‘Jembatan Cinta’ di Bali Renggut Delapan Nyawa
2016.10.17
Nusa Lembongan
Air mata menggenang di pelupuk mata Wayan Suryadipta. Sambil duduk, dia sesekali terisak. Saudara iparnya merangkul bapak tiga anak itu.
Puluhan tamu berpakaian adat memenuhi rumahnya di Desa Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Bali, Senin siang, 17 Oktober 2016.
Mereka lebih banyak diam. Wajah-wajah tampak murung. Sebagian tamu perempuan juga turut menangis.
Duduk di beranda rumah, dua anak Suryadipta, Ni Putu Indah Suryadewi dan Ni Made Cahyani. Mereka tak berhenti menangis, bahkan sesekali berteriak histeris.
Keluarga Suryadipta tengah berduka. Istri dan anak bungsunya, Ni Ketut Werni dan I Putu Surya Wiratama, meninggal kurang dari 24 jam sebelumnya. Keduanya termasuk dua dari delapan korban tewas akibat jembatan ambruk di Nusa Lembongan.
Jembatan kuning, sebagaimana warnanya, kadang disebut Jembatan Cinta. Nama Jembatan Cinta sebenarnya mengandung ironi.
Istilah di kalangan anak muda mengacu pada kondisi jembatan yang sering bergoyang ketika dilewati. Selain menjadi tempat pacaran, jembatan itu juga sering digunakan foto-foto menjelang pernikahan.
Minggu petang 16 Oktober 2016, jembatan itu yang membawa petaka bagi warga Nusa Lembongan, termasuk keluarga Suryadipta. Jembatan Cinta putus.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Bali, ada delapan korban tewas dan 34 luka-luka. Semua korban berasal dari Desa Jungutbatu dan Lembongan. Kedua desa ini berada di pulau yang sama, Nusa Lembongan.
Sudah tua
Jembatan Cinta menghubungkan Nusa Lembongan dan Nusa Ceningan, pulau lebih kecil di sisi timur. Panjangnya sekitar 100 meter. Lebar tak lebih dari 2 meter. Namun, itulah satu-satunya penghubung antara dua pulau yang mengandalkan pariwisata tersebut.
Begitu pula pada Minggu sore. Ribuan warga Hindu yang sedang melaksanakan upacara persembahyangan (piodalan) di Pura Bakung Nusa Ceningan melewati jembatan yang sudah tua. Daya tahannya juga terbatas.
“Saya sudah kasih tahu istri agar tidak ke sana karena jembatannya sudah rusak. Feeling saya mereka tidak ke sana karena sudah saya kasih tahu. Ternyata mereka malah jadi korban,” Suryadipta bercerita sambil menahan isaknya.
Pegawai Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Klungkung ini mengaku tiap Jumat dia melewati jembatan tersebut untuk pekerjaannya, sehingga dia tahu pasti bagaimana kondisi jembatan tersebut.
Makanya, dia melarang istrinya yang akan pergi ke Nusa Ceningan melewati jembatan tersebut. Namun, ketika dia pergi dari pukul 1 hingga 5 sore, ternyata istri dan si bungsu jalan-jalan ke Nusa Ceningan, sekaligus pergi meninggalkan keluarga untuk selamanya.
“Firasat saya sudah tidak bagus. Saya seperti mencium bau amis darah ketika baru lewat sana. Tidak menyangka ipar saya jadi korban,” kata Ni Made Siti, saudara ipar Werni.
Siti juga bersembahyang bersama suaminya, Komang Ata. Saat menyeberang, ia sempat berpapasan dengan Surya dan Werni. Begitu tiba di Nusa Ceningan, ia mendengar suara jembatan rubuh tersebut.
Siti memperkirakan ada sekitar 75 orang di atas jembatan saat itu. Padahal, berdasarkan imbauan Pemerintah Desa Lembongan kapasitas maksimal hanya 15 orang.
Di tiap pintu masuk jembatan sudah ada imbauan bahwa sepeda motor yang melintas maksimal dua. Nyatanya, saat kejadian ditemukan 17 sepeda motor yang jatuh.
Seorang tukang perahu melewati jembatan ambruk di Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Bali, 17 Oktober 2016. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Kepala Desa Lembongan, I Ketut Gede Arjaya, mengatakan bangunan berupa jembatan gantung itu dibangun sejak 1994. Selama kurun waktu itu, jembatan mengalami beberapa perbaikan.
“Perbaikan terakhir enam bulan lalu dengan pemeliharaan dan pengencangan baut,” katanya.
Dalam rangkaian upacara adat di Nusa Ceningan, sebenarnya sudah ada pembatasan. Petugas keamanan desa adat (pecalang), polisi, dan babinsa sudah membatasi jumlah orang yang lewat.
Namun, kata Arjaya, saat kejadian memang sudah tidak ada lagi petugas karena sudah petang. Saat itulah, pengunjung yang lewat membludak melebihi kapasitas maksimal.
Ni Ketut Wirati, korban selamat namun kehilangan dua anaknya, Putu Putri Krisnadewi dan Ni Kadek Mustika, mengatakan saat kejadian jalan macet karena saking banyaknya orang.
“Kami stuck berhenti di tengah karena tidak bisa jalan ketika jembatan kemudian rubuh,” ujarnya.
Tanggung jawab pemerintah
Para korban mengatakan pemerintah menjadi pihak paling bertanggung jawab atas insiden tersebut.
“Pemkab (pemerintah kabupaten) Klungkung yang paling bertanggung jawab terhadap ambruknya jembatan,” kata Suryadipta, ketika ditanya siapa yang harus bertanggung jawab.
Namun Bupati Klungkung, I Nyoman Suwirta, mengatakan perbaikan jembatan tersebut merupakan tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali.
“(Jembatan) itu aset provinsi tapi sudah cukup lama belum dievaluasi total,” katanya.
Suwirta menambahkan pihaknya sudah sering melakukan perbaikan karena kondisinya sudah memprihatinkan.
Pemkab juga sudah mengajukan permintaan ke Kementerian Pekerjaan Umum. Pada 11 Oktober 2016 lalu, dia sudah turun ke lapangan untuk memeriksa persiapan perbaikan tersebut.
Menurut Suwirta, anggaran pembangunan jembatan permanen, bukan gantung seperti yang sudah ada, kira-kira Rp 60 miliar. Namun, tahun ini anggaran belum juga turun.
“Mari kita ambil hikmah atas musibah ini. Kami akan dorong perbaikan lebih cepat lagi karena ini berdampak luar biasa secara sosial maupun ekonomi warga,” katanya.