ASEAN Desak Militer Myanmar Bebaskan Tahanan Politik dan Mulai Dialog
2021.03.02
Jakarta
Negara-negara Asia Tenggara menyerukan dihentikannya kekerasan yang terus meningkat di Myanmar dan segera dimulainya dialog demi menghindari eskalasi ketegangan yang berpotensi mengganggu stabilitas Kawasan dalam pertemuan virtual ASEAN pada Selasa (2/3).
Sementara itu Indonesia, Malaysia, Filipina dan Singapura khususnya mendesak militer Myanmar segera membebaskan Aung San Suu Kyi dan pemimpin politik lainnya yang ditahan sejak kudeta 1 Februari lalu.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyebut dialog internal antara militer dengan pemangku kepentingan lain di Myanmar sebagai pilihan terbaik, dengan tetap menghormati keinginan dan suara masyarakat sesuai prinsip-prinsip demokrasi yang dianut bersama negara anggota dalam Piagam ASEAN.
“Indonesia menegaskan keinginan, kepentingan dan suara rakyat Myanmar dihormati. Demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, demokrasi juga menuntut adanya komunikasi dan dialog,” kata Retno dalam konferensi pers, Selasa sore.
“Dan kondisi yang kondusif bagi komunikasi dan dialog harus segera diciptakan, termasuk melepaskan tahanan politik,” ujarnya.
Ia mengatakan ASEAN bersedia menjadi fasilitator dalam dialog tersebut jika dibutuhkan.
“Namun demikian, it takes two to tango. Keinginan ASEAN untuk membantu tidak dapat dijalankan jika Myanmar tidak membuka pintu,” tukas Retno.
Pertemuan menteri luar negeri ASEAN pada Selasa sore merupakan pertemuan informal pertama sejak militer Myanmar mengumumkan situasi darurat dan penangkapan pemimpin politik, termasuk Aung San Suu Kyi, pada bulan lalu, sebagai buntut dari hasil pemilihan umum yang dituding tidak sah.
Ketua ASEAN tahun ini, Brunei, yang memimpin pertemuan tersebut dalam pernyataan akhir setelah pertemuan mengatakan para menteri menyatakan keprihatinan mereka atas situasi di Myanmar dan meminta semua pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi damai, melalui dialog dan rekonsiliasi.
“Kami juga mendengar beberapa seruan untuk pembebasan tahanan politik dan agar Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Bangsa untuk Myanmar untuk melibatkan pihak-pihak terkait,” kata ketua pertemuan.
Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan menyampaikan dukungannya terhadap proposal yang diajukan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar pertemuan antara menteri luar negeri ASEAN-AS dalam membahas dan mencari solusi atas konflik di Myanmar.
Balakrishnan mengatakan perkembangan yang terjadi di Myanmar seharusnya tidak memengaruhi jalinan yang dibangun ASEAN dengan mitra eksternalnya. Selain itu, dengan tidak diikutsertakannya mitra eksternal dalam proses perundingan, maka mereka akan terus mencari cara untuk terlibat.
“Jika ASEAN sebagai sebuah kelompok menolak untuk melibatkan mitra eksternal kami, ini akan memaksa mereka untuk mencari cara lain untuk terlibat di kawasan. Ini akan menjadi pukulan telak bagi sentralitas ASEAN, dan pertalian kita sebagai sebuah blok akan ikut dipertanyakan,” kata Balakrishnan, dalam pernyataan tertulis.
Singapura turut berharap Myanmar bersedia menerima adanya keterlibatan mitra asing pada masa kritis ini.
Di Malaysia, Menlu Hishamuddin Hussein mengatakan negara-negara anggota ASEAN memiliki kepentingan atas situasi di Myanmar.
“Oleh karena itu, kami mendesak Myanmar untuk mempertimbangkan kembali ke meja perundingan dan memperbaiki krisis politik untuk menghindari eskalasi ketegangan lebih lanjut, yang dapat mengundang intervensi asing yang mengganggu di kawasan ASEAN,” kata Hishamuddin dalam keterangan tertulisnya.
