ASEAN Tunjuk Menlu Brunei Jadi Utusan Khusus Myanmar
2021.08.04
Jakarta
Para Menteri Luar Negeri ASEAN pada Rabu (4/8) menunjuk diplomat utama Brunei Erywan Pehin Yusof sebagai utusan khusus yang bakal menjalankan mandat konsensus lima poin dari para pemimpin regional untuk memfasilitasi dialog penyelesaian konflik di Myanmar.
Pengumuman itu menyusul pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pada Senin yang menurut pejabat Indonesia berlangsung alot dalam pembahasan paragraph soal Myanmar sehingga menyebabkan tertundanya komunike bersama.
“Kami menyambut baik penunjukan Menteri Luar Negeri II Brunei Darussalam sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar yang akan memulai tugasnya untuk membangun kepercayaan dan keyakinan dengan akses penuh kepada semua pihak terkait, dan memberikan garis waktu yang jelas tentang pelaksanaan Konsensus Lima Poin,” tulis komunike bersama para menteri luar negeri (Menlu) yang dirilis Rabu.
Dalam pernyataan bersama, para Menlu menegaskan kembali komitmen yang disampaikan Myanmar dalam kesepakatan konsensus lima poin yang dirumuskan saat pertemuan pemimpin ASEAN di Jakarta pada akhir April. Pertemuan itu turut dihadiri Aung Min Hlaing, panglima militer Myanmar.
Konsensus lima poin dari ASEAN tentang Myanmar menyerukan diakhirinya segera kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak dan mediasi pembicaraan oleh utusan khusus ASEAN.
Konsensus itu juga memuat poin pemberian bantuan kemanusiaan terkoordinasi ASEAN dan kunjungan delegasi ASEAN ke Myanmar untuk bertemu dengan semua pihak.
Para menteri menggarisbawahi penunjukkan Erywan sebagai utusan khusus ASEAN perlu segera ditindaklanjuti dengan proses penyaluran bantuan kemanusiaan bagi masyarakat Myanmar yang mobilitasnya tersandera oleh kudeta militer sejak 1 Februari 2021.
“Kami mendorong Dewan Pengurus AHA Center (Asean Coordinating Center for Humanitarian Assistance) untuk segera memulai tugasnya yang berpedoman pada Konsensus Lima Poin,” sebut para menteri.
Negosiasi panjang
Penunjukkan Erywan sebagai utusan khusus, atau special envoy ASEAN melalui perjalanan dan negosiasi yang alot, sebut Direktur Kerja Sama Eksternal ASEAN Kemlu, Sidharto Suryodipuro.
Pengumuman nama utusan khusus sedianya dijadwalkan pada Senin, pada hari pertama rangkaian pertemuan AMM ke-54, namun berjalan molor karena pembahasan utusan khusus.
“Pembahasan paragraf akhir tentang Myanmar yang pending sehingga pengesahan tertunda. Ada berbagai isu dalam joint communique ini yang penting bukan hanya untuk ASEAN, tapi juga Indonesia,” kata Sidharto dalam jumpa pers, Rabu.
Kendati demikian, Sidharto memastikan Indonesia dan seluruh anggota ASEAN tanpa terkecuali, menyepakati keputusan menjadikan perwakilan Brunei itu sebagai utusan khusus.
“Ini adalah kesepakatan ASEAN, semua anggota ASEAN tanpa terkecuali…dan juga persetujuan dari pihak Myanmar terhadap pelaksanaan lima poin konsensus,” kata Sidharto.
Pihaknya menambahkan, Utusan Khusus ASEAN akan langsung memulai kerjanya, termasuk memulai pembicaraan dengan seluruh pihak yang berkonflik di Myanmar, dan akan memberikan laporan perkembangan kinerja dalam pertemuan tingkat Menlu pada September 2021.
“Adanya komitmen konkret bahwa Special Envoy akan segera memulai kerjanya. Akan ada clear timeline yang diberikan, dan akses penuh kepada semua pihak di Myanmar. Special Envoy akan melapor pada pertemuan tingkat Menlu mendatang yaitu pada September,” paparnya.
Lambatnya penunjukkan utusan khusus disinyalir sebagai buntut perpecahan internal antara kubu demokrasi dan militer di kawasan yang sama-sama mengusulkan calonnya untuk posisi tersebut, kata analis.
Kubu demokrasi di antaranya Indonesia dikabarkan menunjuk mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, sementara kubu militer diwakili Thailand ingin mendorong diplomatnya, Virasakdi Futrakul, sebagai utusan khusus—yang disinyalir juga disepakati oleh Myanmar, sebut para analis di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta.
Kasit Piromya, anggota eksekutif lembaga independen ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) dan mantan anggota parlemen Thailand, meminta utusan khusus segera bergerak menjalankan mandat seraya mendesak ASEAN untuk mengawasi kinerja Erywan secara ketat.
“Dengan penunjukan ini, ASEAN tidak lagi bisa bersembunyi di balik alasan belum ada utusan khusus,” kata Piromya dalam keterangan tertulis.
“Blok harus memastikan bahwa utusan ini menunjukkan kepemimpinan yang sangat kita dambakan dalam krisis ini. Tidak hanya rakyat Myanmar yang bergantung padanya, tetapi juga seluruh reputasi ASEAN.”
