Kisah Dua Bersaudara Bali Merawat Anjing Telantar
2017.01.16
Gianyar
Gonggongan belasan anjing menyambut setiap orang yang datang ke rumah Anak Agung Oka Yasna di pinggiran Desa Mas, Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.
Rumah pasangan Oka dan Jero Tirta termasuk sederhana. Tembok rumah tak berplester, hanya batu bata hitam. Lantai rumah dan halaman berupa tanah tanpa keramik atau paving.
Mereka baru pindah setahun lalu di situ. Sebelumnya, mereka tinggal di pemukiman desa sekitar 45 km dari Denpasar.
Karena banyak tetangga merasa terganggu dengan anjing-anjing yang dipelihara, akhirnya mereka pindah. Sekarang mereka tinggal dekat Pura Desa dan persawahan, jauh dari pemukiman.
“Banyak tetangga tidak suka dengan anjing-anjing yang kami pelihara,” kata Anak Agung Dewi Laina Pertiwi, anak kedua pasangan Oka dan Tirta.
Dewi (12) adalah gadis belia yang memelihara anjing-anjing tersebut. Sejak dua tahun lalu, siswa kelas 1 SMP Kerta Budaya Desa Mas itu merawat anjing-anjing telantar yang ditemukan di jalan maupun sekitar rumahnya.
Menurut Dewi, apa yang dia lakukan merupakan balas budi terhadap anjing yang pernah menyelamatkannya.
Dua tahun lalu, Dewi mengaku hampir mati di rumah sakit karena diare. Selama dua minggu, dia diopname akibat keracunan biskuit kedaluwarsa. Dia bahkan sudah tidak sadarkan diri selama dua hari karena saking parahnya.
Namun, dalam kondisi tidak sadar itu, Dewi langsung bangun ketika ayahnya, Oka, membawa seekor anjing ke ruang dia dirawat di Rumah Sakit Sanjiwani, Gianyar. Begitu mendengar suara anjing, Dewi merasa punya semangat lagi untuk hidup.
“Saya langsung bisa berdiri dan mau makan padahal sebelumnya tidak bisa sama sekali,” kenangnya.
Selem, begitu Dewi memberi nama anjing hitam yang ditemukan ayahnya di jalan. Selem menjadi anjing kedua yang dia rawat, menambah satu anjing lain yang tinggal di rumah selama dia diopname.
“Sejak itu saya merasa berutang budi kepada anjing. Saya ingin membalas budi pada mereka karena telah menyelamatkan nyawa saya,” ujar Dewi.
Menyembuhkan
Bersama kakak kandungnya, Anak Agung Gede Agung Wirakusuma, Dewi merawat anjing-anjing telantar sebagai balas budinya. Rumah mereka pun berubah menjadi semacam tempat pemeliharaan anjing telantar.
Hingga kini mereka telah merawat setidaknya 50 ekor anjing telantar. Pernah satu kali mereka pernah merawat bahkan sampai 40 ekor sekaligus.
Saat ini, mereka merawat 14 anjing. Dua bersaudara itu memberikan dan mengingat nama anjing itu satu per satu, seperti Aldo, Boni, Selem, Selim, dan seterusnya.
Menurut Wirakusuma, anjing-anjing itu biasanya karena dibuang pemiliknya. Ada yang karena sakit dan sudah besar. Tak sedikit pula karena anjingnya betina.
“Banyak orang mau memelihara anjing karena mereka senang saja, tapi ketika sakit tidak mereka rawat,” kata siswa SMP tersebut.
Kondisi anjing yang dibuang biasanya sakit. Misalnya, bulu rontok dan badan penuh luka. Dewi dan Wira kemudian merawatnya.
Bila anjing sakit, terlihat lemas dengan bulu rontok, mereka selimuti dengan handuk. Mereka juga memberikan susu.
Dewi dan Wira tidak pernah belajar khusus tentang cara perawatan anjing. Mereka hanya belajar dari kebiasaan sehari-hari.
Bantuan
Untuk merawat anjing-anjing itu, mereka dibantu Bali Animal Welfare Association (BAWA), organisasi penyelamat binatang yang berkantor di Ubud.
Dokter hewan BAWA rutin memeriksa anjing-anjing sakit kedua anak itu. Mereka juga memberikan vitamin dan makanan kering.
Menurut Made Dwi Ardana, Koordinator Ambulans BAWA, dukungan yang mereka berikan pada Dewi berupa perawatan medis, pemberian makanan, dan penanganan untuk vaksinasi. Vaksinasi ini menjadi isu penting karena Bali merupakan salah satu provinsi dengan kasus rabies tinggi di Indoesia.
“Kami juga membantu mendata anjing-anjing yang pernah mereka rawat,” kata Dwi, seraya menambahkan pendataan penting, karena Dewi tak memelihara seterusnya semua anjing yang mereka rawat.
Dewi dan Wira merawat anjing-anjing telantar yang mereka temukan sampai sembuh. Anjing-anjing itu dilepaskan di rumah mereka, tidak dikurung.
Dewi tidak memiliki kandang khusus untuk anjing-anjing yang mereka rawat. Hanya ada sekitar lima kandang khusus untuk anjing yang sakit parah atau tak bisa bergaul dengan anjing lain. Selebihnya, mereka lepaskan.
“Kalau malam, mereka akan pulang dan tidur di depan rumah,” kata Dewi.
Sebagian anjing bahkan tidur di kamar Dewi dan Wira maupun orang tua mereka. Beberapa ekor kadang ikut Dewi hingga ke sekolah. Sebagian besar lagi pergi begitu saja dari rumah atau diadopsi orang setelah sembuh.
Bagi Dewi, itu bukan masalah. Dia lebih khawatir jika anjing-anjing itu tetap di rumahnya dan mendapat perlakuan buruk dari orang lain, sesuatu yang sering terjadi.
Dia menceritakan ada orang berbuat jahat pada anjingnya. Mereka membunuh anjing karena dianggap mengganggu dengan meracun, menabrak, atau bahkan membacok.
Selama Dewi merawat anjing-anjing telantar itu, ada enam anjing mati karena dibunuh orang. Dewi kemudian menguburkan di tanah kosong tak jauh dari rumahnya.
“Orang banyak yang kejam. Hanya karena anjing bukan berarti boleh dipukul, dimatiin. Tidak boleh itu (sebagai) sesama makhluk hidup. Mereka harus disayang juga,” katanya.