Pelempar Bom di Gereja Samarinda Terancam Penjara Seumur Hidup
2017.05.24
Jakarta
Juhanda alias Muhammad Aceng Kurnia, pelaku pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda di Kalimantan Timur, pada 13 November 2016 silam, terancam hukuman penjara seumur hidup.
Potensi itu muncul setelah Juhanda didakwa alternatif melanggar Pasal 15 jo 7 atau Pasal 15 jo 9 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme oleh jaksa dalam persidangan perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu, 24 Mei 2017.
"Jaksa menilai aksi terdakwa menimbulkan teror," kata Faris, kuasa hukum Juhanda, kepada BeritaBenar. "Sehingga dijeratkan Pasal 15 jo 7."
Beleid ini menyatakan setiap orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, atau menimbulkan kerusakan terhadap obyek-obyek vital yang strategis, dapat dipidana dengan penjara paling lama seumur hidup.
Selain dianggap menimbulkan teror, jaksa juga menilai Juhanda telah menyusun rencana sebelum melancarkan aksi.
"Yang pasti, tadi jaksa menilai ada niat dan persiapan," tambahnya.
Insiden bom terjadi pada 13 November 2016, sekira pukul 10.10 WITA. Saat itu, Juhanda melemparkan bom molotov ke arah gereja ketika para jemaat baru selesai beribadah.
Bom meledak di pelataran gereja dan mengenai empat bocah yang tengah bermain. Satu di antaranya, Intan Olivia Banjarnahor (2,5) kemudian meninggal dunia ketika dalam perawatan medis karena mengalami luka bakar hingga 70 persen.
Ledakan ini mengagetkan warga di sekitar gereja sehingga mereka mengejar Juhanda, yang berusaha melarikan diri sampai akhirnya masuk ke Sungai Mahakam.
Namun ia berhasil ditangkap dan diserahkan ke aparat keamanan, setelah sebelumnya sempat dipukuli massa yang marah.
‘Jaksa keliru’
Soal pasal yang dijerat atas Juhanda, pengamat terorisme dari Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi Adhe Bhakti menilai jaksa keliru.
Adhe menilai, Juhanda seharusnya dijerat Pasal 15 jo 6 karena aksi teror telah terjadi dan menimbulkan korban jiwa. Ancaman hukuman maksimal pasal ini adalah hukuman mati.
“Keliru jaksanya. Sudah terjadi, kan?" kata Adhe saat dihubungi.
Namun, Faris sebaliknya menilai Juhanda memang tidak layak dijeratkan Pasal 15 jo 6, seperti disampaikan Adhe.
Bahkan, kata Faris lagi, kliennya sebenarnya sama sekali tak merencanakan aksi seperti disebutkan dalam dakwaan jaksa.
"Itu spontan kok, menurut pengakuan Juhanda," tambahnya, “enggak ada rencana, seperti didakwakan jaksa.”
Pembelaan Faris ini berbanding terbalik dengan pernyataan juru bicara Mabes Polri Irjen. Pol. Boy Rafli Amar, November tahun lalu, yang menyatakan Juhanda memang telah merencanakan serangan ke gereja Oikumene.
Itu, kata Boy, terbukti dari keterangan Juhanda yang sempat membeli pupuk belerang, arang, dan cuka alkoho 70 persen di sebuah toko.
“Dia merakit sendiri. Tiga hari, hingga pada Minggu yang bersangkutan melemparkan bom di rumah ibadah tersebut,” terang Boy waktu itu.
Keterampilan Juhanda merakit bom itu, menurut Boy, didapatkan kala tinggal di Aceh dalam kurun 2009 hingga 2011, atau sebelum ditangkap aparat Detasemen Khusus Antiteror 88 dan menjalani hukuman penjara sekitar dua tahun.
Mantan narapidana
Bagi Juhanda, teror di Samarinda sejatinya bukan aksi pertama. Sebelumnya, Juhanda pernah terlibat rangkaian teror bom buku yang pimpinan Pepi Fernando.
Kelompok ini menjalankan aksi mereka pada Maret 2011. Pepi belakangan divonis 18 tahun penjara, awal Maret 2012.
Selain itu, Juhanda turut serta dalam teror bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong di Tangerang, Banten, pada 2011. Aksi ini berujung hukuman 3,5 tahun penjara bagi Juhanda.
Hanya saja, baru sekitar dua tahun mendekam di balik jeruji besi, Juhanda mendapatkan pembebasan bersyarat setelah memperoleh remisi Idul Fitri.
Tak diketahui aktivitas Juhanda usai menghirup udara bebas hingga akhirnya dia pindah ke Samarinda dan tinggal di sebuah masjid, tak jauh dari Gereja Oikumene.