Aktivis kecam rencana penambahan kodam di setiap provinsi Indonesia

"Reformasi semestinya mendorong TNI fokus pada kekuatan pertahanan, bukan malah mundur seperti Orde Baru yang mendekatkan [militer] dengan peran sosial politik."
Arie Firdaus
2023.05.31
Jakarta
Aktivis kecam rencana penambahan kodam di setiap provinsi Indonesia Prajurit Tentara Nasional Indonesia meneriakkan slogan dalam latihan upacara peringatan ulang tahun TNI ke-70 di Cilegon, Banten, 3 Oktober 2015.
Beawiharta/Reuters

Diperbarui pada 31 Mei 2023 pukul 23:00 WIB

Pembentukan markas komando daerah militer di setiap provinsi dinilai akan memperluas peran tentara di ranah sipil serta mengkhianati tujuan Reformasi, kata sejumlah pengamat pada Kamis (25/5).

Sejak kejatuhan Presiden Soeharto pada 1998, peran tentara telah diperkecil dan difokuskan menjaga pertahanan negara terutama dari ancaman luar. Tentara juga tak diperkenankan menduduki jabatan sipil, seperti termaktub pada UU No 34/2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). 

Undang-undang itu juga melarang pendirian markas komando daerah militer – kodam – di setiap provinsi. Saat ini ada 15 kodam di seluruh Indonesia, yang memiliki 38 provinsi yang tersebar dari Sumatra hingga Papua.

Lembaga pemantau hak asasi manusia dan keamanan, SETARA Institute menyatakan, penambahan kodam adalah sebuah bentuk kemunduran setelah Reformasi.

“Wacana penambahan Kodam dan revisi UU TNI memiliki aroma perluasan peran militer di ranah sipil yang begitu kental,” kata peneliti SETARA Ikhsan Yosarie dalam keterangan tertulis diterima BenarNews.

"Reformasi semestinya mendorong TNI fokus pada kekuatan pertahanan, bukan malah mundur seperti Orde Baru yang mendekatkan [militer] dengan peran-peran sosial politik."

Organisasi hak asasi lainnya, Imparsial, menilai penambahan kodam di setiap provinsi adalah bentuk kehendak melanggengkan pengaruh militer, khususnya Angkatan Darat dalam kehidupan politik dan keamanan dalam negeri.

Imparsial juga menilai wacana penambahan kodam menunjukkan ketiadaan visi pemerintah dalam prioritas penggunaan anggaran pertahanan negara.

“Penambahan kodam di setiap provinsi adalah pemborosan, di tengah terbatasnya anggaran untuk modernisasi alutsista [alat utama sistem senjata],” kata peneliti Direktur Imparsial Gufron Mabruri.

Sementara itu Ketua Centra Initiative Al Araf menilai penambahan kodam di setiap provinsi akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto memperluas kodam demi mengamankan kemenangan pada pemilihan umum.

"Kodam jadi instrumen yang dekat dengan masyarakat. Mereka juga menjadi alat melawan kekuatan petani dan buruh yang memprotes kebijakan pemerintah," katanya.

Tentara, yang menjadi pendukung utama Presiden Soeharto saat berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, mendapatkan peran-peran penting di politik dan kehidupan sipil, mulai dari kelompok perwakilan di parlemen hingga jabatan pada beragam level pemerintahan termasuk kepala daerah.

Warga mengunjungi Museum Soeharto di Bantul, Yogyakarta, 29 Maret 2014. [Reuters]
Warga mengunjungi Museum Soeharto di Bantul, Yogyakarta, 29 Maret 2014. [Reuters]

"Ancaman makin kompleks"
Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat Brigadir Jenderal Hamim Tohari membela wacana penambahan kodam dengan mengatakan penambahan itu "justru untuk membantu mengatasi berbagai persoalan masyarakat seperti bencana alam, masalah pangan, atau konflik sosial."

"Ancaman dan tantangan kan semakin kompleks. TNI Angkatan Darat harus adaptif terhadap dinamika tersebut," tambah Hamim yang mengistilahkan berbagai persoalan tersebut sebagai operasi militer selain perang.

Wacana pembentukan markas kodam di setiap provinsi pertama kali disampaikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman pada rapat pimpinan di markas besarnya di Jakarta pada 10 Februari. Menurut Dudung, penambahan markas kodam adalah bagian peningkatan kesiapsiagaan dan respons tentara terhadap beragam kondisi darurat di tengah masyarakat.

Dudung bulan lalu juga mengklaim bahwa wacana penambahan kodam telah disetujui Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

Hamim mengatakan pembahasan aturan yang mengatur penambahan kodam kini sedang digodok di Kementerian Pertahanan.

BenarNews menghubungi Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, tapi belum beroleh balasan. Namun dikutip dari CNN Indonesia, Dahnil mengatakan Kementerian Pertahanan pada prinsipnya setuju dengan penambahan kodam.

