Dielukan Saat Pertandingan, Selebihnya Harus Terima Diskriminasi

Atlit bulutangkis legendaris keturunan Tionghoa yang dalam kehidupan mereka tidak terlepas dari diskriminasi, deklarasikan dukungan terhadap Pancasila.
Zahara Tiba
2017.06.01
Jakarta
170601_ID_ChineseBadminton_1000.jpg Para pebulutangkis legendaris Indonesia menyatakan dukungan pada Pancasila dalam jumpa pers di Jakarta, 1 Juni 2017.
Zahara Tiba/BeritaBenar

Tan Joe Hok tak kuasa membendung air matanya mengenang peristiwa tahun 1968, ketika dia terpaksa harus menyelamatkan istri dan kedua anaknya yang masih kecil ke luar negeri karena alasan keamanan.

Mereka mengungsi karena dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965, juga dikenal sebagai pemberontakan PKI, yang memburu warga keturunan seperti mereka. Selama empat tahun, mereka tinggal di Meksiko dan Hongkong.

Sebagai warga keturunan Tionghoa, Tan merasakan diskriminasi luar biasa, terutama saat dia harus berjuang mendapat bukti kewarganegaraan Indonesia bersama ribuan warga keturunan lain.

Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pun memaksanya mengganti nama aslinya.

“Saya dikumpulkan di Senayan bersama yang lain dan dikasih nama ‘Hendra’ oleh Pangdam Jaya saat itu,” ujar Tan dalam jumpa pers Komunitas Bulutangkis Indonesia dalam rangka peringatan Hari Lahir Pancasila di Jakarta, Kamis, 1 Juni 2017.

Karena nama Hendra dinilai terlalu umum, Tan pun menambahkan Kartanegara sebagai nama belakangnya.

Kejadian ini berbanding terbalik dengan peristiwa satu dekade sebelumnya, saat dia dan rekan atlet bulutangkis lain mengharumkan Indonesia dengan memboyong Piala Thomas pertama, tahun 1958.

“Dulu hebat, kita diarak. Tuh lihat, itu di Hayam Wuruk. Kita keliling Jakarta sampai ke Bandung, sampai kemanapun. Dari dulu kita juga sudah pakai Garuda di dada,” ujar Tan seraya menunjuk foto hitam putih di layar iPad-nya.

Di situ, terlihat Tan bersama beberapa rekannya gagah dengan ribuan warga yang menyambut mereka antusias berdiri di sepanjang jalan. Emblem Garuda menempel di dada kiri seragam para atlet.

Ketika menjalani masa pendidikan di Universitas Baylor, Texas, Amerika Serikat, Tan terpanggil untuk membela Indonesia di Piala Thomas tahun 1962. Berbekal uang sendiri, dia kembali dan terpaksa menunda kuliahnya.

“Ada kalanya ketika saya menjadi atlet bulutangkis Indonesia yang pertama kali mengibarkan Merah Putih di luar negeri. Ada kalanya ketika saya harus mengantri bersama yang lain untuk mendapatkan kewarganegaraan,” ujarnya, yang kembali mengusap air mata.

“Sedih saja, kok saya diginikan? Kenapa? Salah saya apa? Kenapa kita itu dianggap orang asing, padahal sebelum ada Indonesia nenek moyang saya ada disini?”

Tragedi 1998 kembali membuka luka lama Tan, dimana warga keturunan Tionghoa mendapat diskriminasi dan penjarahan terjadi di Jakarta. Tan kembali berniat mengungsikan keluarganya, namun anak perempuan menanggapi berbeda.

“Dia bilang kenapa kita harus pergi? Ini negeri kita. Kalau kita harus mati, kita mati di sini,” ujar Tan mengutip sang puteri.

Setelah itu, Tan berpendirian, “Kita harus cinta kepada Indonesia, ini negara kita bersama. Saya mengalami macam-macam, tapi sudah tidak apa-apa. Indonesia itu yang paling penting. Saya bangga jadi orang Indonesia”.

Pebulutangkis legendaris Indonesia, Tan Joe Hok, memperlihatkan fotonya saat memenangkan Piala Thomas tahun 1958 dalam jumpa pers di Jakarta, 1 Juni 2017. (Zahara Tiba/BeritaBenar)

Kisah Ivana Lie

Kisah serupa dialami Ivana Lie, mantan atlet bulutangkis putri yang membawa nama Indonesia di ajang Piala Uber tahun 1978 dan 1981, dimana tim putri Indonesia menduduki posisi runner-up.

Ivana mengaku selama 13 tahun berkarir sebagai atlet bulutangkis, enam tahun di antaranya membela Indonesia di luar negeri, tanpa kejelasan status kewarganegaraan Indonesia.

“Status saya kalau di Indonesia stateless, tanpa warga negara. Kalau ke luar negeri bertanding dikasih surat selembar kertas seperti paspor. Tetapi begitu di imigrasi, tanpa warga negara,” ujar Ivana kepada BeritaBenar.

Titik balik kejadian itu ketika Tim Uber diterima Presiden Soeharto di Istana Negara. Soeharto membuka tanya jawab dengan para atlet, ingin mendengar keluh kesah mereka.

“Saya bilang saya tidak punya KTP. Ditanya kenapa tidak punya KTP. Saya jawab karena untuk bikin KTP harus ada K1, surat yang mengatakan bahwa saya keturunan. Dia tertawa saja dan meminta Sekretariat Negara mengurus permintaan saya,” ujar Ivana.

Surat keterangan kewarganegaraan Indonesia pun dikantongi Ivana, akhir tahun 1982.

Komunitas Bulutangkis

Maraknya aksi bernuansa suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) belakangan membuat kedua atlet legendaris ini bergabung dengan para mantan atlet lain yang tergabung dalam Komunitas Bulutangkis Indonesia untuk mendeklarasikan dukungan terhadap Pancasila.

Dukungan ini dibacakan di hadapan para awak media dan penggemar bulutangkis lainnya.

“Kita mau mengingatkan pada momen hari Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sudah kita amalkan dan kita alami, karena kita Indonesia,” ujar Ivana.

“Semua antar-golongan bisa bersatu untuk kejayaan terutama bulutangkis di pentas dunia. Kita tetap mengibarkan bendera Merah Putih dari dulu sampai sekarang. Itu yang menguatkan kita untuk berbuat yang lebih baik untuk bangsa dan negara.”

Mereka menyayangkan dan menolak isu-isu SARA dijadikan alat meraih kepentingan karena membawa negara mundur. Perbedaan seharusnya menjadi kekuatan negara.

“Hari ini kita berkumpul untuk mendeklarasikan mendukung pemerintah saat ini dan Pancasila sebagai dasar negara. Karena kita Indonesia,” ujar Ricky Subagja, pebulutangkis legendaris yang berhasil mempersembahkan emas untuk Indonesia dalam Olimpiade 1996.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.