Rencana amnesti Indonesia bagi pejuang kemerdekaan Papua picu keraguan

Juru bicara TPNPB mengatakan banyak yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan "siap mati demi tujuan ini."
Victor Mambor dan Tria Dianti
2025.01.30
Jayapura dan Jakarta
Rencana amnesti Indonesia bagi pejuang kemerdekaan Papua picu keraguan Warga Papua berdemonstrasi menuntut kemerdekaan Papua di Mabes Polri di Surabaya, 1 Desember 2021.
Juni Kriswanto/AFP

Proposal pemerintah Indonesia untuk memberikan amnesti kepada individu yang terlibat dalam gerakan pro-kemerdekaan di Papua telah menimbulkan keraguan, seiring dengan upaya pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dalam menyelesaikan salah satu konflik paling berkepanjangan di negara ini.

Para pengamat berpendapat bahwa tanpa dialog yang lebih luas dan akuntabilitas, inisiatif ini mungkin tidak akan cukup untuk mengakhiri ketegangan yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Papua.

Sebby Sambom, juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), menolak proposal tersebut sebagai langkah yang tidak memadai.

"Bukan itu masalahnya. Kasih amnesti ke kelompok Papua Merdeka terus konflik selesai.," kata Sambom kepada BenarNews.

“Orang-orang yang terlibat dalam gerakan papua merdeka yang bergerilya di hutan-hutan Papua ini adalah orang-orang yang telah memilih meninggalkan kehidupan normal untuk memperjuangkan Papua Merdeka. Mereka orang-orang yang rela mati untuk Papua Merdeka.”

Sambom menambahkan bahwa meskipun pemerintah bebas menawarkan amnesti kepada para aktivis yang saat ini ditahan, hal itu tidak akan berdampak pada mereka yang masih terlibat dalam perlawanan gerilya.

Papua, wilayah paling timur Indonesia, telah menjadi titik ketegangan sejak pengintegrasiannya yang kontroversial ke dalam Indonesia pada tahun 1969.

Wilayah ini, yang memiliki budaya Melanesia yang khas serta sumber daya alam yang melimpah, telah menghadapi pemberontakan separatis berskala kecil selama bertahun-tahun.

Pemerintah Indonesia secara konsisten menolak tuntutan kemerdekaan. Papua merupakan lokasi tambang Grasberg, salah satu tambang emas dan tembaga terbesar di dunia, serta memiliki hutan yang menjadi bagian penting dari komitmen iklim Indonesia.

Namun, meskipun kaya sumber daya, Papua tetap menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia, dengan tingkat kemiskinan, buta huruf, dan angka kematian bayi yang tinggi.

Aktivis hak asasi manusia berpendapat bahwa pendekatan Jakarta yang represif, termasuk pengerahan ribuan tentara, hanya memperburuk ketidakpuasan masyarakat.

Proposal amnesti ini diumumkan setelah Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengadakan pembicaraan dengan delegasi pemerintah Inggris pada 21 Januari, di mana isu hak asasi manusia dan konflik Papua turut dibahas.

"Pada dasarnya, Presiden Prabowo sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang terlibat dalam konflik di Papua. Saya pikir ini akan menjadi harapan baru bagi kami untuk menemukan solusi bagi Papua," kata Yusril kepada wartawan pekan lalu.

Namun, Yusril mengatakan kepada BenarNews pada Kamis bahwa proposal tersebut masih dalam tahap kajian dan pendalaman.

"Itu harus dilihat dalam perspektif yang lebih luas sebagai bagian dari upaya penyelesaian konflik di Papua dengan mengedepankan hukum dan hak asasi manusia," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa proposal ini terpisah dari rencana pemberian amnesti kepada 44.000 narapidana yang diumumkan pada November lalu dan menegaskan bahwa amnesti hanya akan diberikan kepada mereka yang bersumpah setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yusril juga mengatakan bahwa pemerintah masih menyusun rincian skema amnesti, yang nantinya akan membutuhkan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Proposal amnesti Prabowo ini mengikuti langkah serupa yang diambil oleh pendahulunya, Joko "Jokowi" Widodo, yang memberikan grasi kepada beberapa tahanan politik Papua pada tahun 2015.

