Aktivis Desak Kepolisian Ungkap Penyebab Kematian Petani di Kalteng

Aktivis mengecam apa yang mereka sebut sebagai makin banyaknya ancaman fisik dan hukuman bagi pegiat lingkungan.
Ronna Nirmala
2020.04.28
Jakarta
200428_ID_palmoil_1000.jpg Dalam foto tertanggal 14 Februari 2017 ini, para pekerja menunggu sebelum memindahkan kelapa sawit dari perahu di wilayah Kendawangan, Kalimantan Barat.
AFP

Kelompok lingkungan dan hak asasi menuntut tanggung jawab penegak hukum atas kematian seorang petani adat di Kalimantan Tengah yang meninggal dunia saat dalam status tahanan kepolisian dengan tuduhan mencuri kelapa sawit dari lahan yang disengketakan.

Hermanus Bin Bison (36), warga Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur, meninggal dunia pada Minggu (26/04) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Murjani Sampit setelah mengeluhkan batuk dan flu berat.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palangka Raya, Aryo Nugroho, mengatakan sejak ditangkap hingga proses persidangan, hak-hak dasar Hermanus tidak dipenuhi dan ketika kondisi kesehatannya memburuk, permintaan penangguhan penahanan juga tidak dikabulkan.

“Penasihat hukum telah memohon penangguhan dengan alasan wabah COVID-19, kondisi kesehatan tahanan dan juga ruang tahanan yang di luar kapasitas,” kata Aryo kepada BenarNews.

“Aparat harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan atas kasus meninggalnya Hermanus,” tambahnya.

BenarNews telah berusaha untuk mendapatkan respons dari pihak kepolisian di Kotawaringin Timur dan juga POLRI, namun hingga berita ini ditulis, respons belum diterima.

Hermanus ditahan bersama Dilik Bin Asap dan James Watt Bin Atie, dua petani adat di Kotawaringin Timur karena laporan pencurian buah kelapa sawit seberat 4,3 ton di areal lahan yang sudah menjadi sengketa antara masyarakat dan PT Hamparan Mas Bangun Persada (HMBP) sejak 2006.

Hermanus dan Dilik ditangkap pada 17 Februari di Kotawaringin Timur, sedangkan James ditangkap pada 7 Maret saat berada di Jakarta untuk mengadukan kasusnya mereka ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

“Mereka ditangkap atas tuduhan pencurian buah sawit, padahal tanah tersebut sedang dalam proses sengketa dan berada di luar HGU (hak guna usaha) perusahaan,” kata organisasi lingkungan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah.

Koalisi Keadilan untuk Pejuang Lingkungan dan Agraria Desa Penyang, termasuk Walhi meminta aparat menghentikan persidangan atas Dilik dan James.

Selain itu, Walhi juga meminta Kapolri untuk memerintahkan jajaran Polda Kalimantan Tengah untuk menghentikan cara-cara penegakan hukum yang tidak adil terhadap konflik agraria antara masyarakat Desa Penyang dan HMBP.

“Segera hentikan proses pengadilan yang sejak awal telah terindikasi kuat sebagai skenario untuk membungkam perjuangan masyarakat,” tukas Walhi.

Tuntutan pengembalian lahan

Konflik lahan yang membuat Hermanus, Dilik, dan James ditahan berawal dari perebutan lahan seluas 117 hektare yang berada di luar hak guna usaha HMBP.

Koalisi Pejuang Agraria dan Lingkungan Warga Desa Penyang mengatakan, HMBP mengantongi izin lokasi seluas 8.200 hektare. Namun, mereka menanam di luar HGU, termasuk pada lahan seluas 117 hektare milik warga Desa Penyang.

Padahal, pada 21 Oktober 2019, pihak perusahaan melalui rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kalimantan Tengah telah sepakat untuk menyerahkan lahan tersebut kepada warga setempat.

Selain itu, HMBP juga diduga melakukan penimbunan danau alam, Sungai Paring Dua dan Sungai Pinang Tunggal untuk penanaman sawit.

“Perusahaan diduga melanggar Pasal 50 ayat 3 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan melanggar Pasal 17 ayat 2 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,” kata Safrudin, Direktur Save Our Borneo, anggota koalisi lainnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto mengatakan kriminalisasi atas hutan adat tidak akan terjadi selama warga memiliki izin yang jelas terhadap hak perhutanan sosial.

“Kalau tanah adat itu bisa dibuktikan, kita pasti berpihak ke masyarakat. Bisa dijadikan hutan adat,” kata Bambang kepada BenarNews.

Sering terjadi

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 279 konflik agraria pada lahan seluas 734.239,3 hektar terjadi sepanjang 2019.

Konflik tersebut melibatkan 109.042 kepala keluarga (KK) di 420 desa di 34 provinsi Indonesia. Kasus tertingginya terjadi di sektor perkebunan dengan 87 konflik, disusul sektor infrastruktur 83 konflik, properti 46 konflik, pertambangan 24 konflik, dan kehutanan 20 konflik.

“Ini menunjukkan tidak adanya inventarisasi penguasaan riil di lapangan dan kesepakatan batas dengan masyarakat. Jadilah klaim-klaim kawasan hutan tumpang tindih,” kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal KPA, dalam laporan tahunan tersebut.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menjanjikan 12,7 juta hektare lahan kawasan untuk dikelola masyarakat kecil dalam periode pertama kepemimpinannya. Namun hingga akhir 2019, luasan lahan yang telah terdistribusi hanya mencapai 3,13 juta hektare.

Meningkatnya ancaman atas aktivis lingkungan

Aktivis di Tanah Air telah mengecam apa yang mereka sebut sebagai makin banyaknya ancaman fisik dan hukuman bagi para aktivis khususnya pegiat lingkungan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada bulan November, dua aktivis yang terlibat dalam sengketa tanah antara warga dan perusahaan perkebunan kelapa sawit ditemukan tewas di Sumatra Utara. Polisi telah menangkap setidaknya lima tersangka dalam kasus ini, termasuk seorang eksekutif kelapa sawit yang diduga memerintahkan pembunuhan itu.

Walhi mengatakan kekerasan terhadap aktivis telah dipicu oleh dorongan pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menggenjot investasi guna menopang perekonomian yang lesu.

Dalam sebuah laporan yang dirilis pada akhir 2018, Walhi mengatakan bahwa setidaknya 32 aktivis menjadi korban dakwaan "palsu", seperti penghasutan, perusakan properti, dan penyebaran komunisme.

Sementara itu, setidaknya 555 kasus sengketa hutan dan perkebunan dilaporkan ke Kantor Staf Kepresidenan, tetapi sedikit tindakan yang diambil untuk menyelesaikannya, demikian Walhi.

Pada tahun 2018, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman empat tahun penjara bagi Hari Budiawan, seorang aktivis lingkungan, atas dakwaan menyebarkan komunisme selama protes anti-penambangan 2017 di provinsi Jawa Timur.

Pada bulan Oktober tahun lalu, aktivis mengkritik polisi di Sumatra Utara karena menghentikan penyelidikan atas kematian pengacara dan aktivis lingkungan Golfrid Siregar, yang mewakili Walhi menuntut pemerintah setempat atas proyek pembangkit listrik tenaga air yang didukung Cina.

Golfrid ditemukan dalam keadaan kritis dan tidak sadarkan diri di tengah jalan dan meninggal beberapa hari kemudian di rumah sakit. Polisi mengklaim tewasnya Golfrid akibat kecelakaan tunggal dimana ia tidak bisa mengendalikan motornya karena berada di bawah pengaruh minuman keras.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.