ASEAN Dikritik Tidak Tegas Terhadap Myanmar
2021.02.26
Washington
Sehari setelah pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia dan Thailand dengan utusan tinggi junta militer Myanmar, negara-negara tetangga di kawasan tersebut diminta untuk bertindak tegas.
Para aktivis menggunakan media sosial untuk mengkritik pemerintah Indonesia karena bersedia berkomunikasi dengan perwakilan dari junta, yang secara tidak langsung memberikan legitimasi kepada para jenderal di Naypyidaw yang menggulingkan pemerintah terpilih pada 1 Februari.
“ASEAN [Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara] masih belum memberikan aksi konkret,” demikian diutarakan oleh anggota parlemen Malaysia, Charles Santiago, ketua Parlemen ASEAN untuk hak asasi manusia, pada Kamis dalam sebuah pernyataan tentang pertemuan trilateral antara para diplomat utama itu di sebuah bandara internasional di luar ibu kota Thailand.
“Cukup memalukan tampaknya karena Menteri Luar Negeri dari negara-negara ASEAN masih belum juga mengkoordinasikan respons terhadap pelanggaran Piagam ASEAN yang dilakukan oleh militer di Myanmar ini,” kata Santiago dalam sebuah pernyataan.
Demonstrasi masal terjadi di seluruh Myanmar untuk memprotes kudeta itu yang kemudian direspons dengan kekerasan oleh militer. Pasukan keamanan pemerintah sudah menewaskan setidaknya empat warga dan melukai puluhan orang saat berusaha untuk menghentikan gerakan pembangkangan sipil itu.
“ASEAN sedang dalam kekacauan dan perlu bertindak bersama,” kata Phil Roberson, Wakil Direktur untuk Human Rights Watch wilayah Asia, dalam sebuah wawancara dengan TRT World, saluran berita Turki.
“Saat ini, ASEAN tidak memiliki cara yang tersentralisasi untuk mengkoordinasi dan memastikan kesatuan suara dan sikap dari perhimpunan itu,” ujar Robertson.
“Karena itu, sekarang kita melihat situasi dimana semua pihak mengharapkan ASEAN untuk menyelesaikan ini karena mereka bisa berkomunikasi dengan Myanmar, tetapi ASEAN sendiri justru berada di tengah masalah ini.”
Anggota parlemen ASEAN, Santiago, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap hasil dari pertemuan antara Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dengan mitranya Menteri Luar Negeri Myanmar Wunna Maung Lwin, dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai.
Retno mengungkapkan kepada elit militer Naypyidaw bahwa “keinginan dari masyarkat Myanmar harus didengar,” dan meminta untuk mengadakan “proses transisi demokrasi yang inklusif.”
“Apa maksud dari Indonesia saat mengatakan untuk mengembalikan ‘proses transisi demokrasi yang inklusif’ di Myanmar?” tanya Santiago.
“Hanya ada satu hal yang perlu dikembalikan: yaitu Parlemen yang sudah seharusnya diangkat pada tanggal 1 Februari. Inilah yang masyarakat Myanmar inginkan dan diutarakan kepada junta dan seluruh dunia, dan bisa didengar setiap hari di jalanan Myanmar.”
Utusan dari junta Myanmar juga bertemu dengan Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-o-cha secara tertutup hari Rabu di Bangkok.
Perkembangan kondisi Myanmar ‘malapetaka’ bagi kawasan ASEAN
Robertson dari Human Rights Watch mengatakan bahwa lokasi pertemuan ketiga menteri luar negeri tersebut telah memberikan gambaran.
“Fakta bahwa menteri luar negeri Myanmar terbang ke sini [ke Bangkok] menunjukkan bahwa ia mengerti, Prayuth di Thailand juga mengalami situasi yang mirip beberapa tahun lalu. Karena Prayuth sendiri adalah pelaku kudeta Thailand,” ujar Robertson.
Sebagai panglima militer, Jenderal Prayuth merekayasa sebuah kudeta yang menggulingkan pemerintahan terpilih Yingluck Shinawatra pada tahun 2014. Prayuth menjadi perdana menteri setelah kudeta dan mempertahankan jabatan tersebut setelah pemilihan umum pada tahun 2019, yang dinilai penuh kecurangan.
Sebenarnya, segera setelah kudeta di Naypyidaw pada awal Februari, Thailand dengan Vietnam dan Filipina telah mengatakan bahwa mereka tidak akan ikut campur dalam urusan Myanmar. Hal tersebut tertulis sebagai prinsip utama dari blok ASEAN yang mengatakan bahwa negara ASEAN tidak akan ikut campur dalam urusan domestik satu sama lain.
Manila kemudian mengubah pendiriannya dan bergabung dengan Indonesia dan Malaysia dalam menyatakan kekhawatirannya terhadap situasi yang berkembang di Myanmar.
Brunei, sebagai ketua ASEAN pada tahun 2021 telah mengadakan pertemuan daring dengan utusan Myanmar untuk mendengar secara langsung mengenai situasi di sana. Pada Rabu malam, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken berbicara dengan mitranya dari Brunei, Dato Erywan Yusof, mengenai “peran penting ASEAN dalam menyelesaikan krisis di Burma yang terjadi karena perebutan kekuasaan oleh militer,” ujar kementerian luar negeri Amerika.