Malaysia turut mendesak Myanmar segera membuka akses bagi Ketua dan Sekretaris Jenderal ASEAN untuk berkunjung dan bertemu dengan semua pihak yang berkepentingan dalam penyelesaian konflik ini.
Dalam pernyataannya, Hishamuddin mengatakan ASEAN dapat memberikan dukungan demokratis kepada Myanmar melalui pembentukan sekelompok pakar elektoral untuk membantu menjembatani perbedaan yang ditemukan dalam pemilu pada November tahun lalu.
Pihaknya juga menyetujui ASEAN komunikasi dan konsultasi bersama mitra internasionalnya secara kolektif, salah satunya melalui pembentukan ASEAN Troika, tentang situasi di Myanmar. “Semua rekomendasi yang dibuat melalui keterlibatan ini akan dibagikan dengan Myanmar untuk implementasi di tingkat nasionalnya,” tambahnya.
Sementara itu Manila pada Selasa mendesak militer Burma untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah yang terpilih secara demokratis.
“Seruan kami adalah agar Myanmar kembali sepenuhnya ke keadaan yang ada sebelumnya: sehubungan dengan peran utama Daw Aung San Suu Kyi; bersama Angkatan Darat yang diciptakan ayahnya untuk melindungi orang-orang yang ia pimpin menuju kebebasan,dan negara yang ia berikan kepada mereka dengan mengorbankan nyawanya,” kata Menteri Luar Negeri Teodoro Locsin Jr. dalam sebuah pernyataan.
Bentrok terus berlangsung
Juga pada Selasa, bentrokan antara pengunjuk rasa dengan aparat keamanan di Myanmar masih terjadi di empat titik di Kota Yangon, sebut laporan Reuters.
Tentara dan polisi Myanmar disebut menembakkan peluru tajam, peluru karet dan gas air mata ke arah pengunjuk rasa anti-kudeta, menyebabkan sedikitnya tiga orang terluka parah, demikian laporan media internasional.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam wawancara bersama BBC, menyebut penggunaan kekuatan yang berlebih oleh militer Myanmar dalam menghadapi demonstran sebagai langkah yang tidak bisa diterima.
“Itu adalah bencana, tidak hanya secara internasional tapi juga di dalam negeri mereka. Karena itu berarti warga sipil, semua orang di Myanmar tahu,” kata Lee, dikutip dari transkrip wawancara yang diunduh situs resmi Kementerian Luar Negeri Singapura, Selasa.
“Anda mungkin mencoba membatasi akses internet, tetapi berita menyebar dan penduduk Myanmar tahu siapa yang ada di pihak mereka. Jika mereka memutuskan bahwa pemerintah tidak ada di pihak mereka, saya pikir pemerintah memiliki masalah yang sangat besar.”
Sejauh ini belum ada jumlah resmi korban dalam konflik pasca kudeta namun kelompok hak asasi manusia (HAM) berbasis di Myanmar, Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), mengatakan telah ada 30 orang meninggal dunia akibat bentrokan dengan aparat keamanan.
Sementara, telah ada 1.213 orang yang ditangkap, didakwa, dan divonis sejak kudeta militer berlangsung dalam satu bulan terakhir.
Seorang jurnalis televisi lokal DVB Myanmar, Kaung Myat Naing, turut menjadi korban penangkapan setelah ia dan timnya menyiarkan langsung penggerebekan yang dilakukan militer di gedung apartemennya di selatan Kota Myeik pada Senin malam.
Selain Kaung Myat, seorang fotografer kantor berita Associated Press di Yangon juga dikabarkan telah diamankan militer Myanmar.
Menlu Retno dalam pertemuan ASEAN Selasa, menyebut situasi terkini yang terjadi di Myanmar ‘sangat mengkhawatirkan’, akibat terus meningkatnya jumlah korban sipil yang kehilangan nyawa maupun mengalami luka-luka juga terus terjadinya penangkapan warga.
“Mengkhawatirkan, karena jika tidak segera diselesaikan dengan baik maka akan dapat mengancam perdamaian dan keamanan kawasan,” kata Retno.
Repatriasi Rohingya
Pada pertemuan virtual ASEAN, Malaysia turut menyampaikan kekhawatirannya atas rencana pemulangan pengungsi Rohingya yang telah disepakati Myanmar dalam mediasi yang dilakukan bersama Bangladesh pada Januari lalu.
