Aktivis Kecam Hakim PT Medan Karena Tolak Banding Meliana

Organisasi HAM mengatakan citra Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang toleran pudar dengan kasus-kasus seperti ini.
Rina Chadijah
2018.10.26
Jakarta
181026_ID_Meliana_1000.jpg Penyanyi Melanie Subono saat tampil dalam acara malam Solidaritas untuk Meliana di Jakarta, 12 September 2018.
Rina Chadijah/BeritaBenar

Sejumlah aktivis hak asasi manusia (HAM) mengecam keputusan hakim Pengadilan Tinggi (PT) Medan di Sumatera Utara yang menolak permohonan banding Meliana, perempuan etnis Tionghoa beragama Buddha yang dihukum 1 1/2 tahun penjara karena memprotes volume suara azan.

Sementara kuasa hukum Meliana berencana menempuh jalur hukum selanjutnya yaitu kasasi ke Mahkamah Agung.

Anggara, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai hakim PT tidak cermat dan kurang hati-hati dalam memeriksa unsur-unsur dalam pasal penodaan agama, sebagaimana tertuang dalam pasal 156A huruf a KUH Pidana.

“Pengadilan Tinggi tidak menerapkan asas pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus Meliana,” katannya kepada BeritaBenar, Jumat, 26 Oktober 2018.

Sehari sebelumnya, Humas PT Medan, Adi Sutrisno, menyatakan majelis hakim yang diketuai Daliun Salian memutuskan terdakwa Meiliana terbukti dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Hakim PT Medan menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, PN Medan dengan menjatuhkan pidana 1 tahun dan 6 bulan pidana penjara, katanya.

Pada pertengahan 2016 Meliana mengeluh kepada tetangganya terkait volume pengeras suara masjid di kawasan kediamannya.

Protes volume suara azan yang dilakukan Meliana tersebut memicu pembakaran dan perusakan Vihara oleh sejumlah warga Muslim di Tanjung Balai.

Delapan pelaku pembakaran dan perusakan Vihara kemudian dihukum antara satu hingga dua bulan penjara.

Sedangkan Meliana yang perkaranya dilaporkan pada Desember 2016 itu oleh PN Medan dijatuhkan putusan pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan pada 21 Agustus 2018.

Anggara mengkritisi unsur dengan sengaja yang tidak diperhatikan oleh majelis hakim. Apalagi, menurutnya, berdasarkan keterangan para saksi, Meliana hanya menyampaikan keluhannya terkait suara azan yang dirasakan mengganggu.

“Menurut ICJR itu bukan merupakan pernyataan yang dengan sengaja disampaikan untuk memunculkan rasa permusuhan terhadap suatu agama tertentu,” ujarnya.

IJCR juga mengkritisi pengunaan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tanjung Balai, Sumatera Utara, yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim.

Padahal kata dia, Fatwa MUI hanya bersifat mengikat bagi kelompok orang tertentu, dan bukan merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang mengikat.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, juga menyayangkan ditolaknya banding Meliana.

Menurutnya, pengadilan seolah khawatir dengan tekanan massa, sehingga tidak berani menggali kelemahan dari putusan Pengadilan Negeri Medan.

“Majelis hakim pengadilan tinggi seperti mengabaikan fakta-fakta bahwa Ibu Meliana tidak bermaksud untuk menimbulkan kemarahan maupun menodai agama. Seolah hakim hanya berada di bawah tekanan,” ujarnya saat dihubungi.

Senada dengan Usman, aktivis Human Rights Watch, Andreas Harsono mengatakan, kasus-kasus penodaan agama dan sejumlah diskriminasi terhadap kelompok minoritas telah menurunkan reputasi Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang toleran.

“Negara-negara yang mendukung kebebasan beragama harus terus menekan Indonesia untuk mencabut undang-undang dan mengirim diplomat dan pemimpin politik mereka untuk mengunjungi tahanan seperti Meliana dan Ahok,” katanya, merujuk pada undang-undang yang bias dan membelenggu kebebasan berpendapat.

Keterangan saksi

Majelis hakim PT Medan yang diketuai Daliun Salian menyatakan Meliana terbukti melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama.

Hal itu didasarkan atas keterangan para saksi dan ahli sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Negeri Medan.

Salah satu keterangan yang menjadi pertimbangan misalnya saksi yang mendeskripsikan Meliana memprotes suara azan dengan nada suara yang tinggi sambil mengacung-acungkan jarinya.

Majelis hakim juga memasukkan beberapa surat keberatan yang dikirimkan sejumlah lembaga peduli HAM dalam salinan putusannya.

Namun hal itu tidak menjadi bahan pertimbangan hakim, karena tidak disampaikan dalam persidangan tingkat pertama.

Selain itu para hakim PT Medan juga menolak permohonan penasehat hukum Meliana yang meminta agar terdakwa mendapatkan penangguhan penahanan.

Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan Meliana tetap ditahan, dan masa kurungannya dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

Pertimbangkan kasasi

Hingga Jumat petang, Meliana belum menerima salinan putusan dari PT Medan. Pihak kuasa hukumnya mengaku masih akan berkonsultasi dengan Meliana dan keluarga untuk menempuh upaya hukum lanjutan.

Seorang pengacara Meliana, Verianto Sito, mengatakan dalam waktu dekat pihaknya akan mengunjungi Meliana yang mendekam di Rumah Tahanan Tanjung Gusta Medan, untuk mendapatkan pesetujuan dari Meliana, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

“Harapannya bisa kasasi, tetapi tentu itu harus menunggu keputusan dari Ibu Meliana sendiri dan juga keluarga. Kita masih mendiskusikan dengan teman-teman untuk upaya hukum selanjutnya,” katanya saat dhubungi BeritaBenar.

Selain upaya kasasi, Kata Verianto, pihaknya juga sedang menyusun upaya advokasi lanjutan, dan menyiapkan bukti-bukti dan keterangan ahli yang dapat menyampaikan pandangannya secara jernih atas kasus yang menimpa Meliana.

Kata dia, pihaknya tetap berupaya mencari keadilan agar Meliana bisa bebas dari segala tuntutan.

“Kita terus menggalang dukungan agar kasus ini menjadi perhatian karena Ibu Meliana adalah korban pasal diskriminasi. Kita berharap Mahkamah Agung nanti dapat memutus bebas Ibu Meliana,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.