Tokoh JAD Aman Abdurrahman Divonis Mati

Aparat diminta mengantisipasi kemungkinan aksi balasan pendukung yang disebut-sebut sebagai ideolog ISIS di Indonesia itu.
Arie Firdaus
2018.06.22
Jakarta
180622_ID_Aman_1000.jpg Terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman dikawal ketat aparat kepolisian saat meninggalkan ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 22 Juni 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman mati terhadap Aman Abdurrahman alias Oman Rachman (46) setelah dinyatakan terbukti mendalangi sejumlah teror di Indonesia sepanjang 2016 hingga 2017.

"Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme dalam dakwaan kesatu dan kedua primer," kata Ketua Majelis Hakim Akhmad Jaini dalam persidangan yang digelar, Jumat, 22 Juni 2018.

Dakwaan yang dimaksud Akhmad adalah Pasal 14 juncto 6 tentang menggerakkan orang lain untuk melakukan kekerasan tindak pidana terorisme yang menimbulkan korban dan Pasal 15 juncto 7 tentang pemufakatan jahat tindak pidana terorisme.

Aman ialah pendiri dan sekaligus dianggap pemimpin spiritual Jamaah Ansharut Daulah (JAD) – kelompok yang telah berbaiat kepada kelompok ekstrem Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang diklaim polisi berada di balik serangkaian aksi teror di Indonesia, termasuk serangan bom bunuh diri yang melibatkan dua keluarga di Surabaya, ibukota Jawa Timur, pada pertengahan Mei lalu.

Bentuk penggerakan yang dilakukan Aman, antara lain, saat meminta pemimpin laskar asykari atau militer JAD, Saiful Muthohir alias Abu Gar untuk datang membesuknya ke Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, akhir 2015.

Dalam pertemuan itu, Aman kemudian menyampaikan bahwa telah ada instruksi dari pimpinan di Suriah untuk meniru aksi teror di Paris, Prancis.

Tak lama usai instruksi itu, insiden Thamrin pun terjadi pada Januari 2016, menewaskan delapan orang --termasuk empat pelaku. Ini adalah serangan pertama yang diklaim ISIS di kawasan Asia Tenggara.

"Terdakwa pun berperan penting dalam memberikan dakwah secara online yang membuat pengikutnya melakukan bom bunuh diri yang menimbulkan korban," tambah Akhmad.

Peran ini terlihat dalam sejumlah teror lain, seperti pelemparan bom Molotov di Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur, (2016); bom bunuh diri ganda di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur (2017); penembakan polisi di Bima, Nusa Tenggara Barat (2017); dan pembunuhan polisi di Mapolda Sumatera Utara (2017).

"Sehingga terdakwa harus bertanggung jawab atas perbuatan tersebut," tambah Akhmad.

Sujud dan potensi ancaman

Vonis hakim tersebut sejalan dengan tuntutan jaksa dalam persidangan 18 Mei lalu, yang meminta hukuman mati bagi pria yang pernah dipenjara dua kali terkait tindak pidana terorisme itu.

Aman tak berkomentar atas putusan itu. Namun tak lama usai palu diketuk, pertanda sidang usai, ia langsung bersujud di lantai ruang pengadilan.

Aksi ini sempat memancing kegaduhan di ruang sidang lantaran awak media berebut hendak mengabadikan momen itu. Namun aparat kepolisian yang bersenjata lengkap langsung membuat barikade, menutupi aksi Aman.

Keriuhan mereda setelah Aman kembali ke kursinya dan hakim mempersilakan aparat kembali ke sisi ruang sidang.

Pengawalan ketat memang dilakukan kepolisian sejak sebelum persidangan dimulai, dengan menerjunkan 450 personel bersenjata lengkap.

Mereka menyebar di segala sudut gedung, bahkan hingga ke jalan raya di depan pengadilan. Pemeriksaan ketat pun dilakukan kepada mereka yang berniat memasuki gedung.

Menurut kuasa hukumnya Asludin Hatjani, aksi sujud Aman itu sudah direncanakan kliennya sebelum persidangan.

"Alasannya (sujud) tidak dinyatakan. Tapi hanya disampaikan, bahwa kalau divonis mati, ia akan sujud. Dan itu dilakukannya," ujar Asludin, seusai persidangan.

Pengamat dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR) Adhe Bhakti menilai sujud Aman itu dapat dimaknai sebagai pesan kepada para pendukungnya.

"Bahwa kezaliman terhadap dirinya kini sudah utuh," ujarnya kepada BeritaBenar.

Maka, Adhe pun berharap aparat kepolisian meningkatkan kewaspadaan usai vonis ini, mengantisipasi kemungkinan adanya aksi balasan para pendukung Aman.

"Harus diwaspadai aksi balas dendam. Apalagi sekarang hakim sudah menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang dianggap (sebagai) imam mereka," tambah Adhe.

"Selama ini, para pelaku (aksi teror) itu kan terinspirasi kata-kata dia (Aman)."

Polisi bersenjata lengkap berjaga di luar ruang sidang ketika terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman menjalani persidangan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 22 Juni 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Polisi bersenjata lengkap berjaga di luar ruang sidang ketika terdakwa kasus terorisme Aman Abdurrahman menjalani persidangan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 22 Juni 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)

Tidak berniat banding

Mengenai langkah hukum lanjutan yang bakal ditempuh, Asludin mengatakan masih akan berpikir-pikir. Kendati Aman pribadi, disebut Asludin, tidak berniat mengajukan banding.

"Dari dia begitu (tidak banding), karena memang tidak mengakui peradilan," ujar Asludin, "tapi sebagai penasehat hukum, kami masih akan diskusikan."

Sesuai aturan, terdakwa yang divonis mati memang wajib menempuh semua langkah hukum yang ada di Indonesia, seperti banding, kasasi, hingga peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Asludin menambahkan bahwa kliennya pernah berpesan apabila divonis mati, Aman meminta agar segera dieksekusi.

"Sebelum sidang pada pertemuan lalu, dia bilang 'saya kalau sudah vonis tolong saya diurus secepatnya dan eksekusinya. Mau pindah atau gimana yang jelas eksekusi dilaksanakan secepatnya'," papar Asludin.

Dalam nota pembelaan yang dibacakan Mei lalu, Aman memang sempat mengatakan bahwa dirinya tak mempermasalahkan andaikata betul-betul dihukum mati.

"Silakan pidanakan berapa pun hukumannya. Mau hukuman mati, silakan," ujarnya saat itu.

Vonis mati bagi terdakwa kasus terorisme, seperti terhadap Aman adalah yang kedua dalam 13 tahun terakhir.

Pada 2005, pengadilan yang sama juga menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku bom Kedutaan Australia, Iwan Darmawan alias Rois.

Namun sampai saat ini, Rois belum menjalani eksekusi dan mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.