Tidak terlalu berekspektasi
Peneliti Senior Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra mengaku tidak memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap sosok utusan yang berasal dari Brunei tersebut merujuk performa negara itu sebagai ketua ASEAN 2021 yang lamban merespons krisis di Myanmar.
“Memang tidak bisa di-judge di awal dan juga bahwa special envoy ini seharusnya bekerja sesuai mandat kawasan, bukan atas nama negara. Tapi kalau melihat performa kemarin ini, sepertinya saya tidak bisa berekspektasi tinggi,” kata Lina kepada BenarNews.
Lina menyoroti ketidakterbukaan Brunei di dalam mendorong implementasi lima poin konsensus.
“Misalnya saja Brunei tidak transparan kepada semua Menlu ketika melakukan kunjungan ke Naypyitaw, tidak juga ada transparansi terkait persiapan penunjukkan Special Envoy ini, malah terlihat seperti terlalu berkompromi dengan pihak militer Myanmar yang sebenarnya adalah sumber masalah di sana,” katanya.
Hal lain yang dikhawatirkannya adalah periode keketuaan Brunei di ASEAN yang bakal berakhir dalam lima bulan ke depan.
“Apakah special envoy ini akan diganti lagi atau dilanjutkan? Karena keketuaan selanjutnya ada di Kamboja yang pasti dinamikanya bakal berubah lagi, sementara mandat lima poin konsensus ini kan tidak mungkin tercapai hanya dalam satu tahun,” katanya.
Dinna Prapto Raharja, pakar dan akademisi hubungan internasional dari Synergy Policies di Jakarta, dengan tegas menyatakan Erywan bukan sosok yang tepat untuk menjadi utusan khusus ASEAN karena rentan memiliki konflik kepentingan dengan pihak-pihak yang tidak pro-demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia (HAM) di Myanmar.
“Beliau tidak dipilih terutamanya karena keterampilan mengelola isu yang sangat kompleks di Myanmar, tapi lebih untuk menjaga komunikasi yang aman dengan Brunei sebagai chair ASEAN dan anggota ASEAN lain yang masih setengah hati —dan bahkan menolak aktif—dalam mencari jalan keluar berbasis demokrasi dan HAM,” kata Dinna kepada BenarNews.
Dinna menilai utusan khusus nantinya hanya akan menjadi “boneka”.
“Artinya tidak bisa diharapkan Special Envoy ini bergerak cepat atau bahkan berani memberi masukan pada ASEAN,” katanya, seraya menambahkan “ya begitulah kenyataannya ASEAN.”
Dampak bagi Indonesia
Peneliti hubungan internasional di CSIS lainnya, Rizal Sukma menyoroti dampak yang akan ditanggung oleh Indonesia yang akan menjadi ketua ASEAN tahun 2023 apabila Erywan gagal.
“Indonesia harus memperjelas posisinya dari sekarang. Kalau tidak, semua kekacauan akan datang kepada kita pada tahun 2023. Mari kita berdoa agar Menteri Erywan memiliki formula ajaib untuk membujuk junta,” kata dia.
Rizal menilai Indonesia perlu mengurangi “obsesinya” dengan ASEAN dalam strategi politik luar negerinya dan lebih berfokus pada kolaborasi dengan kekuatan besar negara anggota lainnya yang memiliki cara pandang sama seperti Malaysia dan Singapura.
Kendati demikian, pihaknya berharap Erywan mampu membawa perubahan yang diharapkan di Myanmar, meski hal ini membutuhan pengawasan dan evaluasi ketat dari seluruh anggota ASEAN.
“Utusan juga tidak boleh melegitimasi apa yang disebut rencana SAC (State Administration Council – sebutan resmi junta militer), seperti pemilihan umum karena itu harus diputuskan oleh semua kelompok di Myanmar,” ujarnya.
Sementara itu Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Wendy R. Sherman, berbicara melalui telpon dengan Zin Mar Aung, perwakilan National Unity Government (NUG), lembaga yang dibentuk oleh para wakil rakyat yang terpilih dalam pemilu sah di Burma yang dikudeta junta Februari lalu. Sherman dan Aung membahas upaya pengembalian Burma ke jalan demokrasi, upaya penanggulangan COVID-19 di Burma dan bantuan kemanusiaan kepada penduduk Myanmar, demikian juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Rabu.
Pimpinan Militer Myanmar Min Aung Hlaing pada Minggu (1/8) mengumumkan pihaknya bersedia bekerja sama dengan utusan khusus ASEAN seraya mengumumkan bahwa status darurat bakal dilanjutkan hingga Agustus 2023 menyusul rencana digelarnya kembali pemilihan umum di negara itu.
Namun demikian, pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran di Bandung, Teuku Rezasyah, menilai penunjukkan Erywan sebagai sebuah kemajuan.
“Kita ingin meyakinkan Myanmar kalau siapapun envoy yang dipilih adalah untuk menjaga nama baik Myanmar, dan bekerja sama untuk kehidupan Myanmar di ASEAN yang berwibawa, bermartabat dan maju,” kata Rezasyah.
Tria Dianti di Jakarta berkontribusi pada laporan ini