Amnesty: Total 82 korban pembunuhan di luar hukum di Papua pada 2023
2024.04.24
Jakarta

Puluhan orang tewas dalam pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh baik aparat keamanan Indonesia dan kelompok separatis bersenjata di Papua menurut Amnesty International, namun laporan yang dirilis pada Rabu (24/4) tersebut dibantah oleh baik pemerintah maupun Organisasi Papua Merdeka.
Sebanyak 58 orang tewas dalam pembunuhan di luar proses hukum yang dilakukan oleh TNI/Polri di Papua tahun lalu, kata organisasi advokasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International dalam laporan tahunan terbarunya.
Menurut Amnesty International, pembunuhan di luar proses hukum tersebut tercatat setidaknya 26 insiden di Papua sepanjang tahun 2023.
Amnesty juga mencatat sebelas peristiwa pembunuhan di luar hukum lainnya terhadap 24 korban dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) di Papua pada tahun lalu.
“Situasi HAM di Papua masih suram,” ujar Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu.
Wirya mengatakan aparat keamanan juga melakukan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi lainnya terhadap tahanan untuk mendapatkan informasi atau pengakuan di Papua.
Menurut laporan Amnesty, ketegangan di Papua terus meningkat setelah penyanderaan pilot asal Selandia Baru pada Februari 2023 oleh anggota TPNPB di Bandara Paro, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan.
Sebagai tanggapan, militer Indonesia menaikkan status operasional di Nduga menjadi “siaga tempur” dan mengerahkan pasukan tambahan ke wilayah tersebut, terang Amnesty.
Wirya menambahkan pihak berwenang juga terus mengkriminalisasi individu yang menggunakan hak kebebasan berekspresi, termasuk yang menyampaikan ekspresi politiknya secara damai terkait kemerdekaan Papua, dengan tuduhan kejahatan terhadap keamanan negara.
Sebagai contoh, tiga aktivis Papua dihukum penjara dengan tuduhan makar pada 2023 hanya karena menyuarakan pendapat mereka secara damai.
Wirya menjelaskan operasi militer di Papua tidak mampu menghentikan konflik.
“Pembunuhan di luar hukum terus bertambah. Aparat keamanan dan kelompok bersenjata non-negara di Papua harus bertanggung jawab atas pembunuhan di luar hukum,” lanjut Wirya.
Menurut data Amnesty, total ada 105 korban dari pembunuhan di luar hukum di Papua dan Papua Barat sejak Februari 2018 hingga akhir 2022.
TNI dan TPNPB bantah
Mayor Jenderal Nugraha Gumilar, Kepala Pusat Penerangan TNI, membantah laporan yang disampaikan oleh Amnesty.
“Laporan tersebut tidak benar. Posisi prajurit kami diserang, tentunya dalam kondisi seperti itu prajurit TNI membalas tembakan untuk membela diri,” ujar dia kepada BenarNews.
Juru bicara TPNPB Sebby Sambom, juga membantah laporan Amnesty yang menyebut kelompoknya melakukan pembunuhan di luar hukum.
“Laporan itu tujuannya apa? Tidak jelas. Berarti Amnesty itu agen TNI-Polisi ya? Kami tidak butuh laporan yang tidak berguna,” ujar Sambom kepada BenarNews.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengakui bahwa situasi HAM di Papua makin memburuk dengan banyaknya peristiwa kekerasan, terutama terhadap masyarakat sipil.
“Terakhir kita dikejutkan atas video viral penyiksaan yang dilakukan TNI yang tidak manusiawi,” ujar dia.
Anis mendorong pemerintah melakukan proses hukum yang sungguh-sungguh terhadap aparat TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga Papua.
“Kita menuntut kasus pengadilan kekerasan di Papua, dilakukan transparan oleh aparat penegak hukum. Tidak ada impunitas terhadap pelaku kekerasan. Komnas HAM sudah sampaikan ini minggu lalu ketika bertemu dengan Panglima TNI,” ujar dia.
