Survei: Di Asia Selatan, Asia Tenggara, Korupsi Pemerintah Mengkhawatirkan

Transparency International: responden mengaku membayar suap, disuap, atau mengalami ‘pemerasan seksual’.
John Bechtel
2020.11.24
Wahington
image001_1000.jpg Nalinrat Tuthubthim, 20, mahasiswi Thailand yang mengklaim dirinya telah mendapatkan pelecehan seksual oleh dosennya, melakukan protes dengan menutup mulutnya memakai selotip dalam unjuk rasa pro-demokrasi mengecam pemerintah di Negara Gajah Putih itu atas tuduhan melakukan korupsi, 21 November 2020.
Reuters

Sekitar tiga perempat warga yang disurvei di negara-negara di Asia Selatan dan Tenggara melihat korupsi pemerintah sebagai masalah utama, tetapi mereka juga percaya mereka dapat melakukan sesuatu untuk memerangi hal itu, demikian laporan Transparency International (TI) yang diterbitkan Selasa (24/11).

Masyarakat di sejumlah negara termasuk Bangladesh, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand dilaporkan disuap untuk memberikan suara, membayar suap atau menerima pelecehan seksual untuk mendapatkan layanan publik, demikian menurut LSM yang berbasis di Berlin itu yang memantau korupsi di seluruh dunia.

“Agar upaya antikorupsi tetap berkelanjutan di seluruh wilayah, penting bagi warga negara untuk melawan dan menolak korupsi dalam segala bentuk. Ini sering kali dimulai dengan kemauan individu untuk berbicara menentang korupsi, yang menurut sebagian besar responden dalam survei kami mengatakan ini akan mengarah pada pembalasan terhadap mereka,” kata TI dalam laporannya, Global Corruption Barometer - Asia 2020.

Terlepas dari tantangan ini, ketakutan akan intimidasi dan dibatasinya kebebasan berpendapat, mayoritas warga percaya bahwa orang biasa dapat membuat perbedaan dalam perang melawan korupsi.”

Survei yang dilakukan selama periode enam bulan awal tahun ini, meneliti sebanyak 20.000 responden di total 17 negara Asia.

“Terkait pengalaman masyarakat Asia dengan korupsi, baik melalui penyuapan, penggunaan koneksi pribadi, paksaan seksual atau pembelian suara, hasilnya mengejutkan dan mengkhawatirkan, dan menyerukan untuk dilakukannya tindakan segera yang terkoordinasi,” demikian laporan kelompok pengawas penanggulangan korupsi itu.

Di Malaysia dan Indonesia, 71 persen dan 92 persen responden, masing-masing, mengatakan mereka menganggap korupsi pemerintah sebagai masalah utama.

Ditanya apakah warga bisa melakukan sesuatu untuk mengatasinya, 59 persen di Indonesia, 65 persen di Thailand, 68 persen di Malaysia, 78 persen di Filipina dan 82 persen di Bangladesh menjawab positif.

Ketahanan dan pandangan positif ini adalah kunci untuk setiap upaya anti-korupsi di masa depan dan dapat menjadi alat yang ampuh di tangan pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil yang memiliki pemikiran reformasi,” kata laporan itu.

‘Sextortion’

Transparency International mencatat bahwa warga negara di tiga negara - Indonesia, Thailand dan Malaysia - melaporkan tingkat pemerasan seksual atau “sextortion”  tertinggi dalam mengakses layanan pemerintah. Ini adalah dimana seseorang dipaksa untuk berhubungan seks atau menerima pelecehan seksual untuk mendapatkan layanan pemerintah.

Di Indonesia, 18 persen responden melaporkan bahwa mereka atau seseorang yang mereka kenal pernah mengalami bentuk pemerasan ini, sementara 15 persen di Thailand dan 12 persen di Malaysia juga melaporkan kecenderungan ini. Di Bangladesh dan Filipina, 9 persen melaporkan kasus serupa.

Laporan TI secara khusus membahas pemerasan seksual di Indonesia. Pada Maret lalu, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa hampir semua kasus kekerasan tersebut gagal dalam tahap penyidikan karena aparat penegak hukum kerap tidak berpihak pada perempuan korban.

“Dalam beberapa kasus, prosesnya transaksional, dengan otoritas penegak hukum menuntut pembayaran uang atau seks untuk menindaklanjuti kasus,” lapor TI.

Laporan tersebut mencatat kasus dua petugas di Malang, Jawa Timur, pada tahun 2016, dan seorang hakim Indonesia yang memeras orang secara seksual dan dihukum karena korupsi pada tahun 2009 dan 2010.

"Baru-baru ini, selama pandemi COVID-19, seorang perempuan penumpang maskapai penerbangan dipaksa untuk menerima pelecehan seksual oleh dokter di bandara untuk mendapatkan hasil tes COVID-19 dengan cepat," katanya, mencatat bahwa pemerasan seksual tidak ditangani dalam KUHP.

