Pemimpin Separatis Papua Ajak Presiden Jokowi Berdialog

Indonesia sebut klaim Wenda atas pemerintahan di Papua Barat ilegal.
Ronna Nirmala
2020.12.04
Jakarta
Pemimpin Separatis Papua Ajak Presiden Jokowi Berdialog Aktivis Papua melakukan unjuk rasa di Surabaya, 1 Desember 2020, menandai peringatan berdirinya pergerakan Organisasi Papua Merdeka.
AFP

Pemimpin kelompok separatis Papua dalam pengasingan, Benny Wenda, Jumat (4/12) menyatakan bersedia bertemu dengan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan membahas referendum di provinsi Indonesia paling timur, beberapa hari setelah dia mendeklarasikan apa yang diklaimnya sebagai “pemerintah sementara Papua Barat”.

Wenda, pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), menyebut dialog dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik serta mengakhiri darurat militer di Papua. 

“Saya siap untuk duduk bersama Presiden Widodo, negara dengan negara, dan menyetujui proses mengakhiri konflik ini untuk selamanya, melalui mekanisme mediasi internasional,” kata Wenda dalam pernyataannya, yang diterima Jumat. 

“Rakyat Papua Barat harus menentukan. Kami bersedia bekerja sama untuk persiapan referendum kemerdekaan,” lanjut Wenda. 

ULMWP pada Selasa lalu mendeklarasikan Wenda sebagai presiden untuk pemerintah sementara di Papua. Wenda yang saat ini tinggal di Inggris juga berjanji bakal segera mengumumkan kabinet untuk pemerintahannya tersebut. 

Dalam pernyataannya, Wenda turut mendesak pemerintah Indonesia dalam memberikan akses kepada Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk urusan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk datang ke Papua dan menyelidiki dugaan-dugaan pelanggaran kemanusiaan di sana. 

“Presiden harus menghentikan darurat militer di Papua Barat dan duduk bersama untuk berdialog,” tukasnya.

Kantor kepresidenan tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar tentang tawaran terbaru Wenda.

Indonesia: Wenda melawan hukum

Sehari sebelumnya, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan HAM Jaleswari Pramodawardhani telah mengatakan bahwa pemerintah tidak akan merespons Wenda karena dia tidak memiliki dasar hukum. 

“ULMWP bahkan tidak memenuhi kriteria sebagai belligerent (pihak yang perperang) dalam kerangka hukum humaniter internasional,” kata Jaleswari, merujuk pada pihak bersengketa yang telah mendapatkan status hukum sehingga memiliki status sebagai kombatan yang sah. 

“Maka secara politik tindakan ULMWP ini dapat dianggap sebagai melawan hukum nasional Indonesia dan dapat ditindak sesuai hukum nasional yang berlaku,” kata Jaleswari dalam pernyataan tertulis. 

Pada Kamis, merespons klaim Wenda yang dipublikasikan pada 1 Desember - hari yang diperingati kelompok pro-kemerdekaan Papua sebagai hari perjuangan menuntut pemisahan diri, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan Wenda telah melakukan tindakan makar dan meminta kepolisian melakukan penegakan hukum. 

Mahfud menambahkan, deklarasi yang dibuat Wenda tidak sah secara hukum terlebih disampaikan oleh sosok yang berstatus sebagai narapidana.

Juni 2002, Wenda divonis 15 tahun penjara karena terbukti mengajak massa menyerang sebuah kantor polisi dan membakar dua toko di Abepura, Jayapura, dalam unjuk rasa menuntut kemerdekaan Papua dan Papua Barat.

Oktober 2002, Wenda kabur dari Lapas Abepura dengan membobol jeruji besi. Bekas Sekretaris Jenderal Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (Demmak) itu kemudian dilarikan teman-temannya ke Papua Nugini. Pada 2003, Wenda berhasil kabur dan mendapatkan suaka di Inggris. 

Atas permintaan Kepolisian Daerah Papua, pada 2011 Interpol menerbitkan red notice untuk Wenda. Namun, satu tahun setelahnya Interpol menghapus nama Wenda dari daftar tersebut lantaran kasus tersebut bermuatan politis. 

Kementerian Luar Negeri Indonesia pada Selasa telah memanggil Duta Besar Inggris di Jakarta, Owen Jenkins, untuk memintai keterangan terkait kegiatan kelompok Wenda sesuai dengan hukum internasional yang berlaku. 

Juru Bicara Kemlu Teuku Faizasyah menyatakan pertemuan yang diagendakan pada Jumat ini belum terlaksana karena Jenkins masih berhalangan untuk hadir. 

‘Jakarta terguncang?’

Jennifer Robinson, pengacara hak asasi manusia dari Doughty Street Chambers yang berbasis di Inggris, menyebut reaksi keras dari pemerintah Indonesia menunjukkan terguncangnya Jakarta atas deklarasi yang disampaikan Wenda. 

“Mereka tahu bahwa mereka tidak memiliki klaim hukum di Papua Barat,” kata Robinson dalam pernyataan tertulisnya, “dan pemerintah Indonesia tidak memiliki apa-apa selain kekerasan brutal untuk memaksakan klaim mereka atas wilayah tersebut.”

Robinson menyebut deklarasi pemerintah sementara oleh Wenda mewakili hak masyarakat Papua Barat untuk memutuskan masa depannya sendiri di bawah hukum internasional. 

“Komunitas internasional memiliki kewajiban untuk membantu orang Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri,” tukasnya. 

Belanda menyerahkan Papua ke otoritas eksekutif sementara PBB (UNTEA) tahun 1962. UNTEA kemudian menyerahkan Papua ke Indonesia pada 1963.

Namun, pengakuan dunia internasional bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia baru terjadi setelah dilakukannya Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada tahun 1969.

Aktivis HAM dan sebagian warga melihat Pepera manipulatif karena melibatkan hanya sekitar 1.000 orang yang telah diinstruksikan untuk memilih bergabung dengan Indonesia. Sejak itu pula, konflik antara separatis dengan militer Indonesia terus terjadi di Papua.

‘Gangguan 1 Desember’

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, juga menyebut deklarasi Wenda tidak berdasar bahkan dalam tatanan hukum internasional. 

“Makanya deklarasi semacam ini tidak diakui sekalipun mendapat dukungan dari negara lain misalnya,” kata Hikmahanto, Jumat. 

Hikmahanto mengatakan, deklarasi Wenda adalah bentuk ‘gangguan’ yang biasa dilakukan kelompok separatis setiap 1 Desember.

“Pemerintah harusnya abaikan saja berbagai manuver tersebut. Kalau perlu memang polisi lakukan penegakan hukum, meski sulit karena Benny Wenda adanya di Inggris. Hukum Indonesia tidak berlaku di sana,” katanya.

Tak hanya oleh pemerintah Indonesia, faksi lain kelompok pro-kemerdekaan Papua, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM), juga menentang klaim sepihak Wenda tersebut.

Juru bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom mengatakan klaim Wenda sebagai “tidak mempunyai legitimasi mayoritas rakyat Bangsa Papua.”

 

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.