Aktivis: Stop Pidanakan Warga yang Kritisi Pemerintah Soal COVID-19
2020.04.07
Jakarta
Kelompok masyarakat sipil mendesak polisi menghentikan berbagai bentuk pemidanaan terhadap warga yang mengkritik kebijakan pemerintah dalam penanganan virus corona dengan dalih melindungi martabat pemerintah dan presiden.
Kapolri Jenderal Idham Aziz, lewat surat telegram telah mengintruksikan seluruh jajarannya untuk menyidik ujaran kebencian, hoaks, dan penghinaan terhadap pemerintah serta presiden selama situasi pandemi corona.
Surat itu menjadi landasan bagi polisi untuk memproses berbagai kritik yang dilontarkan masyarakat terhadap penangulangan COVID-19, terutama di media sosial.
“Kami mengecam tindakan itu dan meminta kepolisian agar segera menghentikan segala proses hukum terhadap setiap orang yang menggunakan haknya untuk berekspresi secara sah,” kata Direktur Eksekutif Institute Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, saat dihubungi BenarNews, Selasa 7 April.
Dalam Rapat dengan Komisi III DPR Jumat pekan lalu, Idham menyebut telah ada 51 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan telah menyebarkan kabar bohong dan menghina pemerintah.
Polri juga melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap 25 akun media sosial.
Erasmus mengatakan, dari sejumlah kasus yang telah diselidiki Polri, semua mengarah pada masalah pembatasan kemerdekaan berpendapat dan berekspresi atas nama penghinaan presiden.
Padahal menurutnya pasal penghinaan presiden yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Pidana (KHUP) telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
“MK menegaskan bahwa perbuatan kriminalisasi terhadap penghinaan Presiden tidak lagi relevan untuk diterapkan dalam masyarakat demokratis, negara yang berkedaulatan rakyat dan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,” ujarnya.
Karena itu dia menilai polisi telah melanggar konstitusi dengan tetap mengacu pada pasal tersebut dalam menggapi kritik masyarakat. “Aparat juga dapat dianggap melawan Konstitusi ketika secara eksesif melakukan penegakan hukum dengan tidak didasari argument hukum yang tepat,” ujarnya.
Sementara itu Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan, selain pasal penghinaan terhadap presiden, sejumlah pasal dalam Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik juga digunakan untuk membungkam masyarakat yang mengkritik pemerintah.
“Sudah banyak korban dari pasal-pasal ITE yang digunakan oleh polisi untuk membungkam suara masyarakat yang mengkritik pemerintah,” ujarnya saat dihubungi.
Menurutnya, justru yang kerap menyebarkan hoaks selama penyebaran COVID-19 adalah pejabat pemerintah. Misalnya beberapa menteri yang sebelumnya menganggap remeh virus itu, dan disebut dapat mati dalam suhu di tinggi di negara beriklim tropis seperti Indonesia.
“Yang pertama harus ditangkap itu pejabat karena mereka sebelumnya virus corona bisa hilang di tempat panas, Presiden yang bilang bahwa virus corona sudah ditemukan obatnya, semua itu kan hoaks yang ikut disebarkan oleh pejabat,” ujarnya.
Jumat pekan lalu, polisi siber Bareskrim menangkap seorang warga bernama Ali Baharsyah yang disebut menghina presiden Joko Widodo lewat video yang beredar di media sosial.
Di video itu, Ali mengkritik usulan Jokowi untuk memberlakukan darurat sipil dan mempertanyakan kemampuan Jokowi sebagai presiden.
"Woi, tanya dong itu presiden siapa sih? G****k banget dah. Ini ada virus, darurat kesehatan, kok yang diterapin malah kebijakan darurat sipil? Emang ada perang? Ada kerusuhan, ada pemberontakan? Heran deh, orang g* kok bisa jadi presiden. Emang nggak ada yang lebih pinter lagi apa? Kita kan punya undang-undang nomor 6 tahun 2018 tentang kekarantina kesehatan kenapa itu nggak dipake, wong dia sendiri yang tanda tangan," demikian potongan ujaran Ali dalam rekaman video yang viral di media sosial.
Kasubdit II Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Himawan Bayu Aji mengatakan, Ali Baharsyah ditangkap di rumahnya di kawasan Cipinang, Jakarta Timur. Penangkapan itu menurutnya dilakukan polisi atas aduan seorang warga kepada pihaknya.
Polisi menjerat Ali dengan pasal berlapis. “Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE, pasal penghapusan diskriminasi ras dan etnis, kemudian juga Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dan badan umum,” ujarnya.
2.738 orang terkonfirmasi positif
Hingga Selasa sebanyak 2.738 orang terkonfirmasi positif dan 221 meninggal di Indonesia akibat COVID-19. Sedangkan yang dinyatakan sembuh terkonfirmasi 204 orang.
"Ini menunjukkan bahwa masih terjadi penularan di luar rumah sakit, masih ada orang sakit mengandung virus tapi tidak merasakan dirinya sakit yang berada di tengah-tengah kita. Ini yang harus segera kita hentikan," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto di Jakarta.
Angka kematian akibat terjangkit Corona di Indonesia masih yang tertinggi di Asia Tenggara.
Saat ini kasus positif COVID-19 tercatat di 32 provinsi, sementara Jakarta memiliki kasus terbanyak sejumlah 1.369.
PSBB Berlaku di Jakarta
Menteri Kesehatan Terawan Agus Purwanto hari Selasa mengizinkan pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di ibu kota selama 14 hari ke depan. Penerapannya juga dapat diperpanjang dengan melihat perkembangan.
Saat ini Jakarta menjadi episentrum penyebaran virus corona di Indonesia, dan setengah lebih dari kasus dan pasien yang meninggal akibat COVID-19 berada di Jakarta. Angka resmi kematian di Jakarta akibat COVID-19 hingga Selasa (7/4) adalah 133 kasus.
Lewat penerapan ini pemerintah mengharuskan masyarakat untuk menjalankan seluruh kegiatan yaitu belajar, bekerja dan beribadah di rumah masing-masing. Aktivitas bisnis atau perkantoran selain layanan publik seperti penyediaan pangan, bahan bakar minyak (BBM), dan lain-lain wajib diliburkan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belum menjelaskan lebih rinci bagaimana mekanisme dan batasan-batasan dalam penerapan PSBB ini.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya, Teguh Nugroho meminta Anies segera menerbitkan landasan hukum pelaksanaan PSBB secara rinci.
"Termasuk memuat kegiatan atau program yang wajib dilaksanakan selama penetapan PSBB di wilayah DKI Jakarta," kata Teguh dalam keterangan tertulisnya.
Dia juga menyebut Pemprov DKI Jakarta harus memiliki penghitungan anggaran untuk masyarakat yang terdampak PSBB. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari diterapkannya PSBB.