AS Minta ASEAN Pertimbangkan Ulang Kemitraan dengan Perusahaan Cina

Cina sebaliknya tuduh AS sebagai 'pendorong terbesar militerisasi di Laut Cina Selatan'.
Ronna Nirmala, Ahmad Syamsudin & Drake Long
2020.09.10
Jakarta & Washington
200910_ID_Pompeo_1000.jpg Menteri luar Negeri Mike Pompeo berbicara dalam KTT Menteri Luar Negeri ASEAN yang diselenggarakan secara online, 10 September 2020.
VTV via AP

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo pada Kamis (10/9) meminta negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk menimbang ulang kemitraan dengan puluhan perusahaan Cina yang dijatuhkan sanksi oleh Washington karena diduga membantu militer membangun pulau buatan di Laut Cina Selatan.

Pompeo sebaliknya memastikan bahwa AS bisa menggantikan peran Cina di kawasan sebagai mitra yang bisa diandalkan seperti yang sudah terjalin sejak Pemerintahan Presiden Donald Trump.

“Pertimbangkan kembali transaksi bisnis dengan perusahaan milik negara yang menindas negara pesisir di Laut Cina Selatan. Jangan biarkan Partai Komunis Cina menginjak-injak kita,” kata Pompeo saat mengikuti Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN ke-53 yang digelar virtual, Kamis.

Pompeo menyebut Cina sebagai ancaman bagi stabilitas dan perdamaian di kawasan lantaran tidak mencerminkan nilai-nilai dalam Piagam ASEAN yang meliputi kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah dan identitas nasional.

“Hari ini, saya katakan teruskan. Jangan hanya bicara, tapi bertindak,” katanya.

Akhir Agustus, pemerintahan Trump memasukkan 24 perusahaan Cina ke dalam daftar hitam Departemen Perdagangan karena peran mereka dalam membantu Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Cina membangun pulau-pulau buatan di Laut Cina Selatan.

Perusahaan tersebut tidak akan lagi dapat membeli teknologi dan produk lain yang dikirim dari AS tanpa izin khusus.

Sebelumnya, Trump juga memasukkan puluhan perusahaan Cina lainnya ke dalam daftar entitas karena masalah keamanan nasional yang terkait dengan teknologi dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap kelompok Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang.

“Anda harus yakin bahwa Amerika akan berada di sini dalam jalinan persahabatan seperti yang telah kami lakukan selama tiga setengah tahun terakhir,” tambah Pompeo.

Pada Rabu, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menuduh Amerika Serikat sebagai "pendorong terbesar militerisasi di Laut Cina Selatan," media Cina melaporkan.

"Amerika Serikat menjadi faktor paling berbahaya yang merusak perdamaian di Laut Cina Selatan," ujar Wang seperti dikutip dari Cina Daily pada KTT Menteri Luar Negeri Asia Timur.

"Perdamaian dan stabilitas adalah kepentingan strategis terbesar Cina di Laut Cina Selatan," kata Wang, menambahkan bahwa itu juga merupakan aspirasi strategis bersama Cina dan negara-negara ASEAN.

"Cina berharap negara-negara di luar kawasan, termasuk Amerika Serikat, akan sepenuhnya menghormati keinginan dan ekspektasi negara-negara di kawasan, alih-alih menciptakan ketegangan dan mencari keuntungan darinya."

Cina, Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam semuanya memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan. Meskipun Indonesia tidak menganggap diri sebagai pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, Beijing mengklaim hak bersejarah atas bagian laut tersebut yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Pernyataan Bersama ASEAN

Dalam komunike atau pernyataan bersama, sepuluh diplomat ASEAN menyatakan beragam persoalan yang terjadi di Laut Cina Selatan seperti kegiatan reklamasi dan insiden lainnya telah mengikis kepercayaan dan meningkatkan ketegangan di kawasan.

Mereka bersepakat bahwa penyelesaian terbaik atas konflik tersebut harus dilakukan secara damai dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara universal, termasuk UNCLOS 1982.

“Kami menekankan pentingnya non-militerisasi dan menahan diri dari segala aktivitas oleh pihak-pihak yang mengklaim wilayah tersebut, termasuk yang disebut dalam DOC, yang dapat semakin memperumit situasi dan meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan,” sebut salinan pernyataan bersama yang diterima BenarNews, Kamis.

