‘Semesta Yang Menyelamatkan Saya’: Kata Ayomi Yang Mengalami Gempa di Nepal

Oleh Arie Firdaus
2015.05.11
150511_ID_ARIE_AYOMI_EVACUATED_700.JPG Ayomi Amidoni (berbaju hitam) bersama anak-anak desa Lumbini, Nepal, 23 April 2015.
BeritaBenar

Ayomi Amindoni, warga Indonesia asal Yogyakarta, sedang berkunjung ke Lumbini, Nepal sebagai turis ketika terjadi gempa bumi yang telah menewaskan lebih dari 8000 orang.

Hari itu hujan gerimis di Lumbini, tanggal 25 April. Ayomi (30) mengurungkan niat berkeliling di tempat kelahiran Siddharta Gautama.

Ayomi mengisi waktu dengan beristirahat di kamarnya di lantai dua Peace Lodge, penginapan di kawasan Lumbini Bazaar.

Belum lama membaringkan badan, sebuah goncangan tiba-tiba membangunkannya. Ayomi tak serta-merta panik. Sebabnya, ia menduga getaran itu dipicu vertigo yang ia derita.

"Saya memang sering merasa lingkungan di sekitar saya bergoyang-goyang," kata Ayomi kepada BeritaBenar.

Ia baru menyadari bahwa getaran tersebut berasal dari gempa setelah keluar dari kamar dan diberitahu seorang petugas penginapan yang terburu-buru meninggalkan bangunan.

"Ia bilang ada gempa. Baru kemudian saya keluar perlahan-lahan," ujarnya lagi.

Warga Panik

Ayomi tidak panik saat keluar dari bangunan lantaran pernah beberapa kali merasakan gempa di Indonesia. Lagipula, ditambahkan Ayomi, getaran yang ia rasakan ketika itu tak cukup kuat.

"Sekitar tiga menit," katanya.

"Yang cenderung panik justru warga lokal. Mungkin karena mereka belum pernah merasakan gempa. Terakhir kali gempa di Nepal, kan, sudah lama," lanjut Ayomi yang mengunjungi Nepal sejak tanggal 20 April.

Menurut Ayomi, kepanikan warga lokal terlihat saat mereka terbirit-birit keluar dari rumah sembari berteriak-teriak.

Kepanikan mereda seiring getaran yang menghilang. Perlahan-perlahan, semua orang yang tadinya berada di luar kembali ke dalam bangunan.

Ayomi sendiri memilih untuk memesan makanan di restoran yang berada di lantai dasar penginapannya.

Namun belum lama berada di dalam restoran, getaran kembali terasa. "Kali ini lebih kuat dan lama. Sekitar empat menit," ujar Ayomi.

Suasana gaduh pun kembali muncul. Dan seperti getaran pertama, kegaduhan bersumber dari warga lokal Lumbini.

Ayomi berkeliling desa Lumbini usai gempa, tak ada bangunan yang roboh atau ambruk.

"Namun dinding di penginapan saya retak," ujar perempuan asal Yogyakarta ini.

Lumbini memang berjarak cukup jauh – sekitar enam jam perjalanan darat – dari pusat gempa yang terletak di antara Kathmandu dan Pokhara.

Walhasil, kata Ayomi, meski gempa tercatat sebesar 7,8 skala Richter, bangunan di Lumbini tetap berdiri tegak.

Merubah rute perjalanan

Ayomi sendiri bersyukur selamat dari gempa. Ia semestinya berada di Pokhara pada hari saat terjadi gempa.

Namun ia mengubah rencana sehingga akhirnya berada di Lumbini. "Saya memutuskan pergi ke Lumbini karena ingin merayakan ulang tahun di kota kelahiran Buddha," katanya, sambal tersenyum.

"Semesta menyelamatkan saya," katanya.

Pokhara rusak parah akibat gempa. Banyak bangunan ambruk dan rata dengan tanah. Tak mengherankan, rasa trauma pun muncul.

Menuju ke Pokhara tanggal pada 27 April, dua hari setelah gempa, banyak penduduk Pokhara yang mendirikan tenda di luar rumah akibat takut gempa susulan datang.

Tak lama usai mencapai di Pokhara, Ayomi melanjutkan perjalanan ke Kathmandu tanggal 30 April.

Kondisi Kathmandu tak berbeda jauh dibanding Pokhara, menyedihkan dengan banyaknya korban jiwa serta bangunan yang rata dengan tanah, cerita Ayomi.

Ayomi memutuskan menjadi relawan sembari menunggu kepulangan ke Jakarta. Ia pun bergabung dengan beberapa organisasi non-profit asal Indonesia yang sudah mencapai di Nepal.

Bersama organisasi-organisasi ini, ia mendistribukan bantuan kepada penduduk lokal. Salah satu tujuan lokasi bantuan yang diingatnya adalah Satungal, desa yang terletak di sisi barat Kathmandu. Satu jam perjalanan darat dari ibu kota Nepal tersebut.

Ayomi kemudian berhasil mengontak petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia di Nepal. Tak lama, ia pun diminta bergabung bersama warga Indonesia lain di sebuah hotel di Kathmandu.

Hingga akhirnya dipulangkan bersama 25 orang lainnya menggunakan pesawat Angkatan Udara Republik Indonesia pada 6 Mei lalu.

"Banyak sebenarnya warga Indonesia yang memilih bertahan di Nepal. Tapi pemerintah bersikeras memulangkan semuanya," kata Ayomi.

Kini, Ayomi sudah berada di Jakarta dan beraktivitas normal. Namun ia mengaku tak kapok untuk kembali ke Nepal. Pun mewujudkan hasrat mendaki Himalaya. Meski kawasan pegunungan itu terkena dampak cukup parah usai gempa lalu.

"Suatu saat nanti, saya ingin kembali ke Nepal."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.