Satu Tewas, Empat Terluka dalam Bentrokan Massa di Aceh
2015.10.13
Banda Aceh
Seorang warga tewas dan empat lainnya, termasuk seorang anggota TNI, mengalami luka-luka akibat bentrokan massa yang terjadi setelah pembakaran sebuah gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, Selasa 13 Oktober.
Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh, Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Husein Hamidi mengatakan bahwa korban tewas karena tembakan senapan angin di bagian kepala. Sedangkan empat korban lain, termasuk seorang anggota TNI, mengalami luka ringan terkena lemparan batu.
“Setelah membakar sebuah gereja massa hendak menyerang gereja lain. Ternyata di lokasi, warga sudah siaga sehingga terjadi bentrokan,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, polisi telah berusaha menghalau massa saat mereka menyerang gereja yang dibakar, tetapi massa bisa menerobos blokade aparat keamanan melalui jalan-jalan tikus.
Sumber polisi di lapangan menyatakan, bentrokan massa terjadi di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, sekitar pukul 12:00 waktu setempat. Korban meninggal dunia bernama Samsul. Para korban dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Aceh Singkil.
Menurut sumber tersebut, ratusan massa yang menamakan dirinya “Pemuda Peduli Islam (PPI)” akan menyerang gereja di Dangguran. Beberapa massa yang menerobos blokade aparat sehingga kena lemparan batu dan seorang tertembak senapan angin.
Sebelum bentrok terjadi di Desa Dangguran, Selasa pagi, ratusan massa yang datang dengan sejumlah truk dan sepeda motor juga membawa bambu runcing membakar gereja berbentuk rumah di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah itu.
“Polisi telah menangkap 30 orang diduga provokator dan menyita sejumlah senjata tajam serta bom molotov,” tutur Husein.
“Mereka akan diproses hukum. Warga yang melakukan penembakan juga akan diproses hukum.”
Husein menambahkan bahwa aparat keamanan telah berhasil mengendalikan situasi dan menjaga ketat pada beberapa gereja di kabupaten tersebut. Aparat keamanan juga membubarkan konsentrasi massa sambil menyerukan mereka tak terprovokasi.
Berawal dari aksi protes
Kapolda Aceh menyatakan insiden itu berawal dari aksi protes ratusan massa, Selasa minggu lalu, di halaman kantor Bupati Aceh Singkil. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil untuk membongkar gereja dan undung-undung -- rumah yang dijadikan tempat ibadah -- yang tidak memiliki izin.
“Sebenarnya tadi malam telah ada kesepakatan setelah Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil melakukan pertemuan dengan berbagai pihak bahwa gereja-gereja yang tak ada izin akan ditertibkan,” jelas Husein.
“Tapi tadi pagi massa terprovokasi sehingga melakukan pembakaran sebuah gereja,” katanya.
Dia juga menyebutkan bahwa polisi dibantu tentara sudah membubarkan massa tapi mereka berhasil menerobos blokade aparat keamanan.
Wakil Bupati Aceh Singkil Dulmusrid yang dihubungi BeritaBenar menyatakan bahwa situasi di kabupaten bagian selatan Aceh yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara itu hingga Selasa menjelang sore masih mencekam.
“Saya belum tahu berapa orang yang jadi korban. Juga belum jelas ada berapa gereja dibakar. Informasi masih simpang siur. Situasi masih mencekam,” ujarnya.
Menurutnya, pada pertemuan hari Senin yang dihadiri kalangan pejabat, ulama, tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan Kristen dan Katolik disepakati bahwa 10 gereja yang tak memiliki izin akan dibongkar oleh pemerintah setempat. Sedangkan, rumah ibadah yang tidak dibongkar harus mengurus izin.
Dalam pertemuan juga disepakati ulama diminta menenangkan umat Islam supaya tak terjadi aksi anarkis. Saat menggelar protes Selasa pekan lalu, massa memberikan batas waktu seminggu kepada Pemerintah Aceh Singkil untuk menertibkan gereja-gereja yang tidak ada izin.
‘Terkesan ada pembiaran’
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Nahdhatul Ulama (DPW NU) Aceh Tgk Faisal Ali yang diminta tanggapannya menyebutkan, insiden berdarah di Singkil ini terjadi karena Pemerintah Aceh terkesan membiarkan masalah yang telah bertahun-tahun tanpa penyelesaian.
“NU Aceh sangat menyesalkan peristiwa yang terjadi akibat kelalaian dan kebodohan Pemerintah Aceh karena ini bukan persoalan baru melainkan sudah bertahun-tahun dibiarkan,” tegasnya.
“Pemerintah Aceh harus bertanggung jawab atas jatuhnya korban jiwa dan rusaknya rumah ibadah akibat pembakaran. NU Aceh mengecam sikap Pemerintah Aceh yang membiarkan masalah di Singkil sehingga terjadi peristiwa yang tak kita harapkan ini.”
Menurut Faisal, tahun 1979 pernah terjadi konflik agama di Singkil. Kemudian, tokoh agama Islam dan Kristen membuat perjanjian bahwa di Aceh Singkil hanya diizinkan satu gereja dan empat rumah ibadah undung-undung. Lalu pada 2001, perjanjian itu diperbaharui yang isinya tetap sama.
Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah organisasi massa Islam melancarkan protes untuk mendesak Pemerintah Aceh Singkil menertibkan belasan gereja yang dibangun tanpa izin dan tak sesuai aturan yang berlaku di Indonesia.
“Karena Pemerintah Kabupaten Singkil tidak mampu, persoalan itu pernah dibicarakan di tingkat provinsi. Tetapi kesannya Pemerintah Aceh tidak serius untuk menyelesaikan secara tuntas sesuai aturan yang berlaku,” ujar Faisal yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Indonesia tahun 2006, untuk mendirikan sebuah rumah ibadah diperlukan 90 orang pengguna rumah ibadah dan dukungan 60 warga setempat.
Gubernur Aceh pada 2007 pernah mengeluarkan peraturan tentang pendirian rumah ibadah yang isinya mensyaratkan daftar nama dan KTP pengguna rumah ibadah paling sedikit 150 orang, dan dukungan minimal 120 warga setempat.