Aktivis HAM Sebut Hendropriyono Terlibat Pembunuhan Munir

Para aktivis mendesak pemerintah untuk membentuk tim kepresidenan guna membuka kembali kasus pembunuhan Munir.
Zahara Tiba
2016.11.01
Jakarta
161101_ID_Munis_1000.jpg Pollycarpus (kanan) saat persidangan kasus pembunuhan Munir, di Jakarta 27 November 2007
AFP

Aktivis hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam Kelompok Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM) menyebut mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Makhmud Hendropriyono dan sejumlah pejabat BIN diduga terlibat dalam rencana pembunuhan aktivis Munir Said Thalid, 12 tahun silam.

Sekretaris Eksekutif KASUM, Choirul Anam, mengatakan semua bukti catatan keluar masuk telepon mengarah adanya keterlibatan pejabat-pejabat BIN, termasuk Muchdi PR yang saat itu menjabat Deputi V BIN dan mantan direktur BIN, Budi Santoso.

Nama Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia yang juga diduga bekerja untuk BIN, disisipkan dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam dimana Munir meregang nyawa akibat racun arsenik.

“Nomor ini ialah nomor Budi Santoso, yang tak hanya berhubungan dengan Pollycarpus, tapi dengan pejabat-pejabat BIN yang lain. Secara faktual ini tidak terbantahkan,” ujar Choirul seraya menunjukkan bagan catatan telepon terkait pembunuhan Munir, saat jumpa pers di Jakarta, Minggu, 30 Oktober 2016.

Hendropriyono yang dihubungi beberapa kali untuk konfirmasi menyangkut pernyataan Kasum tidak mengangkat telepon. Pesan singkat yang dikirim BeritaBenar juga tak dibalasnya.

Choirul menambahkan penting bagi KASUM dan masyarakat mengingatkan dan meminta klarifikasi kepada mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang Selasa pekan lalu merilis pernyataan terkait hilangnya dokumen TPF.

Choirul juga mengingat mantan kepala BIN menolak diperiksa Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir.

“Kasus ini pembunuhan besar dan skema konstruksinya sistematis. Semua perangkat BIN tidak mungkin tidak melibatkan ketua,” tukas Choirul.

Mantan Ketua TPF Munir, Marsudhi Hanafi, menegaskan perkara pembunuhan aktivis HAM itu belum tuntas karena ada pihak diduga terlibat yang lolos dari proses hukum.

"Kan dia bergerak di lingkungan BIN. Waktu itu, pimpinan BIN kan Hendro dan tentulah dia harus tahu," ujar Marsudhi seperti dikutip dari kompas.com, Selasa pekan lalu.

Marsudhi menambahkan, nama Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang dihubungi BeritaBenar tidak mengangkat telepon. Begitu juga pesan singkat tidak dibalasnya.

Tetapi, Rabu pekan lalu seperti dikutip tempo.co, Prasetyo dilaporkan terkesan enggan menanggapi nama-nama yang disebut tertera dalam dokumen TPF.

"Jangan melangkah lebih jauh dulu. Jangan berasumsi A, B, atau C terlibat," ujarnya.

Prasetyo mengatakan, kejaksaan tak akan mengambil sikap sebelum melihat dokumen tersebut.

"Jangan berandai-andai. Itu kan tuduhan. Kami akan lihat dokumennya seperti apa," katanya.

Desak bentuk tim

Chairul menyebutkan bahwa pihaknya mendesak pemerintah untuk membentuk tim kepresidenan guna membuka kembali kasus pembunuhan Munir.

Tim ini nantinya membuka catatan rekaman 41 kali percakapan telepon yang tak pernah muncul di pengadilan antara nama-nama yang terkait, dan bukan hanya call data record.

Terkait desakan membentuk tim itu, juru bicara presiden, Johan Budi ketika dikonfirmasi BeritaBenar sempat mempertanyakan, “siapa itu KASUM?”

Namun saat dihubungi lagi, Johan tak menjawab panggilan. Pesan juga tak dibalasnya.

Menurut Choirul, rekaman percakapan telepon didapatkan ketua tim pengusutan kasus Munir saat itu, yakni Bambang Hendarso Danuri, ketika dia kembali dari perjalanannya ke Seattle, Amerika Serikat. Bambang saat itu menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.

“Beliau mengatakan oleh-oleh dari Seattle memang salah satunya rekaman suara, bukan alur komunikasi atau call data record. Pokoknya tebal dan mengkonstruksi banyak hal,” ungkap Choirul.

“Rekaman itu sudah didapatkan kepolisian dan kejaksaan. Tetapi sama seperti kasus hilangnya dokumen, ada dugaan barang bukti rekaman dihilangkan atau tidak dipakai.”

‘Hilang atau dihilangkan’

Aswinawati dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menduga jika rekaman itu tidak ada, ada dua kemungkinan yang terjadi, “hilang atau dihilangkan”.

“Kalau menghilang berarti ada kelalaian dan ada orang yang mencuri. Artinya Kejaksaan Agung harus bertanggung jawab,” ujarnya.

“Kalau dihilangkan artinya ada kejahatan. Artinya Kejaksaan Agung yang membiarkan atau ada orang lain yang melakukan operasi untuk menghilangkan barang bukti itu,” tambah Aswinawati.

Dia juga mengingatkan kasus ini telah menelan korban lain, termasuk mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan dan bekas sekretaris kepala pilot Garuda Rohanil Aini, yang didakwa dan dihukum atas keterlibatan mereka.

Rohanil didakwa karena menempatkan Polycarpus secara tidak sah ke penerbangan GA-974, yang sama dengan Munir GA-974, pada 7 September 2004.

Sementara Indra didakwa karena memberikan legitimasi agar Polycarpus mendapatkan pekerjaan yang menempatkan dia di penerbangan tersebut.

“Artinya, putusan kedua orang ini sebetulnya mengkonfirmasi memang ada operasi di Garuda saat itu untuk melakukan pembunuhan Munir dan mereka sudah dihukum,” ujar Aswinawati.

Lebih lanjut, Choirul berharap tim kepresidenan nantinya dapat mengevaluasi laporan BIN dan fakta-fakta yang didapatkan.

“Saya rasa yang menjadi pembeda TPF dan tim kepresidenan adalah tim lebih kuat dan dihormati seluruh pihak. Saya yakin tim kepresidenan akan lebih mudah bekerja dari tim TPF yang dahulu,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.