Meskipun langkah Jokowi awalnya dianggap sebagai upaya rekonsiliasi, hal itu tidak berhasil meredam kekerasan. Bentrokan bersenjata antara pasukan keamanan Indonesia dan pejuang pro-kemerdekaan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, dan warga sipil kerap menjadi korban.

000_36LG7HX.jpg
Presiden Prabowo Subianto (kanan) berbicara dengan warga setempat selama kunjungannya ke lokasi program pertanian berkelanjutan di Merauke, Provinsi Papua Selatan, 3 November 2024. [Handout/Istana Presiden/AFP]

Cahyo Pamungkas, peneliti Papua di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai amnesti tanpa adanya dialog dan kesepakatan bersama terlebih dahulu tidak akan efektif.

"Jadi, untuk kasus Papua, saya kira hampir di semua negara, amnesti itu diberikan pada kelompok-kelompok resisten, kelompok-kelompok pemerintah itu dilakukan setelah ada kesepakatan damai, setelah ada perjanjian damai yang mengakhiri konflik bersenjata,” ujarnya kepada BenarNews.

Pandangan serupa diungkapkan oleh Yan Warinussy, seorang pengacara hak asasi manusia di Papua.

"Amnesti, abolisi, atau grasi seharusnya tidak diumumkan secara sepihak tanpa adanya kesepakatan multi-pihak sejak awal," ujarnya kepada BenarNews.

Warinussy mengatakan bahwa tanpa pendekatan semacam itu, prospek dialog damai untuk Papua bisa tetap menjadi janji yang tidak terpenuhi, dan konflik dapat semakin meningkat.

Usman Hamid, direktur Amnesty International Indonesia, menekankan bahwa meskipun amnesti adalah instrumen hukum konstitusional, kebijakan ini tidak boleh berlaku bagi pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

"Pemerintah harus memastikan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM di Papua dan di daerah-daerah lain harus tetap diproses melalui mekanisme hukum yang adil dan transparan, yaitu Pengadilan HAM,” tegas Usman.

Data dari Papuan Behind Bars, sebuah situs yang memantau tahanan politik di Papua, mencatat 531 penangkapan politik sepanjang tahun 2023, dengan 96 tahanan politik masih ditahan hingga akhir tahun tersebut. Sebagian besar dari mereka terkait dengan kelompok non-bersenjata seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan Petisi Rakyat Papua (PRP), sementara hanya 11 orang yang berafiliasi dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang bersenjata.

Anum Siregar, seorang pengacara yang pernah mewakili tahanan politik Papua, mengatakan bahwa proposal amnesti ini telah menarik perhatian para tahanan.

"Beberapa dari mereka yang ada di tahan di luar Papua memilih untuk dipindahkan ke Lapas di Papua. Ini keinginan mereka yang sedang menjalani hukuman di Lapas Makassar,” kata Anum.

Agus Kossay, pemimpin Komite Nasional Papua Barat yang memperjuangkan referendum untuk menentukan nasib sendiri, mengatakan bahwa rakyat Papua tidak akan berkompromi atas hak yang "Tuhan berikan manusia Papua dengan kekayaan alamnya ini untuk menentukan nasib sendiri."

Pada September 2019, Kossay ditangkap karena diduga mengorganisir kerusuhan dan dijatuhi hukuman 11 bulan penjara. Baru-baru ini, pada tahun 2023, ia kembali ditangkap karena keterlibatannya dalam sengketa internal di dalam KNPB.

Ia dibebaskan pada September tahun lalu setelah menjalani hukuman atas tuduhan penghasutan.

"Hak tersebut tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun. Jadi selama hak itu belum dijawab, maka kami akan terus bersuara,” ungkap Kossay kepada BenarNews.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.