Aksi Protes Warga Papua Berlanjut, Sorong Bentrok
2019.08.20
Jayapura & Jakarta
Protes warga yang menolak diskriminasi dan ucapan rasis terhadap mahasiswa Papua kembali berlanjut di Papua dan Papua Barat dengan aksi ribuan massa turun ke jalan, Selasa, 20 Agustus 2019, sementara itu pegiat hak asasi manusia (HAM) mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meminta maaf secara langsung kepada masyarakat Papua.
Di Kota Sorong, Papua Barat, aksi protes berujung ricuh menyusul pernyataan Wali Kota Sorong, yang dinilai menyinggung massa sehingga pecah bentrok antara pendemo dan aparat keamanan.
Poly Way, seorang warga yang ikut aksi mengatakan unjuk rasa awalnya berjalan lancar. Massa berkelompok mendatangi kantor Wali Kota Sorong. Sekitar pukul 14:00 waktu setempat, massa diterima Wali Kota Lambert Jitmau dan jajarannya.
"Ini belum baca pernyataan lain-lain. Wali kota bilang semua sudah damai di Jakarta, jadi dia suruh kita bubar. Massa yang hadir tidak terima. Spontan mereka lempar batu, botol air, ke arah wali kota sehingga situasi kacau,” katanya saat dihubungi BeritaBenar
“Brimob yang pakai biru hitam itu, mulai lempar gas air mata ke arah kami (massa)."
Poly menambahkan kekacauan itu diikuti suara tembakan sehingga membuat massa berhamburan ke semua penjuru kota. Lalu, massa mulai melempar aparat keamanan dengan batu dan memblokade sejumlah ruas jalan sambil membakar ban bekas.
"Tong (kita) bubar, lari keluar. Setelah keluar, massa buat perlawanan dan ada bunyi tembakan," katanya, seraya menambahkan dia tidak tahu apakah ada korban dalam bentrokan itu.
Pernyataan Poly dibenarkan Kapolres Sorong Kota AKBP Mario Christy P. Siregar.
"Saat berdialog dengan Pak Wali Kota, dilempar botol dan batu oleh massa,” ujarnya.
Polisi langsung mengamankan Wali Kota Lambert, dan berusaha membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, terlihat sekelompok polisi berlarian dikejar oleh massa yang melempar petugas dengan batu.
Tidak diketahui jumlah korban yang jatuh dalam bentrok hari Selasa itu.
Wakil Gubernur Papua Barat, Mohamad Lakotani menyatakan bahwa 200 personil polisi dari Sulawesi telah dikirim ke Sorong untuk membantu pengamanan.
Komunikasi di Sorong dan sejumlah wilayah di Papua amat terbatas hari itu.
Internet di Sorong sengaja diperlambat di beberapa bagian di Papua, mempersulit orang untuk mengambil gambar dan video kata juru bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika, seperti dikutip di Reuters.
Situasi Kota Sorong pada Selasa malam tampak sepi dan aparat keamanan berjaga-jaga di beberapa sudut jalan protokol yang biasanya selalu ramai.
Deli Siep, seorang ibu rumah tangga yang ikut protes di Teminabuan, Sorong Selatan, mengaku senang karena demo berlangsung lancar.
Ia menjelaskan, aksi damai itu dilakukan dengan berjalan kaki sambil berorasi mulai dari Lapangan Trinati melalui jalan raya hingga ke pasar Kajase dan kembali ke Trinati.
"Saya senang karena tadi ada Pak Bupati. Dia bilang, mereka bilang orang Papua monyet dan saya juga orang Papua berarti itu juga ditujukan untuk saya maka saya harus ambil bagian dalam aksi ini'," ujar Deli mengulang kata-kata Bupati Syamsuddin Anggiluli saat berbicara di Lapangan Trinati.
Unjuk rasa damai juga digelar di berbagai daerah lain di Papua dan Papua Barat. Selain itu, para mahasiwa Papua di Yogyakarta juga menggelar aksi long march.
