Amnesti dari Prabowo: Dikritik, disambut dengan catatan
2024.12.17
Jakarta
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan pengampunan kepada puluhan ribu tahanan dinilai tidak dipikirkan dengan matang karena tidak menjawab permasalahan terhadap undang-undang yang terlalu keras yang menyebabkan penahanan dan kepadatan penjara, kata sejumlah pengamat, di tengah sinisme atas maksud rencana tersebut.
Beberapa analis, bagaimanapun, menyambut dengan hati-hati rencana luas Presiden Prabowo Subianto yang dapat membebaskan 44.000 narapidana, termasuk tahanan politik, remaja, lansia, mereka dengan penyakit mental dan kronis, serta pecandu narkoba.
Sementara Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) menyebut keputusan itu sebagai isyarat kemanusiaan, seorang analis politik dari Universitas Diponegoro melihatnya dalam konteks kritik berkelanjutan dari kelompok hak asasi terhadap Prabowo, seorang mantan jenderal dengan catatan hak asasi manusia yang dipertanyakan.
“Prabowo ingin mencitrakan diri sebagai pro demokrasi dan HAM,” kata pengamat politik Universitas Diponegoro Mohammad Rosyidin kepada BenarNews.
“Kan banyak pihak yang mengkhawatirkan kalau dia otoriter dan tidak concern sama isu demokrasi dan HAM. Untuk menepis ini, maka perlu tindakan konkret seperti memberikan amnesti ini kepada narapidana asing, tapol (tahanan politik),” tambahnya.
Pemerintahan Prabowo hari Minggu lalu telah memulangkan lima warga Australia yang tersisa dari kelompok penyelundup narkoba “Bali Nine”, yang menjalani hukuman seumur hidup di Indonesia, sementara Mary Jane Veloso, seorang Filipina yang dijatuhi hukuman mati karena didakwa terlibat penyelundupan narkoba, telah dipulangkan ke negara asalnya pada Rabu (12/12) dini hari setelah 14 tahun lebih dipenjara di Indonesia.
Prabowo, yang memangku jabatan pada Oktober setelah memenangkan pemilihan presiden dalam pemilu Februari lalu, telah dirundung oleh tuduhan pelanggaran HAM selama karier militernya di bawah mendiang otokrat Suharto.
Namun, Menteri HAM Natalius Pigai, mengatakan inisiatif amnesti tersebut merupakan isyarat kemanusiaan untuk memberikan awal yang baru bagi mereka yang melakukan pelanggaran ringan.
Selain itu, hal ini menunjukkan janji pemerintah untuk berupaya mencapai rekonsiliasi, katanya dalam sebuah pernyataan pada hari Senin.
“Pertimbangan utama untuk pengampunan adalah belas kasih dan komitmen untuk rekonsiliasi. Ini adalah prioritas bagi Presiden,” kata Pigai.
Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas tidak mengumumkan detil siapa dan kapan narapidana yang menerima pengampunan akan dibebaskan.
Penjara-penjara di Indonesia menampung lebih dari 270.000 narapidana yang dijejalkan di dalam fasilitas yang dibangun untuk menampung kurang dari setengah jumlah tersebut.
Pada tahun 2021, kebakaran di sebuah penjara di Tangerang merenggut nyawa 41 narapidana. Pihak berwenang mengatakan fasilitas itu kelebihan kapasitas hingga 400%.
Indonesia juga dikritik karena undang-undang narkoba yang keras yang bahkan mengkriminalisasi kepemilikan sejumlah kecil untuk penggunaan pribadi.
Kritikus seperti Muhamad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan rencana amnesti tidak banyak membantu mengatasi masalah sistemik, termasuk kriminalisasi karena kecanduan narkoba.
“Reformasi kebijakan hukum menyangkut undang-undang narkotika yang sangat punitif terhadap pengguna narkotika dengan jumlah kepemilikan narkotika sedikit,” kata Muhamad Isnur.
“Tanpa mengatasi masalah mendasar ini, (amnesti) adalah kebijakan jangka pendek tanpa solusi,” tambahnya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sebuah kelompok advokasi hukum, menyatakan dukungan bersyarat untuk rencana amnesti tersebut sambil menyetujui bahwa undang-undang narkoba di Indonesia perlu direformasi.
“Memindahkan semua pengguna narkoba ke rehabilitasi sebagai alternatif penjara berisiko hanya memindahkan masalah kelebihan kapasitas dari penjara ke pusat perawatan,” katanya.
“Solusi sebenarnya terletak pada revisi undang-undang narkotika untuk memperlakukan penggunaan narkoba pribadi sebagai masalah kesehatan atau sosial, bukan masalah pidana.”
ICJR mengutip data Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menunjukkan hanya sebagian kecil pengguna narkoba yang memerlukan intervensi medis. Sementara itu, ICJR mengkritik usulan pemerintah untuk menempatkan narapidana yang diampuni dalam program kerja pertanian dan cadangan militer, dengan peringatan bahwa kebijakan tersebut dapat mengarah pada eksploitasi.
Anggota DPR, Nasir Djamil, mengatakan bahwa rencana amnesti perlu mempertimbangkan sifat kejahatan, dengan fokus khusus untuk memastikan bahwa mereka yang diberi amnesti mampu direhabilitasi.
" Oleh karena itu, jangan sampai amnesti yang diberikan itu tak berwibawa. Jadi agar amnesti itu berwibawa, tak mengulangi kejahatan, misalkan mereka diberi pekerjaan jadi ada jaminan sosial," katanya kepada BenarNews.
Analis juga menuntut transparansi dalam pengampunan itu.
Pemberian amnesti adalah "pilihan politik yang difokuskan," kata Muhamad Isnur dari YLBHI, “karena itu, Presiden harus hati-hati memilih mereka yang akan menerima amnesti. … Pemberian amnesti massal oleh Presiden (harus) dilakukan secara teliti dengan pengecualian terhadap kasus korupsi.
Menteri Supratman Andi Agtas berjanji untuk memastikan akuntabilitas dengan mengungkapkan nama-nama narapidana yang diberi grasi. "Kami akan umumkan nama-nama tersebut," katanya kepada wartawan, Senin.
"Saya menyambut baik seruan untuk transparansi. Amnesty International dan beberapa LSM lainnya telah meminta ini."
Kasus Papua
Amnesti yang juga akan diberikan kepada sejumlah aktivis Papua yang berada di balik jeruji besi itu disambut dengan perasaan campur aduk oleh aktivis dari wilayah tersebut.
Pengacara dan aktivis Papua Barat Yan Christian Warinussy mengatakan kepada BenarNews bahwa pemberian amnesti massal oleh Presiden patut diapresiasi dengan catatan.
“(Langkah ini) belum sepenuhnya memberi kontribusi bagi perdamaian di Tanah Papua, tapi setidaknya saya kira akan memulihkan rasa diperlakukan tidak adil bagi tapol, napol dan keluarga serta rakyat Papua, bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia,” kata Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH).
“Setidaknya memberi gambaran bahwa apa yang mereka perjuangkan (ideologi) tidak salah dan mengajarkan mereka untuk memperjuangkan sesuai mekanisme hukum dan politik yang berlaku universal.”
Papua yang kaya sumber daya menjadi bagian dari Indonesia pada tahun 1969 melalui referendum yang didukung PBB yang disengketakan dan hingga kini telah menjadi saksi pemberontakan separatis yang belum berkesudahan.
Aktivis mengatakan bahwa warga Papua telah mengalami puluhan tahun penyiksaan dan pelanggaran HAM terkait operasi meredam separatis yang dilakukan oleh militer Indonesia.