AS dan 6 Negara ASEAN Latihan Bersama Penanganan Kejahatan Maritim
2019.06.28
Denpasar
Amerika Serikat (AS) dan enam negara di Asia Tenggara menggelar latihan bersama penanganan kejahatan maritim dengan fokus perikanan ilegal dan perdagangan gelap narkoba di Denpasar, Bali, Jumat, 28 Juni 2019.
Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Vietnam, hadir dalam lokakarya Southeast Asia Maritime Law Enforcement Initiative (SEAMLEI) yang digelar Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan US Coast Guard sejak 24 Juni 2019 lalu.
Pada hari penutup Jumat, mereka menggelar latihan bersama di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali.
Direktur Latihan Bakamla, Yeheskiel Kantiadagho mengatakan, perikanan ilegal dan perdagangan gelap narkoba merupakan isu bersama di kawasan Asia Tenggara, khususnya perikanan ilegal.
“Ini terkait kedaulatan negara. Pencurian ikan terjadi di wilayah yang harus kita kelola sehingga perlu kerja sama dengan negara lain,” katanya.
Vietnam adalah negara tetangga yang paling banyak melakukan perikanan ilegal di Indonesia.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), selama lima tahun terakhir (2014-2018), kapal berbendera Vietnam yang ditangkap karena perikanan ilegal di Indonesia sebanyak 276 unit.
Sepanjang tahun ini, KKP telah menangkap 34 kapal ikan asing, terdiri dari 15 kapal Vietnam, 16 kapal Malaysia, dan tiga kapal Filipina.
Meskipun demikian, menurut Yeheskiel, tidak ada pembicaraan khusus mengenai kasus-kasus itu selama pertemuan maupun latihan.
“Tidak dibahas soal itu. Ada forumnya tersendiri. Saat ini lebih banyak mengenai pelaksanaan di lapangan,” jelasnya.
“Sekarang fokus pada latihan. Nantinya pada penegakan hukum sehingga terjalin hubungan baik dengan negara-negara yang saya sebut.”
Yeheskiel menambahkan lewat latihan ini negara-negara peserta akan memiliki kesamaan metode dan teknis dalam penanganan kejahatan maritim.
“Agar tidak ada lagi ekosektoral,” lanjutnya.
Kasus menurun
Terkait kejahatan perikanan ilegal, menurut Yeheskiel, jumlah kasusnya terus menurun dari tahun ke tahun.
Dia memberikan data, tahun 2016 terdapat 35 kapal asing melakukan perikanan ilegal di wilayah perairan Indonesia dan 17 kapal dalam negeri.
Pada 2017, jumlahnya turun menjadi 23 kapal asing dan 11 kapal dalam negeri.
Tahun lalu, jumlah kasus turun hingga separuh yaitu 10 kapal asing dan 8 kapal dalam negeri.
“Ini wujud nyata negara kita melakukan penegakan hukum. Ini yang sedang dibangun untuk ditumbuhkembangkan agar kejahatan bisa ditekan seminimal mungkin, termasuk melalui latihan-latihan semacam ini,” lanjutnya.
Menurut Yeheskiel, keberhasilan menangani praktik perikanan ilegal itu tidak lepas dari kerja sama berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan negara lain.
Sementara itu, Sherman Lacey, Kapten US Coast Guard mengatakan, pelatihan ini diinisiasi negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang ikut SEAMLEI. Indonesia menjadi pemimpin dalam inisiatif tersebut.
“Pemerintah Amerika dan Bakamla tertarik melakukan kerja sama ini sebagai bagian dari US-Southeast Asia Initiative untuk menegakkan hukum di perairan kawasan ini,” katanya.
Bagi AS, Asia Tenggara merupakan kawasan penting karena hubungan dagang dan pertemanan.
“Kami membawa ahli-ahli berpengalaman menangani kejahatan transnasional. Dengan dukungan misi AS di ASEAN, kami membawa pengalaman nyata dan presentasi bagaimana kami menangani masalah itu secara multipihak, saat ini dan sebelumnya,” ujarnya.
Lacey menambahkan latihan di Bali merupakan kegiatan pertama mereka.
Setelah ini, akan ada pertemuan para komandan pada Desember nanti di AS dan pertemuan untuk bertukar pengalaman topik serupa.
Berbagi Informasi
Seorang tenaga ahli keamanan yang hadir dalam latihan tersebut adalah James D. Green, penjaga laut dari AS, memberikan instruksi kepada para penjaga maritim dari negara peserta.
Dalam pelatihan tersebut dilakukan berbagai simulasi termasuk bagaimana memeriksa kapal yang melakukan praktik perikanan ilegal seperti saat mereka menangkap penyu lintas negara.
“Petugas harus melaporkan ke WCPFC (Western and Central Pacific Fisheries Commission) penyu yang tertangkap dan memerintahkan kapal untuk mengembalikan penyu ke laut, meskipun sudah mati,” kata James D. Green, seorang pakar keamanan dan juga penjaga laut dari AS, yang menjadi salah seorang instruktur pelatihan.
WCPFC adalah organisasi pelestarian tuna dan ikan-ikan langka lain di Samudera Pasifik.
Menurut Green, negara-negara Asia Tenggara terikat dalam WCPFC sehingga harus melaporkan ke sana jika menemukan kasus perikanan ilegal.
“Jika kami menemukan kasus-kasus pelanggaran, tinggal melaporkan ke WCPFC agar tidak berbenturan dengan negara lain,” kata Ramos Noriel, Komandan Penjaga Maritim Filipina, menyambut adanya regulasi seperti itu.
SEAMLEI merupakan forum sub-regional yang didirikan untuk meningkatkan kerja sama penegakan hukum maritim dan pertukaran informasi di antara negara-negara Asia Tenggara.
Forum ini sebelumnya lebih dikenal dengan nama Gulf of Thailand Initiative (GOTI) yang berdiri sejak 2012.
Pemerintah Amerika melalui Program Pengendalian Ekspor dan Keamanan Perbatasan membentuk SEAMLEI untuk meningkatkan penegakan hukum empat negara di Teluk Thailand, yaitu Thailand, Kamboja, Malaysia dan Vietnam.
Sejak 2018, organisasi ini menambah dua anggota baru yaitu Filipina dan Indonesia.