Hishamuddin mengatakan Malaysia secara langsung terkena dampak krisis etnis minoritas di Negara Bagian Rakhine itu dengan masalah migrasi ilegal yang terus terjadi ke negaranya.
“Saya berharap situasi saat ini di Myanmar tidak akan berdampak buruk pada pemulangan pengungsi Rohingya yang kembali ke Myanmar,” katanya.
Malaysia juga mendesak implementasi dari rekomendasi Preliminary Needs Assessment (PNA) yang dibuat Sekretaris Jenderal ASEAN dalam mengidentifikasi area-area yang memungkinkan untuk proses repatriasi pengungsi secara efektif.
“Kami akan terus mendukung upaya menuju pemulangan pengungsi Rohingya yang aman, sukarela, dan bermartabat ke Negara Bagian Rakhine. Kami menyambut baik komitmen Myanmar dalam masalah ini,” ujarnya.
Pada 20 Januari, Kementerian Luar Negeri Bangladesh mengatakan Myanmar menyepakati pemulangan sekitar 800 pengungsi Rohingya dari penampungan Cox’s Bazar menyusul mediasi dua negara yang difalisitasi Pemerintah Cina.
Bangladesh mengajukan Maret sebagai waktu pemulangan, namun Myanmar meminta tenggat diundur hingga Juni karena alasan logistik, sebut Menteri Luar Negeri Masud Bin Momen dikutip dari harian Bangladesh, The Daily Star.
Negosiasi repatriasi ini adalah yang ketiga kali dilakukan kedua negara. Pada November 2018 dan Agustus 2019 kesepakatan serupa pernah dibuat namun dibatalkan karena penolakan pengungsi yang masih khawatir dengan kondisi keamanan di Rakhine.
Aaron Connelly, seorang peneliti di Institut Internasional untuk Kajian Strategis di Singapura, mencatat bahwa ASEAN tidak akan menginginkan bencana kemanusiaan lain seperti yang menyebabkan lebih dari 700.000 pengungsi Rohingya melarikan diri dari Myanmar selama serangan militer brutal di negara bagian Rakhine pada tahun 2017.
"Adalah kepentingan ASEAN untuk menjaga jalur komunikasi terbuka dengan Tatmadaw selama mereka memegang kekuasaan, jika tidak ada alasan lain selain menggunakan saluran ini untuk mendesak tentara agar segera kembali ke baraknya," kata Connelly, menggunakan sebutan resmi militer Myanmar. Tapi, saat berhubungan dengan dengan junta, "ASEAN berisiko melegitimasi kudeta yang menimbulkan risiko ini," ujarnya.
‘Barat vs Cina’
Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional Universitas Padjajaran di Bandung, melihat adanya pembagian peran yang dilakukan negara-negara ASEAN terkait isu Myanmar.
“Indonesia memainkan peran yang cenderung netral dengan tetap tekankan ASEAN Charter, Malaysia sedikit lebih keras, sementara Singapura berani mengundang pihak asing. Saya melihat ini pembagian peran yang menarik, karena memang pertemuan ini terjadi dalam situasi yang sangat dinamis,” katanya.
“Brunei mencoba untuk bermain fleksibel, dengan tujuan yang sangat jelas, yakni tidak ingin memojokkan Myanmar, karena bagaimanapun saat ini ASEAN dalam posisi maju kena mundur kena, antara Barat atau Cina,” tambahnya.
Rezasyah mengingatkan, apabila Brunei tidak mampu memainkan peran yang tepat, maka skenario terburuk yang ditakutkan ASEAN bisa terjadi yakni kemunculan poros baru ASEAN yang secara terang-terangan berpihak pada Cina.
“Selama ini porosnya sudah terbentuk, tapi kan diam-diam. Jadi yang saya khawatirkan kalau ASEAN terlihat terlalu menekan, tidak berusaha akomodatif, Myanmar lalu muncul dengan opsi konsultasi dengan Cina,” kata Rezasyah.
Muzliza Mustafa di Kuala Lumpur dan Jason Gutierrez di Manila turut berkontribusi untuk laporan ini.