Sementara dalam surat terbuka bersama yang ditujukan kepada ASEAN, puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Asia Tenggara mengatakan bahwa tanggapan blok regional tersebut yang terpecah-belah terhadap situasi pasca-kudeta di Myanmar tidak akan membuahkan hasil.
“Perkembangan situasi di Myanmar sangat berbahaya bagi masyarakatnya, dan juga untuk wilayah Asia Tenggara. Ini tidak hanya berpotensi adanya ribuan orang yang akan melarikan diri untuk menghindari kekerasan dan penyiksaan, ini juga membuat ketidakstabilan di wilayah ini… Kami sangat percaya bahwa isu ini sangat penting untuk diselesaikan, dan juga untuk kepentingan ASEAN itu sendiri, untuk mengambil posisi tegas dalam perkembangan ini yang sangat mendesak dan mengkhawatirkan,” demikian bunyi surat yang dituliskan oleh 70 LSM tersebut.
“Apabila ini gagal, ini beresiko akan memberikan ASEAN citra yang semakin buruk sebagai badan regional yang efektif dan mampu berkontribusi penting terhadap komunitas negara-negara yang kuat dan berkembang.
Karena itu, Malaysia minggu ini dikritik secara internasional karena memulangkan kembali lebih dari 1.000 warga negara Myanmar - yang bertentangan dengan perintah pengadilan untuk menangguhkan deportasi - di kapal angkatan laut Myanmar.
Aktivis HAM dan agensi pengungsi PBB mengatakan bahwa banyak pengungsi dan pencari suaka di atas kapal itu yang beresiko akan dihukum dan disiksa apabila dikembalikan ke Myanmar.
Uni Eropa mengatakan, mereka telah mendesak Malaysia untuk menghentikan deportasi, dan “sangat menyayangkan” tindakan Malaysia.
Ned Price, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, mengatakan Amerika Serikat mengkhawatirkan tindakan Malaysia yang telah mengirim kembali warga negara Myanmar "meskipun ada perintah larangan deportasi dari pengadilan Malaysia dan karena kerusuhan yang sedang berlangsung di Burma" sejak kudeta.
‘Berhenti melegitimasi rezim militer’
Sementara sejumlah analis memuji Indonesia karena memimpin dalam mendorong negara-negara tetangga untuk lebih terlibat dalam menangani kudeta Myanmar, aktivis HAM justru melihat hal itu sebagai tindakan ceroboh.
Awal pekan ini, Retno harus membatalkan rencana perjalanannya ke Myanmar setelah ratusan pengunjuk rasa berkumpul di luar Kedutaan Besar Indonesia di Yangon untuk memprotes apa yang mereka katakan akan menjadi sebuah pengakuan rezim militer.
Namun, Retno tetap melanjutkan dan bertemu dengan mitranya dari Myanmar di Bangkok pada hari Rabu.
Veronica Koman, aktivis hak asasi manusia dan pengacara asal Indonesia mempertanyakan hal itu.
“Dari level akar rumput hingga UN dan Dewan Gereja Dunia mendorong supaya Indonesia tatap muka dengan kelompok pro-kemerdekaan Papua menyelesaikan konflik, tapi dicuekin. Eee Indonesia malah menemui junta Myanmar hingga didemo di Myanmar dan Thailand,” demikian cuitan Veronica melalui akun twitternya.
Seorang aktivis muda asal Myanmar menyatakan bahwa ia dan demonstrans yang lain “terkejut” atas pertemuan Menlu Retno dengan menteri yang diangkat oleh militer Myanmar.
“Kami sangat mengutuk tindakan ini pada saat yang sensitif ini. Kami ingin pemerintah ASEAN untuk berunding dengan berbagai pihak yang bersangkutan. ASEAN harus memihak masyarakat Myanmar. Janganlah menambah beban,” kata Scarlett saat briefing pers virtual yang diorganisir grup HAM asal Indonesia, KontraS, the Asian Forum for Human Rights and Development dan Asia Justice and Rights.
“Kami tidak ingin melegitimasi pemerintahan militer, maka itu berhenti mengikutsertakan militer dalam perbincangan ini. Anda mengatakan bahwa Anda prihatin akan kesejahteraan dan keselamatan orang Myanmar. Saya tidak yakin pendekatan Anda [dengan militer] menyampaikan pesan Anda," ujarnya, menegur Menteri Luar Negeri Indonesia.
Menlu Retno mengatakan bahwa Indonesia tidak akan memilih untuk tinggal diam.
“Tidak melakukan apa-apa, bukanlah sebuah pilihan,” kata Retno dalam sebuah pernyataan usai pertemuannya dengan utusan Myanmar itu.
Sementara itu pada hari Kamis, Perdana Menteri Thailand Prayuth mengatakan bahwa pertemuannya dengan menteri Myanmar tidak berarti sebuah "dukungan" terhadap rezim militer.
“Kami tidak mendukung, saya datang untuk mendengarkan dan mewakili Thailand dan untuk ASEAN,” dikatakan kepada reporter saat ditanya mengenai pertemuannya.
“[Kami] harap yang terbaik untuk masalah politik ini, semoga mereka bergerak menuju demokrasi secepat mungkin. Tiap negara memiliki masalahnya tersendiri.”
Ahmad Syamsudin di Jakarta dan Pimuk Rakkanam di Bangkok turut berkontribusi dalam laporan ini.