Banda, yang Menawan yang Terlupakan

Salah satu pulau di wilayah yang tergolong daerah tertinggal ini, pada zaman kolonial dibarter dengan Manhattan.
Zahara Tiba
2017.08.07
Jakarta
170807_ID_Banda_1000.jpg Aktor Reza Rahadian (kiri) dan sutradara Jay Subyakto usai pemutaran perdana film 'Banda: The Dark Forgotten Trail' di Jakarta, 31 Juli 2017.
Olan/BeritaBenar

Tak banyak publik Indonesia tahu satu pulau di gugusan Kepulauan Banda pernah begitu menarik dibandingkan Manhattan, New York.

Ekspansi dagang Belanda dan Inggris yang menggila berujung pada perselisihan keduanya dalam memperebutkan pulau itu pada abad ke-16, dimana rempah-rempah seperti pala dan cengkeh lebih mahal daripada emas.

Demi mengakhiri perselisihan itu, kedua pihak menandatangani Traktat Breda (The Treaty of Breda) pada 31 Juli 1667, yang menyetujui Inggris untuk mengambil kekuasaan Belanda atas New Amsterdam, sekarang dikenal sebagai Manhattan, dan Belanda memonopoli perdagangan pala dengan mengambil alih Pulau Run, di Kepulauan Banda.

Di Indonesia, peringatan 350 tahun Traktat Breda tak banyak digelar. Satu dari sedikit pihak adalah sutradara Jay Subyakto yang merilis film dokumenter, Banda: The Dark Forgotten Trail, yang mencoba menelusuri jejak kelam sejarah bangsa Indonesia.

“Permulaan perebutan bangsa Eropa di Indonesia sampai kolonialisme pertama kali terjadi di sana. Itulah genosida pertama kali terjadi di Indonesia,” tutur Jay kepada BeritaBenar di Jakarta, Sabtu, 5 Agustus 2017.

Menurutnya, perbudakan sampai kapitalisme pertama kali dipraktikkan di Indonesia terjadi di Kepulauan Banda.

Tahun 1936 hingga 1942, founding fathers Indonesia, Muhammad Hatta dan Sutan Syahrir, sempat dibuang Belanda di Banda.

“Sampai hari ini ketika pulau Run di peta dunia tak ada, tidak ada orang yang tahu. Bahkan walau saya sebut Banda saja, orang tidak tahu itu dimana. Buah pala juga (banyak yang tidak tahu itu) apa,” ujar Jay.

“Itu yang saya coba gambarkan. Kenapa tidak pernah diajar di sekolah kenapa kita dijajah karena rempah-rempah. Tidak pernah tahu intinya. Kenapa bisa selama itu tidak pernah diceritakan.”

Alasan Personal

Jay mengaku alasan personal juga yang kemudian membuatnya merasa terpanggil kembali turun gunung dalam dunia perfilman.

“Saya ditawari (menggarap film ini) awal tahun 2016. Setahun sebelumnya, saya dan teman-teman memang pergi ke Banda Neira untuk mempelajari (sejarah di sana),” jelasnya.

“Kebetulan paman saya Muhammad Hatta (Wakil Presiden pertama Indonesia yang juga sang proklamator bersama Soekarno). Jadi saya dulu sering diceritakan, dikasih tahu surat-surat yang dia tulis di Banda Neira. Film ini menggambarkan cerita-cerita (Bung Hatta) yang sangat personal, yang mungkin orang belum tahu banyak.”

Jay mengaku tidak khawatir jika filmnya tidak akan sesukses karya-karyanya sebelumnya.

“Jarang banget perusahaan film mau membuat film dokumenter. Di Indonesia itu dianggap sukses kalau hanya dari capaian penonton, bukan dari kualitas. Padahal dari zaman dahulu pemerintah selalu bilang film yang mendidik. Tapi tidak pernah ada film yang mendidik,” ujarnya.

Hal ini yang membuat Jay awalnya ragu menggarap film yang diproduksi LifeLike Picture.

“Buat saya aneh ada orang yang mau menawarkan saya (menggarap) dokumenter. Apa bisa ini masuk bioskop? Akhirnya setelah saya berembuk, saya bilang ini harus masuk bioskop,” katanya

Dia juga menyarankan agar film tersebut dipromosikan dengan benar, walau nanti jumlah penontonnya sedikit. Selain itu, harus diikutsertakan ke festival-festival setelah turun dari bioskop.

“Harus ada gerilya ke sekolah-sekolah,” ujarnya.

Berpengaruh bagi dunia

Wim Manuhutu, Direktur Museum Maluku di Utrecth, Belanda, mengatakan Traktat Breda adalah gambaran tentang politik Eropa telah berpengaruh bagi dunia, termasuk Indonesia.

“Di Asia, politik Eropa berpengaruh terhadap tempat-tempat terpencil seperti Pulau Run. Namun jika kita pergi ke Run sekarang, sulit dibayangkan bahwa pulau ini pernah jadi bagian berpengaruh dalam politik Eropa,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Pentingnya Banda di mata Belanda ditandai dengan dibangunnya 12 benteng pertahanan di sana.

“Ini artinya Banda sebagai pusat penghasil pala merupakan daerah yang amat penting bagi VOC (Perusahaan Dagang Belanda),” katanya yang menyebutkan bahwa saat ini, Banda jauh tertinggal dalam pembangunan.

“Saya pikir tidak banyak orang tahu. Popularitas Banda mulai jatuh sejak harga pala jatuh dan banyaknya inovasi yang dikembangkan untuk membudidayakan pala di luar negeri,” ujar Manuhutu yang juga tampil di film dokumenter tersebut.

“Bahkan jika anda orang Jakarta pun, Anda pasti berpikir lagi untuk apa jauh-jauh ke sana, apalagi tempat itu tidak berarti apa-apa. Padahal tempat itu kaya sejarah. Seringkali suatu tempat kehilangan arti karena sejarah terlupakan.”

Usman Thalib, sejarawan dari Universitas Patimura, Maluku, mengatakan perdagangan rempah yang maju di Kepulauan Banda, merupakan awal akulturasi budaya di Indonesia. Banyak pedagang dan budak yang lantas bermukim dan membangun koloni di sana.

“Perkawinan campuran tak terelakkan. Di Banda inilah Bung Hatta dan Sjahrir mengatakan, ‘Orang-orang Banda adalah orang-orang Indonesia sebenarnya’,” ujar Usman.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.