Defisit anggaran hantui program makan siang gratis Prabowo
2024.06.04
Jakarta
Janji Presiden terpilih presiden terpilih Prabowo Subianto memberikan makan siang gratis kepada masyarakat sesuai isi kampanye kepresidenannya akan memperlebar defisit anggaran tahun depan, menurut para ekonom.
Menteri Keuangan Sri Mulyani merancang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 pada 2,45% hingga 2,8 %, atau naik dari defisit 2024 yang diperkirakan mencapai 2,29% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menurut Sri, defisit APBN akan digunakan untuk menopang program-program prioritas pemerintah baru, salah satunya makan siang gratis yang akan menelan anggaran sekitar Rp460 triliun, setara 7,23 % dari total APBN 2024 senilai Rp3.325 triliun.
Menurut rencana, pada tahap awal, program ini akan difokuskan pada daerah-daerah terpencil yang masih tertinggal di Indonesia.
“APBN terbebani terlalu berat”
Direktur digital ekonomi, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan bahwa defisit APBN yang melebar akibat program makan siang gratis akan membuat celah fiskal semakin menyempit akibat menambah utang.
“Dengan skema ‘semua’ menikmati makan siang gratis pemerintah ini, saya rasa keuangan kita gak akan kuat menopang beban fiskal-nya,” ujar Nailul kepada BenarNews.
Alhasil, kata dia, ada beberapa pilihan. Yang pasti dan gampang dilakukan adalah mengurangi subsidi energi. Dengan catatan, menaikkan harga BBM dengan mencabut subsidi akan meningkatkan inflasi.
“Ini tentunya akan menyebabkan beban hidup masyarakat, termasuk masyarakat miskin akan meningkat. Kemiskinan akan meningkat pula. Itu tidak sebanding dengan efek makan siang yang nyatanya juga bisa salah sasaran,” kata dia.
“Saya prediksi, makan siang gratis untuk 100% ibu hamil, siswa, dan santri Indonesia tidak akan berhasil hingga tahun 2029. Paling mentok menyasar 51% dari target di 2029. Beban APBN kita terlampau besar jika dipaksakan untuk 100% target penerima,” kata dia.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Faisal mengatakan jumlah yang dibutuhkan untuk mewujudkan makan siang gratis hampir sebanding dengan seluruh anggaran perlindungan sosial yang ada saat ini, termasuk BPJS kesehatan.
“Dengan kapasitas fiskal yang ada sekarang ini anggaran yang sangat berat jika harus diterapkan. Bisa dibilang sangat sempit karena banyak program lain yang nggak kalah esensial yang perlu dijalankan,” kata Faisal.
“Bisa saja dari Rp460 triliun diturunkan ke Rp100 triliun misalnya untuk tahap awal. Atau bisa jadi ditukar dengan program yang telah ada seperti dana pendidikan, dan kesehatan,” kata dia.
Masih aman?
Analis lain memandang situasi fiskal Indonesia masih baik dan memungkinkan program seperti makan siang gratis tetap dijalankan.
Arief Ramayandi, ekonom dari Asian Development Bank, menilai meskipun program makan siang gratis pasti akan membebani anggaran negara, tapi tak akan sampai mendorong defisit fiskal melebar melebihi batas karena kemampuan fiskal Indonesia masih relatif baik dan kuat.
“Beban anggarannya pasti ada ya, tapi apakah itu akan mendorong fiskal defisit sampai memburuk, tidak terlalu. Karena kemampuan fiskal kita kan juga sebetulnya masih relatif baik dan kuat,” ujar Arief.
Menurut Arief, potensi Indonesia untuk menaikkan penerimaan negara masih besar kalau dilihat dari rasio pajak Indonesia yang masih di level 10%.
“Program seperti ini jika dikelola efektif dan efisien itu masih merupakan program yang masih terbiayai,” kata Arief. Apalagi, kata dia, tujuannya hanya satu yaitu gizi cukup dan produktivitas tenaga kerja kita meningkat.
Program makan siang, yang oleh banyak pengamat ekonomi dan politik disebut sebagai isu andalan pada kampanye pemilihan presiden bagi Prabowo dan Gibran, terbukti melekat di dalam sebagian masyarakat.
Herry Sudharma, 39, ayah dari seorang anak yang duduk di sekolah dasar, misalnya, menganggap program tersebut bermanfaat untuk meningkatkan gizi anak, meski tidak dinikmati semua kalangan.
“Harapannya program ini memberikan variasi makanan yang banyak sehingga bukan menjadi formalitas dan paksaan untuk anak-anak makan,” kata Herry kepada BenarNews.
Senada dengan Herry, Ratinah, 54, seorang perempuan pekerja rumah tangga yang memiliki anak bersekolah di tingkat menengah, mengaku setuju dengan program makan siang gratis tersebut untuk mengurangi pengeluaran rutinnya.
“Saya sih setuju saja apalagi dapat susu gratis. Anak jadi gak jajan macam-macam, kita ga mikirin dia makan siang, karena dapat dari sekolah. Lumayan mengurangi ongkos makan siang. Biasanya kan makan mi terus,” kata Ratinah kepada BenarNews.
Namun, meski bermanfaat bagi kalangan menengah bawah, Faisal berharap jargon memperbaiki gizi untuk mencerdaskan anak bangsa perlu ditinjau ulang karena tidak ada relevansi antara memberi makan siswa dengan tingkat stunting di Indonesia.
“Perbaikan gizi ke daerah yang kurang gizi mungkin bisa, tapi jika kaitannya dengan stunting dan kecerdasan itu relevansinya perlu ditinjau ulang, karena stunting itu harus diintervensi sejak dalam kandungan,” kata dia.