Ba’asyir Bantah Terlibat Bom Bali, Mengaku Tidak Setuju Kekerasan
2021.02.18
Sukoharjo, Jawa Tengah
Abu Bakar Ba’asyir, ulama yang Januari lalu dibebaskan setelah mendekam di penjara terkait dakwaan membantu pendanaan terorisme, membantah bahwa ia terlibat serangan bom Bali tahun 2002 atau mendukung kekerasan atas nama Islam, dalam pertemuannya dengan pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kamis (18/2) di tempat tinggalnya di Sukoharjo, Jawa Tengah.
Pengacara Ba’asyir, Achmad Michdan, mengatakan Ba’asyir mengaku dia tidak pernah setuju dengan segala tindak kekerasan mengatasnamakan Islam.
“Ngapain takut? Saya nggak akan ngebom, saya nggak akan pernah ngebom,” kata Michdan, mengutip Ba’asyir dalam percapakan dengan pejabat BNPT.
Michdan mengatakan Ba’asyir menyesalkan peristiwa bom Bali yang menurutnya terjadi tanpa sepengetahuannya dan mengaku saat itu murid-muridnya tidak memberitahunya dan tidak meminta ijin kepadanya.
“Bom Bali itu terus terang saja, kalau dia lapor atau saya tahu pasti saya larang,” ujar Ba’asyir seperti dikutip Michdan.
Ba’asyir, salah seorang pendiri Jemaah Islamiyah (JI), jaringan al-Qaeda untuk Asia Tenggara yang disinyalir berada dibalik sejumlah serangan terorisme di Indonesia pada dekade 2000-an.
JI disebut melakukan serangan bom Bali pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 202 orang - kebanyakan orang asing, termasuk 88 warga Australia.
Menerima berita pembebasan Ba’asyir pada Januari lalu, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengungkapkan kekecewaannya, namun mengatakan negaranya harus menghormati keputusan peradilan Indonesia. "Ini adalah kabar yang sangat menyedihkan bagi handai taulan dari 88 orang Australia yang tewas dalam pemboman Bali tahun 2002. Saya masih ingat dengan sangat jelas apa yang terjadi saat itu, seperti juga saya yakin banyak orang Australia lainnya,” ujarnya, dalam sebuah rilis resmi.
Warga Australia menyebut Bashir sebagai dalang bom Bali itu, bahkan ketika Departemen Kehakiman AS mencatat pada 2005 bahwa ia dibebaskan dari tuduhan terorisme terkait serangan itu. Meskipun jaksa tidak dapat mengaitkannya dengan aksi teror pemboman tersebut, pengadilan di Jakarta memutuskan dia bersalah karena memalsukan dokumen identitas dirinya dan menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara. Hukuman itu dibatalkan setelah banding.
Pada tahun 2010 dia ditangkap karena keterlibatannya dalam pendanaan kamp pelatihan militan di Aceh serta menghasut para ekstremis untuk melakukan serangan teroris dan dijatuhi 15 tahun penjara pada tahun 2011.
Pancasila ‘sudah benar’
Dalam pertemuan selama sekitar sejam di Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, dengan perwakilan BNPT, termasuk Direktur Deradikalisasi Irfan Idris, Ba’asyir ditanya pendapatnya tentang Pancasila dan menjawab bahwa dasar negara itu “sudah benar.”
“Pancasila itu banyak mengambil dari tauhid, Ketuhanan yang Maha Esa. Akan lebih baik kalau hukumnya juga hukum Tuhan, hukum Islam," kata Ba’asyir (82).
Ba’asyir menolak untuk mengikuti program deradikalisasi selama berada di dalam penjara. Selain itu, dia juga tidak mau menandatangani surat pernyataan setia kepada Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Tidak ada paksaan untuk menerima program deradikalisasi, tetapi membina mereka adalah tugas kita. Maka salah satu cara kita adalah dengan silaturahmi, memantau mereka. Kalau mereka mau menerima kita saja itu sudah baik,” ujar Kasubdit Bina Masyarakat Direktorat Deradikalisasi BNPT Kol. Solahudin Nasution, yang turut serta dalam rombongan yang berkunjung ke tempat Ba’asyir.
Nasution mengatakan pertemuan itu merupakan bagian dari pengawasan terhadap mantan napi.
“BNPT sebagai badan yang bertugas melakukan koordinasi dengan badan dan lembaga terkait mengemban amanah untuk membina para mantan napi terorisme yang bebas bersyarat maupun bebas murni seperti Ba’asyir,” ujarnya.
Michdan mengatakan Ba’asyir telah merencanakan untuk mengunjungi BNPT dan bertemu dengan pimpinannya, Boy Rafli Amar, untuk menyampaikan masukan secara langsung terkait penanganan dan penanggulangan terorisme di Indonesia.
Irfan mengatakan rencana tersebut ditanggapi langsung dengan berkunjung ke Ngruki.
