Amnesty International: 95 Orang Dibunuh di Luar Hukum di Papua

Kodam Cendrawasih menepis laporan itu, menanyakan mengapa Amnesty tak melihat korban dari TNI/Polri akibat serangan OPM.
Zahara Tiba
2018.07.02
Jakarta
180207_ID_AI_1000.jpg Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat memaparkan laporan hasil temuan Amnesty terkait pembunuhan di luar hukum di Papua dalam konferensi pers di Jakarta, 2 Juli 2018.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Amnesty International pada Senin melaporkan bahwa dalam delapan tahun terakhir setidaknya 95 orang tewas dalam 69 kasus pembunuhan di luar hukum (unlawfull killings) yang disebut dilakukan aparat keamanan di Papua.

“Polisi dan TNI menggunakan kekerasan senjata untuk menghentikan yang selalu dituding aksi separatis,” ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, saat peluncuran laporan Pembunuhan dan Impunitas di Papua yang berjudul “Sudah, Kasi Tinggal Dia Mati” di Jakarta, Senin, 2 Juli 2018.

“Penembakan seringkali dilakukan tanpa tembakan peringatan, sehingga mengakibatkan jatuhnya korban.”

Dalam laporan itu disebutkan sebanyak 39 kasus terjadi di era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sejak 2014. Pada tahun 2015, 19 orang di Papua tewas dalam 13 kasus pembunuhan di luar hukum, tertinggi selama kurun waktu sewindu.

Sebanyak 56 orang dari 95 korban tewas disebut terlibat dalam 41 kasus tak terkait aktivitas politik, sementara sisanya 39 orang dalam 28 kasus yang terkait kegiatan politik.

Menurut Usman, banyak kasus tak diinvestigasi dan kalau pun dilakukan, tidak ada publikasi.

Tercatat 26 kasus yang diinvestigasi secara internal di institusi Polri dan TNI, tapi hasilnya tak dipublikasikan dan 25 kasus tak diinvestigasi sama sekali.

“Polisi memiliki keterlibatan terbesar dalam tipologi pembunuhan di luar hukum di Papua yaitu 39 korban tewas. Sebanyak 27 orang lainnya tewas akibat kekerasan oleh militer dan 29 lainnya gabungan dari kedua aparat,” katanya.

Amnesty, lanjut Usman, melihat pemerintahan Jokowi sempat membawa harapan akan ada keadilan dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua.

“Di tahun pertama, Presiden Jokowi menunjukkan harapan lewat janji-janjinya. Namun di tahun kedua, pembunuhan justru meningkat. Tahun ketiga seperti tidak ada sama sekali,” katanya.

Sejak menjadi presiden, Jokowi telah berkunjung delapan kali ke Papua, menjadikannya presiden yang paling sering datang ke Bumi Cendrawasih itu. Jokowi juga telah membebaskan sejumlah tahanan politik di Papua.

Namun, kata Usman, itu belum cukup bisa menjawab masalah akuntabilitas penanganan isu-isu HAM di Papua.

“Kami berharap pemerintah mau mengakui kasus pembunuhan di luar hukum ini, segera diinvestigasi adanya penggunaan senjata dalam kekerasan terhadap warga, serta menyeret pelaku ke meja hijau jika ada bukti cukup,” tegasnya.

Fokus tiga kasus

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Sylvana Maria Apituley yang hadir pada peluncuran laporan itu, mengatakan bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM tetap menjadi agenda Pemerintahan Jokowi, selain fokus pada pembangunan di provinsi ujung timur Indonesia itu.

“Untuk pelanggaran HAM, ada tiga (kasus) yang jadi fokus, yakni kasus Wamena, Wasior dan Paniai,” jelasnya, merujuk pada kasus-kasus HAM yang menelan sejumlah korban jiwa baik pihak aparat kemanan dan waga sipil di Papua yang terjadi masing-masing pada tahun 2003, 2001, dan 2014.

Masalah yang dihadapi saat ini, lanjut Sylvana, adalah akumulasi sosial, politik dan budaya yang berlangsung selama lima dekade.

“Pemerintah sedang bekerja keras menangani masalah itu. Kami minta diberi waktu karena kami juga menangani masalah-masalah lain di Papua. Ini bukan suara yang diabaikan oleh pemerintah,” katanya.

Komisioner Komisi Nasional (Komnas) HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan kasus Paniai, yaitu penembakan empat remaja oleh aparat TNI dan Polri di Paniai, Papua, pada 8 Desember 2014, menjadi salah satu fokus pihaknya.

“Kasus ini terus dikoordinasikan dengan Menko Polhukam. Komnas HAM tengah melakukan penyelidikan. Bukti-bukti dan keterangan saksi akan dihimpun ulang,” ujar Amiruddin.

Jokowi saat berkunjung ke Papua tiga pekan usai insiden Paniai mendesak supaya penyelesaian kasus itu dilakukan secepatnya, tapi hingga kini belum dituntaskan.

“Kami berharap Presiden Jokowi tak usah selesaikan tiga kasus. Selesaikan kasus Paniai saja yang terjadi di eranya. Keluarga korban minta keadilan,” ujar Latifah Anum Siregar, Advokat HAM dari Aliansi Demokrasi Untuk Papua.

'Tuduhan tanpa dasar'

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cendrawasih Kol. Inf Muhammad Aidi mengatakan laporan Amnesty International adalah tuduhan tanpa dasar.

“Mereka mendapat data itu dari hasil wawancara terhadap korban semata. Mereka tak mau mengaku tidak melaksanakan investigasi secara mendasar, secara berkeseluruhan. Yang selalu dilihat dan diangkat hanya hasil akhir suatu peristiwa, bukan akar persoalannya,” ujar Aidi saat dikonfirmasi BeritaBenar melalui telepon.

Menurutnya, jika ada suatu peristiwa dimana rakyat atau anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi korban, itu pasti ada sebabnya.

“Yang (Amnesty) angkat hanya selalu dari korbannya, bukan awal dari permasalahannya. Misalnya selalu dia ungkit-ungkit peristiwa Paniai 2014. Jatuh korban empat. Yang diangkat terus adalah korbannya. Tetapi sebelum korban (jatuh), terjadi penyerangan oleh kelompok massa. Ribuan massa menyerang pos pengamanan, pos keamanan polisi. Mau tidak mau yang kita lakukan adalah membela diri, yakni jatuh korban. Apakah pernah (Amnesty) mempersoalkan bagaimana proses penyerangannya? Kan tidak pernah,” ujar Aidi.

Dia mempertanyakan kenapa Amnesty tidak melihat korban yang jatuh dari pihak TNI dan Polri akibat serangan kelompok separatis OPM.

Aparat keamanan dan warga sipil juga sering menjadi korban serangan kelompok separatis atau apa yang disebut oleh pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Yang terbaru, pada minggu lalu, dua polisi dan seorang camat yang bertugas mengamankan pilkada tewas ditembak di Kabupaten Puncak Jaya oleh kelompok bersenjata tak dikenal.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.