Menteri Luar Negeri Malaysia, Hishamuddin Hussein, dalam pernyataannya menekankan bahwa Malaysia berada pada posisi yang jelas, tegas dan konsisten ketika menyangkut isu di Laut Cina Selatan.

“Atas nama Malaysia, saya meminta Cina dan Amerika Serikat untuk ikut mempertimbangkan apa yang telah saya sampaikan di atas dalam upaya untuk maju bersama. Yang terpenting, semua masalah dan perselisihan di perairan harus ditangani dan diselesaikan secara damai berdasarkan hukum internasional termasuk UNCLOS 1982,” kata Hishamuddin.

Komunike dan UNCLOS

Klaim Cina di Laut Cina Selatan dibatalkan dalam putusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada 2016. Hakim menemukan bahwa klaim Cina tidak sesuai dengan UNCLOS.

Negara-negara anggota ASEAN seperti Vietnam, Indonesia, Malaysia dan Filipina semuanya telah menekankan UNCLOS dan putusan 2016 ketika membahas masalah Laut Cina Selatan dalam beberapa bulan terakhir.

Sementara itu, komunike tahun ini hampir tidak menyebutkan UNCLOS, kata Aaron Connelly, seorang peneliti di Institut Internasional untuk Kajian Strategis yang berbasis di Inggris dan Singapura.

“Ada proposal awal dari Laos untuk menghapus referensi ke UNCLOS, dan itu ditolak oleh ASEAN,” kata Aaron.

Dia mengutip teks negosiasi sebelumnya yang dia ketahui, dan mengatakan ada ketidaksepakatan atas kata-kata di sekitar UNCLOS yang sempat memperlambat diputuskannya komunike itu.

Perselisihan Kode Etik

Pada tahun 2002, negara-negara anggota ASEAN menandatangani Deklarasi Perilaku dengan Cina, yang menyatakan kesediaan mereka untuk menyelesaikan sengketa secara damai atas Laut Cina Selatan.

Namun, hampir dua dekade kemudian, ASEAN dan Cina belum dapat menyetujui dokumen lanjutan - yang disebut Kode Etik, atau Code of Conduct (CoC) - yang dengan jelas akan menetapkan pedoman peraturan pengklaiman di Laut Cina Selatan.

Namun, komunike bersama tahun ini memuji "kemajuan negosiasi substantif menuju kesimpulan awal dari Kode Perilaku yang efektif dan substantif di Laut Cina Selatan (CoC) yang konsisten dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982, dalam waktu yang disepakati bersama."

Aaron mengatakan beberapa anggota ASEAN tidak terlalu mendukung pernyataan optimis komunike atas CoC.

“Cina banyak menekan negara-negara anggota ASEAN untuk membuat pernyataan tentang kemajuan CoC, meskipun belum ada kemajuan sejak tahun lalu,” kata Aaron, “jika Anda membaca yang tersirat, Anda dapat melihat beberapa ketidakpuasan di antara negara-negara anggota karena kurangnya kemajuan.”

Sementara komunike tidak menyebutkan kapan negosiasi CoC akan dilanjutkan, Menteri Luar Negeri Filipina, Teodoro Locsin, Jr., mengatakan selama pertemuan ASEAN pada hari Rabu bahwa pembicaraan akan dimulai "paling lambat" pada November, demikian menurut Bloomberg News.

“ASEAN mengizinkan Cina untuk menyelamatkan sebagian mukanya tetapi memperjelas bahwa mereka tidak senang dengan keadaan saat ini,” kata Aaron.

COVID-19

Masalah COVID-19 juga disebut dalam Komunike ASEAN.

“Kami menyerukan untuk meningkatkan kolaborasi dan berbagi pengalaman dengan Mitra ASEAN dalam penelitian, pengembangan, produksi, dan distribusi vaksin,” demikian bunyi pernyataan bersama Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi mengatakan dalam rapat antar Menteri ASEAN dan Amerika Serikat, pihaknya menyampaikan kalau vaksin adalah hal yang sangat penting.

“Oleh karena itu diharapkan ASEAN dan Amerika Serikat dapat bekerja sama dalam pengembangan industri dan produksi vaksin untuk memenuhi harapan masyarakat,” ujar Retno dalam brifing pers di Jakarta, Kamis.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.