“Beliau merencanakan juga kalau ada waktu mau ke BNPT dan Pak Kepala telah membuka pintu pada kunjungan bahwasanya kita di kantor terbuka lebar untuk silaturahmi,” ujar Irfan Idris usai pertemuan.
Bertemu tokoh dan ulama
Dalam waktu dekat, Ba’asyir akan menemui tokoh-tokoh agama di Solo dan sekitarnya untuk berdiskusi sekaligus bersilaturahmi yang telah terputus selama belasan tahun, kata putra kedua Ba’asyir, Abdul Rohim.
Rohim mengatakan saat ini pemikiran ayahnya sudah tidak sekeras dulu lagi, terutama terkait Islamic State, atau ISIS. Dari tamu-tamu yang datang mengunjungi ayahnya sejak dia bebas, Rohim menyatakan bahwa sebagian besar adalah alumni Ponpes dan tokoh masyarakat, belum ada tamu dari kalangan berpemikiran keras atau radikal.
Rohim mengatakan ini sesuai dengan komitmen keluarga untuk menjauhkan Ba’asyir dari pengaruh radikalisme.
Ba’asyir bersedia dan banyak melakukan diskusi, baik secara internal dengan keluarga maupun dengan tokoh-tokoh, menurut Rohim, Ba’asyir kini sudah tahu bahwa informasi yang dulu masuk padanya hingga membuatnya mendukung ISIS adalah tidak benar.
“Seperti yang selalu kita katakan, Ustaz Abu ini lebih pada korban informasi (disinformasi),” ujar Rohim.
Pada tahun 2014 sempat beredar foto Ba’asyir yang saat itu berada di Lapas Pasir Putih duduk dengan latar belakang bendera ISIS bersama para tokoh ISIS seperti Abu Husna dan Abu Yusuf yang saat itu juga sedang dipenjara. Diyakini, Ba’asyir saat itu telah berbaiat kepada ISIS.
Minggu lalu, Basyir ditemani putra pertamanya, Abdul Rosyid, berkunjung ke Pondok Pesantren Gontor dan Tebuireng di Jombang, Jawa Timur, dua ponpres yang dikenal moderat.
“Ini bisa dikatakan bagian dari itu (menjauhkan dari ISIS) tetapi lebih dari itu, ini untuk menyambung tali silaturahmi yang telah lama terputus,” ujar Rohim.
Di Gontor, Ba’asyir menemui para pengurus ponpres Gontor dan Tebuireng sekaligus berziarah ke makam tokoh-tokoh ulama di sana.
Ba’asyir merupakan santri alumni Gontor Jombang karena memang dia berasal dari Jombang sebelum hijrah ke Malaysia.
Humas Tebuireng, Teuku Azwani, mengonfirmasi bahwa kedatangan Ba’asyir adalah untuk bertemu dengan pengurus pesantren.
Ba’asyir ditemui langsung oleh pimpinan pondok, Abdul Hakim Mahfudz, dan berziarah ke makam ulama-ulama, kata Azwani.
Pengamat terorisme dari Universitas Malikussaleh, Al Chaedar, melihat bahwa tidak ada indikasi yang berbahaya terkait kunjungan Ba’asyir ke berbagai pondok ini.
“Dia hanya bersilaturahmi saja. Beliau sudah tua, dan dia ingin mengunjungi sekolahnya jaman dahulu dan teman-temannya. Atau seperti yang dikatakan putranya saat pembebasan dulu, ABB (Abu Bakar Ba’asyir) akan dijauhkan dari kaum Khawarij beraliran takfiri seperti ISIS,” ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Taufiqurrohman peneliti dari PAKAR melihat apa yang dilakukan Ba’asyir merupakan strategi baru untuk mengkomunikasikan ideologinya.
Menurut Taufiqurrahman, Ba’asyir masih tetap menginginkan terbentuknya daulah atau negara Islam, namun tidak lagi meyakini melakukannya dengan cara kekerasan. Hal itu didasarkan dari dakwah yang dilakukan oleh Ba’asyir di hadapan para pengikutnya pada pertengahan Januari lalu.
Saat itu Ba’asyir menyampaikan pentingnya penegakan syariat Islam, persatuan Muslim dan juga jihad tanpa menggunakan kekerasan atau perang tetapi melalui dakwah.
“Seluruh dunia itu umat Islam harus bersatu di bawah satu pimpinan yaitu Kholifah. Tidak boleh ada ormas-ormas, ga boleh ada partai-partai, bersatu,” ucap Ba’asyir dalam dakwahnya tersebut.
Dari dakwah tersebut, Taufiqurrahman juga menyimpulkan bahwa Ba’asyir sudah tidak percaya lagi bahwa ISIS adalah daulah Islam. Hal itu menurutnya terlihat dari jawaban Baasyir kepada salah seorang penanya tentang ISIS sebagai daulah Islam. Ba’asyir diantaranya menjawab bahwa belum ada daulah Islam di di dunia.
“Saya rasa dia berkeliling untuk mengajak umat Muslim bersatu atau berdaulah,” ujar Taufiqurrahman.