Narapidana mulai kembali
Dalam kerusuhan sehari sebelumnya, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Kota Sorong terbakar sehingga memaksa ratusan narapidana melarikan diri.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto, mengatakan kebakaran hanya mengakibatkan gedung administrasi tidak bisa digunakan. Sedangkan ruang tahanan masih bisa menampung para narapidana.
“Situasinya saat ini sudah dapat dikendalikan, petugas yang terluka juga sudah bertugas kembali,” katanya saat dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Selasa petang.
Saat aksi Senin, massa yang mengecam rasisme atas mahasiswa Papua di Jawa Timur, memprovokasi narapidana dengan melempar batu ke areal lapas sehingga mereka mengamuk dan berupaya menyerang petugas yang menyebabkan seorang terluka.
Para narapidana berupaya menjebol bagian tembok lapas, membakar ruang adminstasi dan dari 547 narapidana yang ditahan di lapas itu, 258 orang di antaranya kabur saat api melumat bangunan perkantoran.
Menurut Ade, sebagian narapidana telah kembali dengan diantar keluarganya, untuk menjalani sisa masa hukuman.
“Jumlah mereka yang kembali hingga kini masih didata, kita terus melakukan koordinasi dengan aparat keamanan untuk memulangkan para napi yang melarikan diri,” katanya.
‘Jokowi harus minta maaf’
Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk meminta maaf secara langsung kepada masyarakat Papua atas intimidasi dan tindakan rasis di Surabaya dan Malang terhadap mahasiswa Papua.
Koordinator KontraS, Yati Andriani menyayangkan pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat dan mahasiswa Papua untuk saling memaafkan atas insiden di Jawa Timur itu.
"Kami ingin Presiden menyatakan sebagai presiden, kepala negara, meminta maaf terhadap rasisme dan diskriminasi terhadap masyarakat Papua dan menyatakan bahwa siapapun yang terlibat dengan tindakan-tindakan tersebut harus dihukum sesuai proses hukum yang ada," kata Yati.
Menurutnya, peristiwa yang terjadi di Manokwari, Sorong dan Jayapura adalah puncak dari segala diskriminasi yang telah dialami masyarakat dan mahasiswa Papua.
Direktur Institute Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara meminta agar seluruh pelaku diskriminasi dan tindakan rasial atas mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang diseret ke meja hijau.
“ICJR mengecam segala bentuk diskriminasi rasial dan penangkapan secara sewenang-wenang terhadap mahasiswa Papua di berbagai wilayah,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar.
ICJR juga menuntut pemerintah segera mengusut dan mengadili aparat kemanan yang melakukan tindakan kekerasan terhadap para mahasiwa Papua.
“Hentikan seluruh praktik penangkapan sewenang-wenang oleh pihak kepolisan. Polisi harus mampu menghadirkan dua alat bukti sebelum melakukan penangkapan terhadap mahasiswa Papua,” ujarnya.
Pendapat senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam pernyataan yang diterima BeritaBenar.
“Ini adalah sinyal rendahnya penghormatan terhadap hak asasi manusia Papua sekaligus sinyal memburuknya situasi HAM Papua,” katanya.
“Kejadian di Surabaya memperlihatkan bagaimana aparat negara dan kelompok non-negara bersama melakukan tindakan represif dan diskriminatif bernuansa kebencian rasial dan permusuhan terhadap mahasiswa Papua. Polisi pun membiarkan lontaran kata-kata bernada penghinaan rasial seperti menyebut orang Papua sebagai monyet, anjing, dan babi.”
Usman menambahkan bahwa seharusnya kepolisian mencegah tindakan persekusi yang dilakukan oleh massa dan menindak tegas pelaku.
“Ironisnya, aparat justru ikut mengepung asrama dan melakukan penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan menembakkan gas air mata, mendobrak pintu gerbang asrama dan melakukan penangkapan sewenang-wenang,” pungkasnya.