KNKT: Kerusakan Sistem Kemudi Sebabkan AirAsia QZ8501 Jatuh

Lenita Sulthani
2015.12.01
Jakarta
airasia-620 Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono berbicara dalam konferensi pers mengenai hasil investigasi jatuhnya AirAsiaQz8501, di Jakarta,1 Desember, 2015.
AFP

Kerusakan komponen pesawat dilaporkan sebagai penyebab jatuhnya pesawat jenis Airbus A320 milik maskapai penerbangan AirAsia dengan nomor penerbangan QZ8501 di perairan dekat Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah pada akhir tahun 2014, yang menewaskan seluruh 162 jiwa penumpang dan awaknya.

Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono  menyampaikan hasil investigasi yang berlangsung selama 11 bulan di Jakarta, Selasa. Dalam jumpa pers tersebut, ia didampingi Kapten Nurcahyo Utomo, Ketua Subkomite Kecelakaan Udara KNKT dan Prof. Mardjono selaku ketua investigator.

Menurut Nurcahyo, kejadian itu berawal saat pesawat mengalami tiga kali gangguan pada rudder travel limiter unit (RTLU) seperti yang direkam oleh data penerbangan (Flight Data Recorder, FDR). Saat itu, pilot dan kopilot melakukan tindakan sesuai prosedur Electronic Centralized Aircraft Monitoring (ECAM).

"Pada pukul 06.15 terjadi gangguan keempat. FDR mencatat gangguan ini berbeda dengan sebelumnya. Salah satu awak pesawat mereset CB (circuit breaker) dari Flight Augmentation Computer (FAC). Tindakan ini mengakibatkan terputusnya arus listrik ke FAC yang membuat Auto Pilot dan Auto Trust tidak aktif,” jelasnya.

Dia menambahkan karena keadaan demikian mengakibatkan sistem kendali pesawat berubah dari Normal Law ke Alternate Law sehingga menghilangkan fungsi proteksi pesawat.

“Kemudian rudder bergerak yang menyebabkan pesawat terguling, roll hingga 48 derajat. Setelah itu pesawat relatif bisa dikendalikan, lalu berguling 104 derajat, sebelum menukik ke atas. Lalu, bagian belakang pesawat kehilangan daya angkat atau stall," ujar Nurcahyo.

Soerjanto menyatakan setiap pesawat biasanya mempunyai sistem proteksi yang melindungi pesawat dari situasi ekstrim (terguling, menukik ke atas atau ke bawah.

Pengendalian pesawat yang dilakukan dengan manual ini memasuki apa yang disebut sebagai upset condition.

Dia menambahkan perubahan sikap pesawat dari datar menjadi naik ke atas, yang mengubah energi kinetik menjadi energi potensial ini juga yang menjadi penyebab pesawat stall dan jatuh.

Laporan investigasi juga menyebutkan pencabutan CB pernah dilakukan mekanik saat pesawat AirAsia jurusan Surabaya-Singapura tiga hari sebelumnya. Ketika itu, pesawat juga mengalami gangguan sama, dengan pilot yang sama pula.

"Tetapi dalam kasus ini kami tidak tahu siapa yang melakukan pencabutan CB ini," ujar Soerjanto.

Faktor perawatan

Tim investigasi menyimpulkan gangguan RTLU akibat retakan solder pada elektronik modul sehingga menyebabkan aliran listrik tidak berkesinambungan (hidup-mati) dan gangguan yang berulang.

Menurut Nurcahyo, keretakan ini karena solder yang retak di bagian ekor pesawat. Cuaca ekstrim, panas sekali saat parkir dan dingin sekali ketika terbang berkontribusi pada terjadinya keretakan, jelasnya.

"Tidak adanya kewajiban bagi awak pesawat untuk melaporkan kerusakan atau problem setiap saat Post Flight Data dicetak, membuat problem ini tidak dapat dideteksi sejak dini," ujar Nurcahyo.

Dia menambahkan bahwa Post Flight Data dicetak satu jam setelah setiap pesawat menyelesaikan penerbangannya.

Rekomendasi

Dalam  laporannya, KNKT juga mengeluarkan rekomendasi kepada AirAsia Indonesia, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Federal Aviation Administrative dan European Aviation Safety Administration (EASA) untuk lebih mempertimbangkan safety flight.

"AirAsia Indonesia telah menindaklanjuti rekomendasi kami dengan melakukan 51 tindakan perbaikan," ujar Soerjanto.

KNKT juga meminta Airbus untuk memberikan pelatihan bagi para pilot bagaimana menghadapi upset condition.

"Selama ini pilot Airbus tidak pernah diberikan pelatihan tersebut karena dalam manual Airbus dikatakan pesawatnya tidak akan mengalami upset condition," ujar Nurcahyo.

Pesawat dengan nomor penerbangan QZ 8501, jatuh saat dalam penerbangan ke Singapura dari Surabaya pada 28 Desember 2014. Pesawat meninggalkan Bandar Udara Juanda, Surabaya, pada pukul 05.25 pagi dan sudah terbang selama 40 menit saat dinyatakan hilang dari pantauan radar.

Seharusnya, perjalanan ke Singapura memakan waktu tempuh dua jam. Tidak ada seorang pun selamat dari 162 yang diangkut pesawat, termasuk tujuh awak pesawat, 17 anak-anak dan satu bayi.

Sebagian besar korban adalah warga Indonesia, seorang kopilot Perancis, tiga warga negara Korea Selatan. Sementara warga negara Singapura, Malaysia dan Inggris masing-masing satu orang.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.