Pada akhir Maret, TNI menahan 13 prajurit tersangka penganiayaan terhadap warga Papua yang terjadi pada awal Februari di Kabupaten Puncak, Papua Tengah sebagaimana terekam dalam video yang viral di media sosial.
TNI telah menyampaikan permohonan maaf atas kejadian itu dan bersumpah akan memberikan sanksi jika prajurit tersebut terbukti bersalah dalam kasus dugaan penganiayaan tersebut.
Papua daerah operasi militer?
Ambrosius Mulait, aktivis HAM asal Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA) mempertanyakan apakah status di Papua merupakan daerah operasi militer atau bukan.
“Kalau memang wilayah operasi militer, kita bisa mengarahkan masyarakat untuk mencari wilayah aman agar tidak menjadi korban peperangan,” kata Mulait dalam konferensi pers tersebut.
“TNI harus memberlakukan hukum humaniter di Papua. Itu salah satu cara untuk menghentikan korban dari warga sipil,” tambah dia.
Dia juga mengatakan pemerintah tidak memiliki niat untuk melakukan investigasi mendalam atas kekerasan aparat keamanan pada masyarakat sipil.
“Yang kena proses hukum hanya yang di bawah, kalau investigasi lebih dalam saya pikir yang pangkatnya di atas juga bisa kena, seperti Pangdam dan Kapolres,” ujarnya.
Tuntut komitmen pemerintah
Peneliti Papua Badan Riset dan Inovasi Nasional Adriana Elisabeth mengatakan kekerasan negara dan pelanggaran HAM masih menjadi satu problem di Tanah Air di mana tidak ada komitmen politik pemerintah untuk mengakhiri konflik bersenjata yang menjadi sumber kekerasan.
“Selain pendekatan pembangunan dan keamanan, Papua memerlukan pendekatan transformasi konflik melalui rekonsiliasi atau pemulihan kondisi Papua di semua aspek termasuk penyelesaian HAM secara yudisial,” jelas Adriana kepada BenarNews.
“Selama tidak ada pendekatan khusus untuk mengakhiri konflik, maka pemerintahan yang baru akan menuai masalah yang sama di Papua,” tambahnya.
Menurut Wirya, kondisi HAM di Indonesia tidak akan lebih baik ketika Prabowo memimpin. Meski berstatus Presiden, Prabowo tidak otomatis bebas dari berbagai dugaan pelanggaran HAM.
"Tidak menggugurkan tugas negara untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut," imbuhnya.
"Sebagai presiden dan kepala negara, Prabowo memiliki pekerjaan rumah yang berlipat ganda. Dibandingkan kepala negara yang tidak memiliki beban yang sama," kata Wirya.
Yan Warinussy, juru bicara Jaringan Damai Papua, memandang tidak ada jaminan jika Prabowo memimpin, konflik bersenjata akan berhenti ketika pemerintah masih menggunakan pendekatan keamanan.
“Konflik bersenjata akan terus berkembang dan meluas hingga dapat menimbulkan korban jiwa pada aparat dan separatis. Konflik juga akan makin mengarah pada warga sipil di dan sekitar lokasi konflik bersenjata,” ujarnya kepada BenarNews.
Papua resmi menjadi bagian dari Indonesia berdasarkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di bawah pengawasan PBB pada 1969 yang menyatakan rakyat Papua ingin bergabung dengan Indonesia.
Namun sebagian warga Papua dan pegiat HAM memandang Pepera tidak sah lantaran hanya melibatkan sekitar seribu orang yang dipilih militer untuk mewakili 800.000 warga Papua saat itu.
Sejak saat itu, kekerasan dengan korban warga sipil, pasukan keamanan dan anggota separatis terus berlangsung di tengah konflik antara TNI dengan kelompok separatis bersenjata yang ingin melepaskan diri dari Indonesia.