BNPB Mengantisipasi Ancaman Kekeringan Panjang

Oleh Maeswara Palupi
2015.07.30
150730_ID_MAESWARA_INDONESIA_KEKERINGAN_700.jpg Akibat musim kemarau panjang, sawah milik Andang Sutejo, petani di Ciamis, Jawa Barat telah mengering, 9 Juli, 2015.
BeritaBenar

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan bahwa Indonesia akan mengantisipasi kekeringan panjang yang disebabkan oleh fenomena cuaca el Niño.

“Tahun ini fenomena el Niño diperkirakan akan lebih parah dari tahun sebelumnya, karena itu Indonesia harus siap dengan cara mengantisipasi gejolak alam ini,” kata juru bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho kepada BeritaBenar di Jakarta hari Kamis tanggal 30 Juli.

Sutopo mengatakan Indonesia sudah mengalokasikan dana untuk ini.

“Pemerintah telah menggelontorkan Rp 40 miliar (US $ 3 juta) untuk proyek hujan buatan dan penanggulangan kekeringan,” katanya lanjut seraya menjelaskan bahwa el Niño adalah fenomena berskala global yang mengakibatkan perubahan cuaca disebabkan oleh interaksi antara lautan dan atmosfera yang berulang.

Sutopo mengatakan bahwa untuk menanggulangi bencana kekeringan akibat el Niño, BNPB akan bekerja sama dengan Angkatan Udara, Departemen Kehutanan, Departemen Lingkungan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

“Kekeringan bukan saja menyebabkan tidak berfungsinya lahan persawahan seperti yang kebanyakan terjadi di Pulau Jawa, tetapi juga kebakaran lahan dan hutan yang biasanya terjadi di Sumatera dan Kalimantan,” katanya lanjut seraya memberikan informasi rinci bahwa di akhir bulan Juni lalu BNPB menerima laporan adanya 1.125 kebakaran di Riau saja.

“Ini merupakan hal serius karena bisa mempengaruhi stabilitas dalam negeri serta hubungan luar negeri dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, terutama jika terjadi kabut asap,” katanya.

Harga pangan melangit

Fenomena el Niño juga merupakan pukulan berat pagi para petani, terutama di Jawa dimana sekitar 50 persen lahannya masih merupakan lahan pertanian.

“Jawa Barat sekarang ini sudah mengalami kekeringan. Sekitar 5000 hektar lahan pertanian sudah tidak berfungsi karena tidak ada air,” kata Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air di Jawa Barat Eddy M. Nasution kepada BeritaBenar.

Eddy memprediksikan potensi kekeringan di Jawa Barat tahun ini bisa mencapai 60.000 hektare.

“Kekeringan sudah mulai terlihat dari semakin turunnya debit air di sungai dan waduk,” katanya.

Sementara itu Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di Jawa Tengah, Sarwa Pramana, mengatakan bahwa ratusan desa dan sawah telah kekeringan.

“Setidaknya 487 desa dan ribuan lahan pertanian di Jawa Tengah telah mengering,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 30 Juli.

Ini termasuk beberapa daerah yang berlokasi dekat waduk seperti Wonogiri, Sukoharjo, Sragen dan Grobogan.

Andang Sutejo, petani asal Ciamis, Jawa Barat, mengatakan kekeringan dan kebanjiran merupakan ancaman petani setiap tahunnya.

“Kita sudah berupaya dengan pemerintah lokal dan asosiasi petani disini untuk mengatur penggunaan air yang ada, tetapi ketersediaan air di musim kemarau tetap tidak cukup untuk mengairi seluruh lahan pertanian,” katanya kepada BeritaBenar tanggal 29 Juli.

“Karena itu harga pangan meningkat, kekeringan telah menyebabkan paceklik,” katanya lanjut sambil mengharapkan bahwa pemerintah akan membuat hujan buatan untuk membantu pengairan lahan persawahan.

“Jangankan untuk sawah, untuk ketersediaan air bersih saja sekarang susah,” kata Andang.

“Wonogiri dekat dengan Waduk Gajah Mungkur [waduk terbesar di Indonesia] dan Gunung Lawu yang biasanya memberikan air gunung,” tetapi petani disini tetap tidak bisa mengelak dari kekeringan, kata Pranoto, petani dari Wonogiri.

“Kami sangat putus asa,” katanya lanjut.

Upaya penghijauan

Dwi Andreas Santosa, pakar bioremediasi dari Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan kelangkaan pangan bisa menjadi ancaman tahunan.

“Kita harus kreatif memperkenalkan jenis bahan pangan yang kemungkinan bisa bertahan selama musim kering,” katanya kepada BeritaBenar.

“Kita mungkin bisa belajar dari daerah kering seperti Nusa Tenggara Timur dan Papua yang mempunyai karakter curah hujan sedikit,” katanya lanjut.

Dwi juga menambahkan bahwa reboisasi harus dilakukan.

“Penanaman kembali lahan hijau di Indonesia tentunya diperlukan untuk mengantisipasi kemungkinan pemanasan global,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.