Puluhan Aktivis Papua Ditangkap Saat Unjuk Rasa
2019.08.15
Jayapura & Malang
Unjuk rasa rakyat Papua yang menamakan diri Komite Aksi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di sejumlah tempat, Kamis, 15 Agustus 2019, berakhir dengan penangkapan puluhan aktivis, sementara di Malang, Jawa Timur, 23 orang terluka setelah mahasiswa Papua diserang kelompok massa.
Unjuk rasa itu untuk mendukung pembahasan isu Papua dalam Forum Kepulauan Pasifik (PIF) yang sedang berlangsung di Tuvalu, sebuah negara kecil di kawasan Pasifik Selatan, pada 13-16 Agustus 2019.
Sebelum diangkut ke kantor polisi dengan alasan aksi damai itu tidak mengantongi izin, para aktivis dan simpatisan ULMWP dalam orasinya berharap PIF menerbitkan resolusi untuk mendesak kunjungan Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (HAM PBB) ke Papua.
“Puluhan demonstran dibawa ke kantor polisi dari Dok V Jayapura, Expo Waena dan Sentani. Mereka masih ditahan hingga sore ini,” kata Markus Haluk, Kepala Kantor Perwakilan ULMWP di Papua, kepada BeritaBenar.
Kapolres Jayapura, AKBP Victor Mackbon mengatakan para demonstran diamankan karena menggelar unjuk rasa tidak mengantongi izin.
“Sejauh ini kami sedang mendalami motifnya,” katanya saat dikonfirmasi.
Saat pertemuan para menteri PIF, beberapa waktu lalu, masalah dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua direkomendasikan menjadi salah satu agenda pertemuan para kepala negara-negara Kepulauan Pasifik, selain isu perubahan iklim, keamanan regional dan tata kelola laut.
Hal itu membuat gerah Indonesia. Apalagi setelah Vanuatu mengikutsertakan Benny Wenda, tokoh Papua merdeka, ke dalam delegasinya dalam pertemuan tersebut.
“Kami sudah sampaikan protes melalui duta besar di Fiji pada minggu lalu, baik tertulis maupun bertemu langsung dengan Sekjen PIF di Suva, Fiji, minggu lalu,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Teuku Faizasyah, Senin, 12 Agustus 2019.
Namun, menurut Markus, aksi yang mereka gelar menunjukkan hasrat rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.
“Kami berharap pertemuan PIF akan menerbitkan resolusi yang mendesak kunjungan Komisi HAM PBB ke Papua,” ujarnya seraya menambahkan unjuk rasa juga digelar di Manokwari, Timika, Merauke dan sejumlah daerah di Indonesia.
Seorang pengunjuk rasa, Calvin Wenda, yang ditahan di Polres Kota Jayapura mengaku ikut demo karena mengusung isu hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
“Kami menolak New York Agreement dan Pepera. Kami juga mendesak agar TNI ditarik dari Nduga,” katanya.
Perjanjian New York, adalah perjanjian mengenai pemindahan kekuasaan atas Papua Barat dari Belanda ke Indonesia yang diprakarsai AS, yang terjadi tepat pada hari itu, 57 tahun lalu.
Sedangkan Pepera atau Penentuan Pendapat Rakyat adalah referendum oleh sejumlah rakyat Papua pada 1969 yang menghasilkan keputusan untuk tetap berada di wilayah Indonesia. Namun demikian sejumlah pihak menilai Pepera dilakukan secara tidak demokratis, karena 1.025 rakyat yang berpartisipasi di dalamnya telah ditentukan oleh militer yang memaksa mereka untuk bergabung dengan Indonesia.
Gustaf Kawer, pengacara HAM Papua yang mendampingi para demonstran mengatakan 65 peserta aksi ditahan di Kota Jayapura dan 46 ditangkap di Sentani.
“Total 111 orang yang ditangkap polisi,” katanya.
Gustaf menambahkan, mereka yang ditahan di Polres Jayapura sudah dilepaskan pukul 18.00 waktu setempat, sementara yang ditahan di Polresta Jayapura masih diperiksa hingga pukul 19.00.
Bentrok
Dari Malang dilaporkan bahwa aksi unjuk rasa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) diwarnai bentrokan dengan sekelompok massa.
Bentrokan diawali saat 30-an anggota AMP berjalan menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang.
Tiba-tiba sekelompok massa mengadang mahasiswa Papua dan sempat bersitegang, hingga terjadi saling pukul dan lempar batu.
“Ada mahasiswa Papua yang dikejar-kejar," kata seorang saksi mata, M. Ahwan.
Sekitar 100 aparat kepolisian dan TNI turun ke lokasi hingga bentrokan berhenti setelah sejumlah orang terluka.
Beberapa mahasiswa Papua diangkut truk polisi. Sedangkan korban terluka dibawa ke rumah sakit.
“Mahasiswa Papua diangkut ke sekretariat mereka di daerah Tlogomas,” kata Kapolres Malang Kota, AKBP Asfuri.
Menurutnya, aksi mahasiswa Papua berpotensi memicu gesekan antar-warga, sehingga polisi tak memberi izin unjuk rasa yang rencana digelar di depan gedung DPRD Kota Malang.
Juru bicara AMP Komite Malang, Wenne Huby, mengatakan aksi mereka berlangsung damai, tapi tiba-tiba diserang dengan lemparan batu dan pemukulan oleh kelompok organisasi masyarakat (ormas).
“Kami dihadang ormas dan intel berpakaian preman,” ujarnya, “kami diejek, disebut nama-nama binatang. Kami dilempar batu dan dipukul sehingga 23 orang terluka.”
Saat bentrokan terjadi, sekitar 100 aparat kepolisian dan TNI telah berada di lokasi tidak mampu menghalau penyerangan tersebut.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengecam aparat kepolisian yang terkesan membiarkan kekerasan terhadap mahasiswa Papua itu.
Koordinator Badan Pekerja KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, menyebut selama setahun terakhir terjadi delapan kali pembubaran unjuk rasa mahasiswa Papua di Jawa Timur.
“Seharusnya polisi menjaga dan mengamankan para anggota AMP yang menyampaikan pendapat di muka umum,” pungkas Khoir.