“Budaya diam yang kuat, ditambah dengan sulitnya membuktikan pemerasan seksual di pengadilan, menjadikan hal ini tantangan dalam pemberantasan korupsi. Yang juga meresahkan, Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak memiliki undang-undang pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual teradap perempuan.”

Kepala Divisi Humas Polri, Argo Yuwono, menolak klaim pemerasan seksual dalam laporan tersebut.

"Itu tidak benar. Tidak ada hal seperti itu, ”katanya kepada BenarNews, namun menolak berkomentar lebih lanjut atas temuan baru TI.

Sementara itu, direktur advokasi Organisasi Bantuan Perempuan Malaysia, menggambarkan sextortion sebagai contoh lain dari cakupan pelecehan seksual.

Yu Ren Chung meminta anggota parlemen Malaysia untuk membahas RUU pemberantasan kekerasan seksual, yang akan memastikan bahwa semua organisasi mengadopsi kebijakan pencegahan pelecehan seksual.

“RUU itu juga idealnya membentuk badan independen yang akan menyelidiki keluhan pelecehan seksual,” katanya kepada BenarNews. “Kesabaran rakyat semakin menipis dan pemerintah harus berhenti menunda undang-undang penting ini.”

Transparency International menawarkan nasihat ini tentang bagaimana pemerintah dapat memerangi pemerasan seperti itu: “Ambil langkah-langkah untuk mengurangi budaya mempermalukan dan menyalahkan korban yang membuat orang enggan melaporkan pelanggaran; memberdayakan lembaga antikorupsi dan sistem peradilan dengan alat yang tepat untuk menangani kasus sextortion; dan menciptakan mekanisme pelaporan yang aman, akuntabel, dapat diakses dan, yang terpenting, mekanisme pelaporan yang sensitif gender. ”

Penyuapan

Bagi banyak responden, penyuapan adalah bagian dari kehidupan, demikian temuan dari survei tersebut.

Di 17 negara tempat survei dilakukan, 1 dari 5 orang mengatakan mereka telah membayar suap untuk layanan publik selama tahun sebelumnya. Itu berarti ada 836 juta orang Asia yang membayar suap, kata laporan itu.

Ketika ditanya apakah mereka telah ditawari suap untuk mempengaruhi suara mereka, 28 persen orang Filipina dan Thailand menjawab ya, sementara 26 persen orang Indonesia juga mengiyakan.

Sementara 8 persen orang Bangladesh dan 7 persen orang Malaysia menjawab senada.

Ditanya apakah mereka pernah membayar suap untuk layanan publik pada tahun sebelumnya, 30 persen orang Indonesia, 24 persen orang Bangladesh dan Thailand, 19 persen orang Filipina dan 13 persen orang Malaysia menjawab ya.

Menanggapi pertanyaan tentang apakah responden pernah menggunakan koneksi pribadi untuk mendapatkan layanan publik, 15 persen orang Malaysia hingga 36 persen orang Indonesia mengatakan pernah.

Sumber dari Komisi Antikorupsi Malaysia mengatakan suap bisa dalam berbagai bentuk.

“Bisa dalam bentuk uang tunai, hadiah, bonus, suara, jasa (seperti seks), jabatan, gratifikasi, diskon, pinjaman, dan lain-lain,” kata sumber yang tidak mau disebutkan namanya karena tidak berwenang untuk berbicara dengan wartawan. "Pelaku dapat dituntut berdasarkan beberapa bagian di bawah Undang-Undang Komisi Anti-Korupsi Malaysia."

Melihat sisi positif

Menanggapi pertanyaan lain, hanya sekitar sepertiga dari responden di Thailand yang memberikan reaksi positif terhadap lembaga antikorupsi mereka, sementara negara lain seperti Indonesia dan Bangladesh melaporkan dukungan mereka pada agen anti rasuh mereka masing-masing dengan 67 persen dan 86 persen.

Di antara negara-negara anggota ASEAN, "Thailand paling buruk dalam kepercayaan warga negara atas seluruh lembaga negara, termasuk pemerintah, pengadilan dan polisi" kata laporan itu.

“Angka-angka suram ini menggambarkan kurangnya kepercayaan pada pemerintah dan memburuknya sistem integritas nasional serta lembaga-lembaga seperti polisi dan pengadilan yang seharusnya berada di garis depan dalam pemberantasan korupsi.”

Transparency International menyebut Global Corruption Barometer sebagai salah satu survei terbesar dan paling mendetail tentang pandangan warga pada korupsi dan penyuapan di 17 negara di Asia. Laporan TI mensurvei hampir 20.000 orang dari Maret 2019 hingga September 2020.

Karena pandemi COVID-19, sebagian besar wawancara dilakukan melalui telepon.

Nisha David di Kuala Lumpur dan Tia Asmara di Jakarta ikut berkontribusi untuk laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.