmadiyah bisa mematuhi hukum yang ada. Dia mengatakan penyegelan oleh Pemkot Jaksel merupakan bukti kegiatan jemaat Ahmadiyah dilarang.
Warga berniat terus menjaga tempat itu untuk mengantisipasi jika jemaat Ahmadiyah kembali datang.
Toleransi dipertanyakan: aktivis
Mengenai penyegelan ini, Satrio Wirataru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan bahwa tindakan Pemkot Jakarta Selatan merupakan tindakan represif.
"Pemkot harus memfasilitasi warganya yang ingin menjalankan ibadah dan tentunya dengan dialog," kata Satrio kepada BeritaBenar tanggal 13 Juli.
“Penyegelan ini menunjukkan bahwa toleransi beragama di Indonesia masih dipertanyakan,” katanya.
“Toleransi seharusnya bukan hanya wacana. Indonesia sering mengklaim sebagai negara toleran, apakah kita bisa menerapkannya dalam hidup bermasyarakat?” lanjut Satrio.
Ahok menilai, jika aksi penyegelan tersebut berlandaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri tentang pendirian rumah ibadah, hal itu seharusnya tidak dilakukan.
"SKB 2 Menteri sering dipakai sebagai landasan kelompok intoleran untuk melancarkan aksinya," katanya.
Melihat kondisi tersebut, Ahok mengklaim akan mengizinkan Jemaah Ahmadiyah mendirikan tempat ibadah jika mereka mengajukan izin resmi.
"Toleransi adalah simbol Jakarta khususnya dan Indonesia, tidak ada guna toleransi kalau dasar doktrinnya intoleran," katanya.