Indonesia, Vietnam: Selesaikan Sengketa Laut Cina Selatan dengan Patuhi Hukum Internasional

KTT juga bahas COVID-19, konflik AS-Cina, dan isu Rohingya.
Ronna Nirmala
2020.09.09
Jakarta
200909_ID_ASEAN_1000.jpg Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc berpidato dari Hanoi dalam upacara pembukaan Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN, yang diselenggarakan daring di tengah pandemi COVID-19, pada 9 September 2020.
AFP

Indonesia dan Vietnam mengatakan pada Rabu (9/9) bahwa sengketa Laut Cina Selatan mengancam stabilitas regional di kawasan Asia Tenggara dan negara-negara terkait harus menyelesaikan perselisihan sengit tersebut dengan mematuhi hukum internasional.

Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc, yang saat ini mengetuai Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), mengatakan kepada para menteri luar negeri ASEAN peserta KTT tersebut bahwa meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan dapat mengancam perdamaian di kawasan itu bahkan ketika para anggotanya bekerja sama untuk menanggapi pandemi COVID-19.

Sementara itu, kepada wartawan di sela-sela pertemuan, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan negara-negara ASEAN tidak ingin "terjebak dalam persaingan antara negara-negara besar," yang merujuk pada ketegangan antara Cina dan Amerika Serikat.

“Pandemi COVID-19 terus meluas dengan masalah kompleks, masyarakat dan bisnis kita terus terdampak oleh akibatnya,” kata Phuc dalam pidato pembukaan KTT yang diadakan daring di tengah pandemi COVID-19.

"Lanskap geo-politik dan geo-ekonomi regional, termasuk Laut Cina Selatan, memperlihatkan peningkatan ketegangan yang merusak perdamaian dan stabilitas."

Phuc mendesak negara-negara yang bermasalah untuk menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan dengan mematuhi hukum internasional, termasuk United Convention on the Law of the Sea, atau UNCLOS.

Menlu Retno sependapat dengan Perdana Menteri Vietnam.

“Hanya dengan mematuhi hukum internasional kita akan membuat Laut Cina Selatan menjadi tempat yang damai dan stabil,” katanya.

Komentar kedua negara tersebut dinyatakan ketika AS dan Cina bersitegang di Laut Cina Selatan.

Menlu AS Mike Pompeo pada Juli lalu mengatakan klaim Beijing atas Laut Cina Selatan adalah ilegal. Amerika, ujarnya, mendukung sekutunya di Asia Tenggara "dalam melindungi hak kedaulatan mereka atas sumber daya lepas pantai."

Beijing menanggapi Pompeo dengan menuduh AS terus mencampuri masalah Laut Cina Selatan dengan pamer kekuatan otot, “(dan) memicu ketegangan serta memicu konfrontasi" di kawasan "dengan dalih menjaga stabilitas".

Cina, Indonesia, Brunei, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam memiliki klaim teritorial di Laut Cina Selatan. Walaupun Indonesia menyatakan tidak menjadi bagian dari sengketa wilayah di Laut Cina Selatan, Beijing mengklaim hak-hak bersejarah pada sebagian dari wilayah yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia tersebut.

Pada hari Rabu, Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh mengatakan bahwa ASEAN akan terus mempromosikan dialog dan non-militerisasi, dan tidak akan memperumit situasi di Laut Cina Selatan.

Serangkaian pertemuan tingkat menteri ASEAN direncanakan minggu ini, termasuk Forum Regional ASEAN pada hari Sabtu. Forum 27 negara tersebut mencakup Rusia, Jepang, Australia, AS, Cina, Korea Selatan, dan India.

COVID-19

Hingga Rabu, jumlah total kasus COVID-19 di negara-negara ASEAN telah mencatat lebih dari 520.000 kasus terkonfirmasi dan lebih dari 12.000 kematian, menurut data Universitas Johns Hopkins.

Filipina memiliki jumlah kasus positif tertinggi di kawasan, dengan 245.143 kasus, disusul Indonesia dengan 203.342. Namun, jumlah korban tewas di Indonesia sebanyak 8.336 lebih dari dua kali lipat dari Filipina.

Dalam sambutannya di pertemuan ASEAN, Menlu Vietnam Phuc mendesak adanya kerja sama regional untuk menangani pandemi.

Dia mengatakan penggunaan efektif ASEAN Covid-19 Response Fund dan Regional Reserve of Medical Supplies akan sangat meningkatkan kapasitas kawasan untuk menanggapi pandemi.

Dalam pertemuan online khusus pada bulan April, para pimpinan ASEAN setuju untuk mendukung realokasi dana yang ada untuk memerangi pandemi dan untuk membentuk dana tanggapan.

“Kita perlu segera membantu warga dan bisnis mereka, memulihkan produksi dan mengembalikan kehidupan mereka ke normal untuk mempercepat pemulihan ekonomi,” kata Phuc.

Tanggapan ASEAN terhadap Rohingya

Pada pertemuan tingkat menteri ASEAN pada hari Rabu, Menlu Retno mendesak negara-negara anggota ASEAN untuk mengatasi penderitaan etnis minoritas Muslim Rohingya yang diusir dari Myanmar.

Hampir 300 Muslim Rohingya mendarat di pesisir Lhokseumawe, Aceh, pada Senin (7/9) setelah melakukan perjalanan di laut selama lebih dari tujuh bulan. Pengungsi Rohingya yang diselamatkan oleh warga Aceh itu mengatakan mereka membayar penyelundup ribuan dolar untuk mencapai Malaysia.

Menlu Retno mengatakan bahwa Indonesia menyediakan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi ini serta 99 orang yang tiba pada bulan Juni, karena "alasan kemanusiaan".

“Namun kita tahu bahwa kita perlu bekerja sama antara lain untuk mengatasi kejahatan transnasional termasuk masalah penyelundupan manusia dan perdagangan orang,” kata Retno.

Retno mengatakan Indonesia mendorong agar masalah pengungsi Rohingya dapat diselesaikan dengan fokus pada akar masalah. “Oleh karena itu tadi saya meminta agar Menlu Myanmar dan juga sekjen ASEAN memberikan update kepada kita mengenai where we are, karena sekali lagi core issue berarti repatriasi yang volunteer aman dan bermartabat,” ujar Retno.

Malaysia mengatakan krisis Rohingya memiliki implikasi regional bagi anggota ASEAN juga.

Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan bahwa konflik berkepanjangan di negara bagian Rakhine Myanmar "membahayakan keamanan dan stabilitas kawasan ASEAN."

Ratusan ribu Rohingya tinggal di Rakhine di bawah "ancaman genosida" menurut laporan Misi Pencari Fakta yang dimandatkan PBB pada September 2019.

“Kami terus mengikuti pergerakan tidak teratur pengungsi Rohingya dari negara bagian Rakhine dan Cox's Bazar (di Bangladesh) melalui jalur darat dan air,” kata Hussein dalam KTT ASEAN tersebut.

“Apa yang tidak kami inginkan adalah terulangnya krisis manusia perahu tahun 2015 di Laut Andaman,” katanya mengacu pada saat ribuan orang Rohingya terdampar di Laut Andaman setelah negara-negara di wilayah tersebut menolak untuk menerima mereka.

"Bagaimana kita mengatasi ini?"

Muzliza Mustafa di Kuala Lumpur turut berkontribusi dalam artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.