Presiden Joko Widodo menginspeksi pasukan dalam upacara Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia ke-74  di Pangkalan Udara Halim, Jakarta, 5 Oktober 2019. [AFP]
Presiden Joko Widodo menginspeksi pasukan dalam upacara Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia ke-74 di Pangkalan Udara Halim, Jakarta, 5 Oktober 2019. [AFP]

Kritik bukan hanya dari pegiat HAM
Kritik terhadap wacana penambahan kodam tak cuma datang dari para pegiat hak asasi manusia. Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pidato di perayaan ulang tahun ke-58 Lembaga Ketahanan Nasional di Jakarta pada Sabtu pekan lalu juga mengkritisi wacana tersebut dengan mengatakan, "Ini enggak ada perang. Apa kita juga mau perang? Kan enggak."

Megawati menambahkan, andai kata pun ada serangan maka yang pertama kali mengadang musuh adalah kapal laut dan pesawat, bukan pasukan Angkatan Darat, sehingga penambahan kodam tidak diperlukan.

Serupa dengan Megawati, Anggota Komisi Pertahanan DPR Tubagus Hasanuddin saat dihubungi menilai alasan penambahan kodam demi menghadapi ancaman sebagai "alasan yang tidak masuk akal."

Menurut Hasanuddin, ancaman keamanan yang diprediksi TNI sampai 2024 masih tidak berubah dan telah sesuai dengan rencana strategis yang disepakati, yakni TNI berfokus pada pemenuhan minimum essential force [kekuatan esensial minimal] sebesar 70 persen pada 2024.

"Usulan penambahan kodam itu belum ada urgensinya. Yang dibutuhkan adalah penambahan dan modernisasi alutsista," kata Hasanuddin.

Revisi UU TNI
Wacana penambahan kodam disampaikan seiring dengan upaya pihak militer untuk merevisi 15 pasal pada UU TNI, yang antara lain memungkinkan perwira aktif TNI mengisi lebih banyak jabatan sipil serta memperluas jenis operasi militer yang dapat melibatkan TNI – dari semula 14 menjadi 19.

Dalam usulan revisi, TNI nantinya juga dapat dilibatkan dalam mendukung tugas pemerintah daerah serta kepolisian dalam rangka menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

Jabatan sipil baru yang diusulkan dapat diisi perwira aktif TNI mencakup Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, dan Badan Keamanan Laut. 

Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjojono kepada BenarNews beberapa waktu lalu mengatakan bahwa revisi beleid tersebut bermaksud mengakomodasi peran tentara yang lebih besar dalam proses bernegara serta mengembangkan profesionalisme tentara dalam koridor operasi militer selain perang.

Julius menilai rencana tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan karena TNI selama ini sudah terlibat aktif dalam kegiatan non-perang seperti penanganan COVID-19, bencana alam, hingga evakuasi warga negara Indonesia di luar negeri.

Namun, Al Araf menilai revisi UU TNI belum diperlukan. "Meletakkan fungsi militer sebagai alat keamanan negara adalah keliru dan membahayakan demokrasi karena militer dapat digunakan untuk menghadapi masyarakat jika dinilai sebagai ancaman keamanan negara," ujarnya.

Peran TNI yang dilabeli sebagai "dwifungsi" atau tugas ganda tentara tersebut dihapuskan seiring penerbitan UU TNI tahun 2004 yang intinya mengembalikan peran militer sebagai penjaga pertahanan negara.

Kemunduran demokrasi?

Sejumlah analis mengatakan bahwa dalam dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo terjadi kemunduran demokrasi sejak ia menjabat pada 2014.

Natalie Sambhi, pakar urusan keamanan Indonesia di Brookings Institution di Washington DC, menulis dalam laporan tahun 2021 bahwa Jokowi telah menunjuk beberapa pensiunan jenderal untuk menduduki posisi kunci dalam kabinetnya, mengandalkan sistem teritorial tentara untuk proyek pembangunan, dan mengizinkan mantan perwira untuk membentuk kebijakan publik.

“Meskipun pengaruh militer bukanlah hal baru, kurang familiarnya Jokowi dengan urusan keamanan dan juga pengetahuan akan latar belakang terkait elit politik dan militer telah mengharuskannya aktif berhubungan dengan 'broker' kekuasaan di angkatan bersenjata,” tulisnya.

Kurangnya komitmen ideologis Jokowi terhadap demokrasi membuatnya nyaman untuk mendelegasikan masalah keamanan kepada tokoh militer terpercaya yang memiliki sejarah tidak menghormati hak asasi manusia dan kebebasan sipil, kata Natalie dalam kajiannya.

Dalam versi yang diperbarui ini ditambahkan sejumlah foto pendukung dan komentar dari analis Natalie Sambhi dari Brookings Institution di Washington DC.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Harjuno Sosro
2023-08-28 12:12

Pandangan saya tentang penambahan Kodam sesuai kebutuhan. Harus setiap Provinsi berdiri Kodam. Soal Sosial Poltik ya nggak usah terlalu su'udzon. Ini jaman 2023 bukan jaman1980 an.
Lebih baik dibangun Kodam disetiap Provinsi.